#20

91 7 0
                                    

Jangan lupa kasih vote dan komentar yah ^^

*****

Aku terpejam. Berusaha mendengarkan deburan ombak tepi pantai. Aku merasa seperti terbakar terik matahari. Panas. Panas sekali. Hingga kemudian Aku merasa teduh. Aku bertanya-tanya, darimana rasa teduh ini berasal? Aku memaksa kedua mataku untuk terbuka dan mendapati diriku tengah terbaring di pasir pantai yang lembut.

Kemudian Aku tersadar bahwa sosok Arman sedang meneduhiku dengan kedua tangannya mengambang di atas wajahku. Seketika Aku berdiri. Aku melihat Arman tersenyum padaku. Arman yang utuh. Arman yang Aku cintai. Ia berkata padaku untuk tenang. Ia akan melindungiku bahkan dari teriknya siang. Akan menghangatkanku dari dinginnya malam.

Aku merasa senang. Senang sekali ketika Ia berkata seperti itu. Aku senang. Melihatnya ada di depanku. Tetapi, kenapa Aku sudah merindukannya. Aku sangat merindukannya hingga hampir gila. Padahal Ia ada di depan mataku. Aku tinggal memeluknya saja.

Aku merasakan auranya mencumbuku, mengatakan bahwa Ia tak akan pergi kemana-mana. Ia akan selalu ada di sampingku. Menemaniku. Aku tenang kemudian. Aku bahagia kini. Kami duduk menatap pantai kembali. Dengan tangannya merangkul pundakku. Aku merasa aman dan tenang. Terlelap perlahan-lahan.

Tetapi, tiba-tiba Aku terbangun di tengah malam. Mendapati diriku sendiri di atas ranjang, di sebuah ruangan lembab dan gelap. Aku memperhatikan sekelilingku. Aku tak menemukan Arman di sampingku. Armanku hilang. Aku bergegas melompat dari ranjang dan berhambur keluar kamar. Menelusuri setiap ruangan. Aku terus memanggil-manggil nama Arman dengan suaraku yang parau. Hingga dayaku semakin berkurang. Aku melihat sesosok wanita melihatku dengan wajah pucat gelisah. Tersirat keping-keping kesedihan di kedua bola matanya. Bola mata yang mulai berkaca-kaca. Kedua tatapan sedih itu, Aku mengenalnya. Tersampaikan rasa iba dan prihatin atas diriku. Dengan diriku yang sangat menyedihkan ini, Ia benar masih menerimaku. Ia adalah ibuku.

Ibu menahan tangisnya. Aku tahu itu. Ia merasa tersayat akan keadaanku. Aku jatuh terduduk. Aku mulai terisak. Menangis. Membiarkan air mataku meleleh. Aku tersadar akan kenyataan bahwa....Aku telah menangis seorang diri di rumahku sendiri. Arman benar-benar telah pergi dari dunia ini. Aku rindu. Rindu sekali. Aku ingin memeluknya kembali. Mendekapnya. Menciumnya. Aku benar-benar tak sanggup kehilangan dirinya.

Ibu menghampiri tubuhku yang sudah melemah karena terkuras kesedihan. Memelukku. Mengusap lembut kepalaku. Aku merasakan hangat. Ketenangan yang mulai perlahan mengusir. Aku tahu Ia menangisi keadaanku. Tetapi Aku merasakan sebuah penerimaan. Hingga sosok Ayah menghampiri kami dan memeluk tubuh kami. Aku merasakan kehangatan. Kegilaanku mulai sirna perlahan. Dalam mata terpejam Aku masih merasakan rindu akan Arman. Kerinduan akan masa-masa bahagia bersamanya. Dan hanya bahagia kini yang tersisa. Bukan sedih akan kehilangan.

Kata-kata Arman masih terngiang-ngiang di benakku. Untuk mencintainya menggunakan hatiku. Aku masih berpura-pura Ia di sampingku. Menatapku dengan kedua matanya yang indah. Tersenyum dengan hangat di wajah.

Lambat laun Aku mulai terbiasa dengan kesendirianku. Meski Aku tetap mengimajinasikan Arman dalam benakku. Mengajaknya berbicara. Bercerita tentang cuaca. Berbincang tentang setiap hariku sendiri. Aku membayangkan Ia tersenyum mengamatiku. Menyimak setiap keluh kesahku.

Bau disinfektan sesekali menyeruak menebas hampa. Jean. Ia masih berbaring di atas ranjang rumah sakit. Ia terus saja tercenung dalam imajinasinya. Sejenak Ia memandang ke luar jendela dari kamarnya yang gelap dan dingin. Lembab yang menerpa wajahnya menyadarkan dirinya kembali dalam masa kini. Masa dimana Ia berada di kamar rumah sakit.

Sudah lima tahun Ia kehilangan Arman. Tetapi rasa cintanya pada pria itu masih saja direngkuh oleh hatinya. Tak terhapuskan. Kerinduannya masih membelenggunya. Setiap saat dan setiap waktu. Kenangan itu terbias begitu saja. Meski dalam tubuhnya yang lemah kini, pikirannya masih berkelana ke masa lalu. Selalu begitu. Dan tidak pernah memudarkan rasa cintanya.

Jean memejamkan matanya. Sekali lagi Ia mencoba untuk membunuh sepi. Menghadirkan wajah Arman di sana untuk sekali lagi Ia kenang, sebelum waktu memudarkan dirinya untuk selamanya.

Waktu, segeralah selamatkan diriku.

Rindu ini mengepungku.

Membelenggu.

Menyiksaku.

Sudah kulewati sakit di masa lalu.

Namun tidak ada yang lebih sakit daripada merindu.

Kutahu Ia singgah dan berkelana.

Dan akan kembali pada titik yang sama.

Maka engkaulah sang waktu.

Mempercepat.

Mengusir rinduku.

*****

Karena Cinta Tak Mengenal Batas [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang