#18

43 7 1
                                    

Jangan lupa kasih vote dan komentar yah ^^

*****

Sudah satu bulan setelah Arman masuk rumah sakit. Kehidupan rumah sakit sudah menyatu dengan Jean. Menyerahkan diri, seluruh hidupnya, mengabdi pada sosok yang Ia puja-puja.

Kian hari, kondisi Arman semakin menurun. Ia pada titik terlemah. Semakin lemah.

Jean pun sudah menebar berita pada ibunya dan pada Elisa. Dan selalu mengatakan bahwa dirinya kini sangat senang bisa merawat sosok Arman.

Hingga pada saat senja tiba. Langit kemerahan bercampur jingga. Jean dari kafetaria. Kembali menyusuri lobi rumah sakit. Tanpa disangka, Ia berjumpa dengan Elisa.

Elisa tersenyum kepada Jean. Ia tidak sendiri. Sosok gadis mungil berumur lima tahun ada di sampingnya. Adel.

Jean melangkah masuk melewati pintu lobi rumah sakit dan berdiri mendekati Elisa.

"Hai," Elisa menyapa.

"Hai," balas Jean, "Halo, tuan putri," Jean membungkukkan badannya seraya menatap Adel dengan senyuman manis.

Adel tampak bingung sambil berusaha menerka-nerka sosok lelaki di hadapannya, "Ayah?" panggil Elisa.

Jean ternganga. Ia tidak percaya dengan apa yang Ia dengar. Adel memanggilnya dengan sebutan ayah. Membuat Jean begitu senang.

Jean melayangkan pandangannya kepada Elisa. Tatapannya masih membiaskan kebahagiaan.

Dia juga anakku.

"Ayo kita ke atas," ajak Jean.

Mereka bertiga berjalan menyusuri koridor. Sambil mengobrol. Jean menggandeng tangan Adel yang lembut. Terasa belum ada dosa di kedua tangan mungil itu.

Sesampainya di kamar inap. Jean segera mendekati tubuh Arman yang berbaring tak berdaya.

Elisa sempat tidak mengenali sosok Arman. Terlihat sangat berebeda jauh dibandingkan ketika Arman sehat dulu. Kini Arman terlihat rapuh. Tinggal tulang yang terbungkus kulit. Kulitnya pun pucat, seperti sayap kupu-kupu. Mudah rusak.

"Hey, ada yang ingin bertemu denganmu," bisik Jean lirih di dekat telinga Arman.

Dengan perlahan-lahan, Arman membuka kedua matanya. Ia hanya tersenyum sambil meneteskan air mata ketika melihat Adel memeluknya.

Dan dengan suara Adel yang renyah terdengar, Ia memanggil Arman, "Papa."

Tidak ada lagi ekspresi hentakan atau gerakkan apapun dari Arman kecuali senyuman. Suaranya pun berubah. Berat. Serak. Dan selalu terdengar terengah-engah. Seperti bisikkan yang selalu kehabisan napas di setiap akhirnya.

"H-a-l-o.A-d-e-l," Arman berusaha menyapa Adel.

"Papa, Adel kangen sama Papa. Papa kapan bisa pulang ke rumah lagi. Bisa kumpul-kumpul lagi sama Adel. Sama Mama. Sama Oma. Sama Opa. Terus sama Ayah juga."

Tidak ada ekspresi lain dari Arman kecuali senyuman dan rasa haru mulai merengkuhnya.

Betapa teganya diriku yang sekarang ini. Aku ingin memeluk putriku dengan sisa tenagaku. Namun tubuhku bukan milikku lagi. Aku layu, seperti bunga di tengah musim kemarau. Kering dan lemas. Tanpa ada daya.

"Adel, Papa suaranya lagi hilang. Kayak Adel waktu lagi batuk," sahut Elisa dengan penuh pengertian.

"Yah, kalau begitu Papa nggak boleh ngomong dong kayak Adel dulu."

"Iya."

"Kalau begitu Adel nggak bisa denger Papa cerita lagi. Bacain Adel buku dongeng lagi kayak dulu."

Karena Cinta Tak Mengenal Batas [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang