Jangan lupa kasih vote dan komentar yah ^^
*****
Jarak tak terukur lagi luasnya. Sudah ada jarak, kini bertambah parit yang begitu dalam. Tanpa dasar. Dingin. Gelap. Ruang kosong yang penuh debu dan lembab. Seperti itu yang Jean rasakan. Semakin jauh dari Arman.
Jean sudah seperti anak pingit. Terisolasi dari ingar bingar dunia. Dilindungi seperti permata yang rapuh dan mudah pecah. Tak diizinkan siapapun menyentuh karena takut retak. Ia terkurung dalam rumahnya. Menekuni rutinitas sebagai pengawas kebun teh milik keluarganya. Hanya itu. Kembali lagi pada jaman primitif. Tanpa alat komunikasi elektronik. Tanpa ada kendaraan pribadi yang difasilitasi. Terkadang Ia lebih memilih untuk dikirim ke rumah sakit jiwa daripada harus ditekan seperti ini.
Arman pun tak memiliki ruang. Ia didesak dinding untuk membuat jarak semakin jauh dengan Jean. Tetapi sekuat apapun dinding mendesak, Arman kembali mengempaskannya. Mendorongnya dan berusaha mengobati kerinduannya pada Jean.
Arman tetap menemui Jean diam-diam. Melompati pagar pembatas, menatap Jean yang berada di kamarnya. Tanpa menyentuh. Cukup melihat hanya untuk peluruh rindu.
Hingga pada satu waktu. Arman mendapatkan telfon dari nomor tak dikenal. Berusaha memberikannya kabar via surat yang tak kunjung sampai. Pihak rumah sakit yang merawat dirinya setelah insiden kecelakaan dahsyatnya, menghubunginya kembali. Memberikan kabar yang menghentakkan jantungnya. Merobohkan pikirannya. Kesedihan yang menjalar itu, Ia coba tuangkan pada istrinya. Elisa.
"Halo, bagaimana kabarmu?" suara Elisa terdengar antusias ketika melihat layar ponselnya bertuliskan nama Arman di situ.
"Baik. Bagaimana denganmu dan Adel?" Arman bersuara lemas.
"Aku baik. Adel juga."
"Kamu dimana?"
"Di rumah. Aku baru saja mengantar Adel ke tempat kursusnya. Ia sangat merindukanmu. Padahal baru seminggu yang lalu Kamu terbang ke Jakarta. Setiap hari Ia menanyakan keberadaanmu dan memintaku menyusulmu ke Jogja."
Arman terhening. Luruh karena kerinduan putrinya. Ia pun rindu. Sangat rindu. Meski baru seminggu yang lalu mereka bertemu.
"Aku ingin menanyakan sesuatu padamu."
"Apa itu?"
"Kapan kita terakhir kali....Kapan terakhir kali Aku menyentuhmu?"
Elisa terdiam. Ia merasa kembali dicumbu oleh harapan. Pertanyaan yang membuatnya membeku. Lalu berusaha sadar secepatnya, "Aku kira kita jarang bertemu. Seingatku, sehari sebelum Aku pergi ke Lombok."
"Berarti sebelum Aku kecelakaan."
"Iya. Kenapa Kamu tiba-tiba menanyakan hal seperti itu?"
"Aku ingin menceritakan sesuatu."
"Apa?"
"Kamu ingat saat Aku kecelakaan? Pihak rumah sakit tempat dimana Aku dirawat menelponku siang ini."
Elisa terdiam. Seperti ada berita duka yang memang akan Ia terima, "Kenapa?"
"Saat Aku kecelakaan dan pendarahan, pihak rumah sakit dengan sigap menolongku. Entah bagaimana kecerobohan itu bisa terjadi. Tapi....Aku mendapatkan pendonor darah dari seorang pengidap AIDS."
Hening. Sunyi. Sedih merayap. Menggenggam hati. Mendominasi. Menguasai.
Elisa terdiam dengan dikuasai ketakutan. Tercengang.
"Lalu, Jean?"
Arman terisak. Napasnya tersengal-sengal. Air matanya berjatuhan. Ia mulai menangis. Hatinya hancur. Benar-benar hancur, "Bagaimana bisa Aku menularkan penyakit ini kepada orang yang Aku sayangi? Bagaimana bisa Aku membunuhnya dengan cara seperti ini. Aku tak sanggup melihatnya menderita."
KAMU SEDANG MEMBACA
Karena Cinta Tak Mengenal Batas [COMPLETED]
RomansaPS: Bagi teman2 dimohon untuk membuka pikirannya ketika membaca novel ini. kategori novel ini bukan erotis tetapi lebih kpd penjelasan apa yg d rasakan kaum lgbt dlm hidupnya, bagaimana mereka menghadapi lingkungan keluarga, dan bagaimana perspekti...