Jangan lupa kasih vote dan komentar yah ^^
*****
Sudah tiga hari semenjak pertemuan Jean dengan Arman berlangsung. Dan Arman sudah biasa untuk datang ke kafe dengan memesan menu yang sama, di jam yang sama, dan tempat duduk yang selalu sama.
Dan selama tiga hari itu, selalu terasa hampa di hati Jean ketika Ia harus melihat Arman berdiri–beranjak setelah menandaskan kudapan dan minumannya. Pergi kemudian.
Tetapi kembali membawa senyuman yang membayangi wajah Jean saat Arman kembali datang esok lagi dengan jadwal yang sama dan kebiasaan yang itu-itu saja.
Jean tak pernah bosan dengan kedatangan Arman setiap saat. Meski hanya sepenggal atau dua penggal kata mereka saling berbincang. Mengenal hanya sebatas pelayan dan pelanggan.
Ia belum berhenti terpesona dengan sosok Arman. Selalu ada hawa baru yang membuatnya bersemangat. Meski terkadang malu memperkeruh pikirannya. Membuatnya masih salah tingkah ketika harus berhadapan langsung dengan Arman. Dan kebiasaan itu tak pernah menjauh darinya.
Jean masih terpana memandang Arman dari kejauhan. Sembari tangannya sedang sibuk melukis rosetta pada kopi sebagai kanvasnya dan buih susu steam sebagai tintanya.
"Pesanan ini untuk meja di luar," kata Jean menyodorkan secangkir latte kepada Greta.
"Aku tak ingin terbakar oleh hasratku memandangi pria bernama Arman itu. Kamu saja," jawab Greta datar.
Menurutmu Aku tidak?
"Lagi pula ini kan untuk pelanggan lain. Pesanan ini bukan di meja Arman. Kamu juga tidak pernah melayani pria bernama Arman itu," gerutu Jean.
"Walaupun begitu, pesanan ini kan dekat dengan meja Arman. Tetap saja, pesonanya membuatku tertarik untuk melihatnya."
Jean mendengus jengkel, "Kamu ini. Dimana Satya? Ini sudah jam pulang sekolah. Seharusnya Ia sudah selesai mengajar anak-anak SMA itu dan datang ke sini."
"Paling Satya masih ada beban tugas dari guru-guru senior. Kenapa tidak Kamu saja yang mengantar pesanan?" Greta mulai culas, "Kamu ini aneh, biasanya Kamu juga biasa saja jika Aku memintamu untuk mengantar pesanan ke pelanggan reguler sekalipun."
Iya, Jean merasakan keanehan dari dalam dirinya. Seperti ada yang mengendalikan pikirannya. Merasukinya. Menjadikannya liar.
Jean menghela napasnya, "Aku akan meminta Desta, mengantarkannya."
"Desta kan menyiapkan pesanan juga. Jangan diganggu, anak itu biar sibuk di dapur. Lagi pula kalau Desta tidak sibuk, Dia juga mau mengantarkan pesanan ke pelanggan. Sudahlah, antarkan saja."
Jean berdecak lirih, "Baiklah, sudah Aku yang bikin. Gajiku harus naik bulan depan," desah Jean sambil mengeluarkan segala keluhannya dari wajahnya yang mulai mendurja.
Greta hanya mencibir.
Jean menyeret kakinya dengan langkah malas. Hanya tinggal membawa pesanan. Lagi pula meja pelanggan pemesan latte ini, terhalang dua meja dari tempat Arman duduk.
Baiklah, Aku hanya akan menunduk.
Jean sampai di luar ruangan, hawa panas dari langit yang menabrak aspal jalanan, terpantul kembali ke udara kosong. Berbaur. Menyeruak dan menyerbu tubuh Jean. Bersamaan dengan aura Arman yang masih begitu kuat, menerjang jantungnya. Membuat keyakinan Jean goyah. Gemetar.
"Latte atas nama Deni," kata Jean sambil menyerahkan pesanan. Jean masih saja menunduk. Sejauh apapun, tapi keinginannya melihat Arman masih begitu kuat. Menggebu-gebu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Karena Cinta Tak Mengenal Batas [COMPLETED]
RomantizmPS: Bagi teman2 dimohon untuk membuka pikirannya ketika membaca novel ini. kategori novel ini bukan erotis tetapi lebih kpd penjelasan apa yg d rasakan kaum lgbt dlm hidupnya, bagaimana mereka menghadapi lingkungan keluarga, dan bagaimana perspekti...