#4

74 8 0
                                    


Jangan lupa kasih vote dan komentar yah ^^

*****

Yogyakarta dengan gemerlap lampu yang mengalahkan gulita malam. Pernak-pernik indah yang memancar memanjakan mata. Menghidupkan malam yang seharusnya sepi. Seluruh Jalan Malioboro masih dipenuhi pedagang. Orang-orang yang berdesakan, berduyun-duyun mencari kesenangan.

Setelah beberapa lama jauh berjalan dan melewati himpitan orang-orang itu, Jean dan Arman sampai pada sebuah kedai kecil di ujung Jalan Malioboro.

"Rawon di sini lumayan kalau menurutku. Aku sebenarnya jarang beli. Tapi beberapa kali jika Aku berkeliling jalan Malioboro, Aku akan menyempatkan diri untuk ke sini," Jean seperti seorang tour guide.

Mereka kemudian duduk bersebrangan. Dipisahkan dengan semangkuk rawon dan teh hangat di hadapan mereka.

"Menurutku ini enak," kata Arman sesaat setelah Ia menyeruput kuah rawon itu.

"Ku kira Kamu akan bilang biasa saja."

"Karena di Jakarta jarang ada yang seperti ini."

"Mungkin karena Kamu terlalu sering makan di restoran mewah. Lagi pula Aku pernah menemukan satu yang seperti ini di daerah Cilandak. Tapi tidak seenak di sini."

"Cilandak? Bagaimana Kamu bisa sampai ke sana?"

"Bapakku seorang purnawirawan Angkatan Laut. Beliau pensiun sekitar tujuh tahun lalu. Kami sempat tinggal nomaden. Surabaya, Jakarta, Malang. Di Jakarta, kami tinggal di Cilandak. Terakhir kami pindah ke sini. Tempat kelahiaran Bapak."

"Samigaluh? Aku sempat tidak percaya waktu Kamu bilang bahwa Kamu itu orang Jogja."

"Kenapa?"

"Kamu lebih mirip orang Timur Tengah."

Jean tertawa kecil, "Bapakku ada keturunan Belanda. Jawa-Belanda. Sedangkan Ibukku Jawa dan Tionghoa. Menurutku kombinasi yang tidak biasa. Apakah kombinasi Jawa-Belanda-Tionghoa membentuk definisi wajah Timur Tengah?"

Arman tertawa renyah, "Hey, Aku pernah mengenal satu. Malah lebih banyak kombinasi, Jawa-Ambon-Toraja-Dayak. Sepertinya semua suku di Indonesia ada pada temanku ini."

Mereka tebahak-bahak secara bersamaan. Dengan ditemani suara-suara musik jalanan yang berdentam asyik di telinga. Meramaikan suasana malam kota Yogyakarta. Beradu hidup.

"Bagaimana dengan besok?" tanya Jean.

Arman menggidikkan bahunya, "Besok, Aku menurut saja padamu."

"Jangan menurut. Apa yang ingin Kamu lihat?"

"Aku....tunggu, bukannya Kamu juga ingin berkeliling?"

"Aku sudah hampir khatam untuk seluruh plosok Jogja. Aku hanya ingin mengantarmu."

"Baiklah. Aku ingin ke air terjun, kemudian melihat pegunungan. Setelah itu Aku ingin ke beberapa pantai dengan ombak yang menenangkan."

"Baik, Aku akan membuat rutenya. Kita besok akan ke Samigaluh, Kulonprogo. Nanti kita bisa singgah di rumahku terlebih dahulu. Kemudian, Kita bisa berkeliling daerah Sidoharjo. Lalu lanjut kita bisa mengunjungi beberapa pantai di Gunung Kidul."

"Boleh. Kamu saja yang atur."

"Kita besok berangkat jam empat subuh saja. Tidak apa-apa?"

"Siap. Kita ketemu dimana?"

"Di depan kafe?"

"Baiklah."

"Kalau begitu Kamu harus segera kembali ke hotel dan istirahat."

Arman menandaskan hidangan makannya. Ia lalu memegang tangan Jean secara tiba-tiba ketika tangan Jean sudah merogoh dompet untuk mengambil beberapa lembar uang, "Biar Aku saja. Aku kan yang mengajakmu."

Jean termangu. Seketika jantungnya berdetak rancu. Deburan yang sangat keras meluluh lantakkan akal sehatnya. Melamun. Lamunan panjang yang membuatnya tak dapat bergerak. Tangan Arman begitu jantan. Menyentuh pori-porinya dengan lembut.

Sekilas sudut mata Jean mengamati gambar sesosok wajah di dompet Arman. Gambar seorang anak perempuan bersama Arman. Menimbulkan tanya akan sosok pada gambar itu.

"Itu siapa?"

"Oh, ini foto putriku."

Seperti tersengat aliran listrik. Benar-benar panas. Sakit. Perih. Jantung Jean seperti digenggam oleh tangan yang mengepal. Sesak. Terasa dilempari batu hingga bertubi-tubi.

Jean duduk melamun. Ia seperti ingin memuntahkan isi perutnya. Menyadarkan diri dari kenyataan pahit. Jelas sudah bahwa arti cincin yang melingkari jari Arman adalah cincin perkawinan.

Sadarlah manusia dungu. Kamu ini laki-laki. Benar saja, Arman pantas mendapatkan seorang wanita. Wanita yang beruntung. Mendapatkan lelaki sebaik Dia. Menghasilkan keturunan yang pantas baginya. Sadarlah. Larilah dari semua ini. Lawan perasaan yang membuatmu jatuh pada penghalang akal sehatmu!

Jean terus mengulik batinnya.

"Je, Kamu kenapa?" desah Arman.

"Hah, maaf. Berapa usianya?" Suara Arman membuyarkan Jean dari lamunannya.

"Tiga tahun," Arman mulai tersenyum. Senyuman yang membuat Jean sadar akan kekosongannya.

"Dia cantik."

"Terimakasih."

"Ayo pulang. Terimakasih atas traktirannya."

Mereka mulai menyematkan kalimat perpisahan sementara. Saling berselisish arah dan mengakhiri pertemuan malam ini.

Pertemuan yang menyisakan ketidakrelaan dalam benak Jean. Ia berpikir bahwa ingin menyudahi ini. Namun, rasa ingin bersama masih mengikatnya. Ia seperti berada di tubir jurang. Menyesalkan status Arman adalah hal yang ingin membuatnya melompat jatuh. Dan melupakan segalanya.

Lagipula Ia tidak menyukaiku. Hubungan laki-laki ini adalah hubungan pertemanan. Hanya pertemanan.

*****

Karena Cinta Tak Mengenal Batas [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang