#19

43 7 0
                                    

Jangan lupa kasih vote dan komentar yah ^^

*****

Pagi kini bergulir. Jean sedang duduk menantikan diagnosa lanjutan dari dokter mengenai tubuh Arman. Ia menemui Dokter Sam. Dokter yang merawat Arman selama ini.

"Sayangnya, sel-sel otak Arman semakin lambat untuk tumbuh. Itu menyebabkan kemampuan mengingat jangka pendeknya ikut menurun. Juga fungsi organ lain menurun. Bahkan kanker ini sudah sampai pada sel-sel saraf yang mengatur fungsi organ tak sadarnya."

Jean termangu, "Apa kemo masih belum bisa menghambatnya, dok?"

"Tidak bisa. Ini berkaitan dengan fungsi sel yang sudah dirusak oleh kanker itu. Sekarang, ini menjadi masalah waktu."

Jean kehabisan kata-kata. Lidahnya terasa dikebiri. Tak ada simbol lain untuk mengungkapkan kesedihannya selain daripada air mata. Melepas air matanya yang sudah menggenang di pelupuknya. Mengartikan semua ini pada sebuah akhir kehidupan.

"Kami sudah berusaha. Tapi seperti ini lah kedahsyatan dari AIDS," imbuh Dokter Sam.

Jean mengatur napasnya. Benar saja, Ia memang harus mempersiapkan semua ini. Ia memang sudah mencetuskan bahwa di atas kebahagiaan bersama Arman, Ia akan melihat, siapa yang akan bertahan paling lama. Dan siapa yang akan jatuh terlebih dahulu.

"Kamu juga harus memperhatikan kesahatanmu. Paru-parumu juga sudah di serang flek. Istirahatlah dan jangan terlalu banyak begadang," Dokter Sam mengimbau.

Aku bahkan tidak mampu terpejam ketika malam. Lelap pun tak kuasa merengkuhku. Aku takut jika Aku tertidur, Aku akan melewatkan satu detik yang merampas kebahagiaanku. Melewatkan kepergiannya. Jikalau Ia meninggalkan dunia ini, Aku ingin menjadi yang pertama. Yang akan mengucapkan kalimat perpisahan. Dan mulai merindukannya.

Jean keluar dari ruang dokter dengan langkah kaki yang berat. Ia tak lagi tahu apa yang bisa Ia perbuat.

Kaki Jean terhenti di koridor ketika melihat sepasang suami istri yang tampak frustasi. Mereka adalah orangtua Arman.

Jean mempersilahkan mereka masuk. Membiarkan orangtua Arman menciumi tubuh Arman yang sudah tak berdaya.

Tidak ada yang bisa Arman katakan. Kebahagiaan dan rasa harunya, Ia tunjukkan dengan senyumannya dan air mata.

Melihat putranya yang terawat dengan baik, membuat Bu Broto menyadari bahwa Jean benar-benar mencintai Arman. Cintanya Begitu tulus. Begitu besar. Bahkan dalam keadaan paling mendasar.

Pak Broto mengajak Jean untuk berbicara. Berbincang berdua di luar ruangan. Ia menatap Jean pilu. Penuh rasa sesal.

"Saya berterimakasih karena Kamu telah merawat Arman dengan baik."

"Ia sudah menjadi tanggung jawab Saya."

"Sayangnya. Sepeninggal Arman nanti, Kamu tidak akan mendapatkan apapun baik dari Arman, atau dari kami. Kamu tetap bukan pasangannya yang sah."

Jean terdiam. Ia dipantik amarah, "Saya tidak butuh sepeserpun," jawab Jean dengan tenang, "Saya mencintai Arman bukan karena harta. Saya memang mencintai Arman, tanpa alasan lain."

Tiba-tiba mereka terhentak ketika melihat wajah gelisah dari Elisa yang terengah-engah dan menatap Jean dengan cemas.

"Jean," panggil Elisa dengan suaranya yang parau.

"Ada apa?" jawab Jean terkejut.

"Mas Arman...."

Jean segera melesat secepat tembakan cahaya. Menuju kamar inap Arman. Ia harap Ia belum terlambat. Kini, gelisah. Cemas. Ketakutan, menyumpal mulutnya.

Aku mohon Arman, kuatlah. Aku belum siap kehilangan dirimu. Aku belum siap.

Ketika Jean masuk dengan napas yang tersengal-sengal. Tim medis sudah merubungi tubuh Arman. Memasang berbagai alat bantu hidup untuk masa kritis Arman. Sedangkan bibir Bu Broto, tak henti-hentinya bergumam membaca doa.

Jean mendekati tubuh Arman yang terbaring lemas. Layu. Kedua mata Arman terpejam. Mulutnya menganga, dimasuki selang bantu untuk pernapasan. Detak jantung Arman dimonitor dengan garis yang membentuk bukit dan lembah. Napas Arman terdengar begitu memekik. Semakin memekik. Arman telah hilang kesadaran. Jean semakin merasa terpuruk.

Air matanya jatuh. Sudah berapa ratus kali, Ia menangis. Jean mendekatkan bibirnya menciumi kening Arman. Membiarkan air matanya kini menetes, jatuh di atas kepala Arman. Mengalir di pipi Arman. Perlahan-lahan.

Di telinga Arman, Jean berbisik lirih dengan napas yang masih tak beraturan karena isak tangisnya, "Aku mencintaimu. Aku mencintaimu. Aku mencintaimu. Aku akan selalu mencintaimu. Aku akan selalu melihatmu di dalam hatiku."

*****

Karena Cinta Tak Mengenal Batas [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang