Jangan lupa kasih vote dan komentar yah ^^
*****
Arman menemukan titik terang dalam hidupnya ketika Elisa benar-benar menerima segala kekurangannya. Membiarkan dirinya berlari menuju mataharinya.
Elisa adalah harapan Arman untuk menyampaikan semua ini pada kedua orangtuanya. Membuka diri. Tanpa mendustai hati dan nurani. Mengikuti naluri tanpa dipelajari. Tak ada yang bisa ditutupi jika memang harus ada kejujuran diri.
"Wanita gila Kamu!" hardik Pak Broto pada menantunya.
Ruang tengah keluarga Broto menegang. Penuh amarah. Penuh kesedihan. Penuh kekecewaan. Penuh harapan yang mungkin berujung penolakan.
"Arman, bagaimana bisa Kamu?" Bu Broto kehabisan seluruh kata karena tersendat kesedihannya yang sudah melimpah dalam hatinya. Semua umpatan untuk anaknya meradang di tenggorokannya. Enggan untuk keluar. Mengingat Ia tak sanggup untuk memaki putranya sendiri.
"Arman cinta kepada Jean. Pa, Ma," desah Arman parau.
"Papa mendidik Kamu untuk menjadi pria yang tangguh bukan pria yang lemah karena pesona sesama pria!" Pak Broto sudah naik pitam. Seluruh urat-urat nadinya menyembul keluar.
"Kamu juga, Kamu malah membela suami Kamu yang menyimpang. Kamu ini menatu perempuan satu-satunya di keluarga ini," imbuh Pak Broto. Matanya menatap tajam penuh amarah dan penuh kesedihan kepada Elisa.
Elisa terdiam. Sosoknya tak berani terlalu lama menatap sekelilingnya.
"Bagaimana pertumbuhan putri Kamu jika Ia tahu Ayahnya seperti ini! Ini tidak boleh terjadi. Ini cinta yang salah! Sinting semuanya."
"Cinta Arman tidak salah, Pa," Arman masih berusaha membela dirinya, "Apakah perasaan mencintai itu salah?"
Pak Broto tak dapat lagi berkata-kata. Bibirnya kelu. Kesedihan menguasainya. Ia merasa telah menjadi orangtua yang gagal, itulah makian yang Ia lontarkan di dalam benaknya. Kakinya melemah dan jatuh tersungkur ke lantai. Air matanya jatuh seperti hujan deras di bulan desember, "Aku harus bagaimana? Kenapa Aku diuji dengan cara seperti ini," Pak Broto menangisi segalanya. Tanpa henti Ia memukul-mukul bumi. Melepas emosinya.
Bu Broto mendekati suaminya yang terpuruk, memberikannya belaian. Memeluknya dengan tangis yang memekik.
"Kita gagal, Ma, kita gagal."
"Tidak Pa. Papa sama Mama tidak gagal. Arman hanya mengikuti naluri Arman," sahut Arman.
"Naluri apa yang Kamu maksud? Kamu tidak bisa menikah dengannya. Kamu tidak bisa memiliki keturunan dengannya. Lihatlah Adel! Apa yang bisa Ia katakan pada lingkungannya nanti? Kamu masih bilang nalurimu benar?"
Arman mendekati Papanya. Dan mencoba untuk memandang wajah Pak Broto dalam-dalam, "Pa, Arman tidak bermaksud...."
"Siapa Kamu? Kamu bukan anakku lagi."
Arman seperti dihantam batu di kepalanya. Keras-keras.
"Pa, Arman memang bersalah. Kita memang gagal. Tapi jangan jadikan kegagalan ini menjadi penyebab kita tidak menyayangi Arman lagi," Bu Broto mulai bicara dengan suara parau.
"Apa yang akan kita katakan pada dunia, Ma? Anak kita sudah membuang segala kasih sayang yang sudah kita limpahkan. Aku mau anakku kembali. Armanku yang dulu. Anak laki-lakiku yang normal."
"Tidak, Pa. Arman menyayangi Papa dan Mama. Arman hanya ingin Papa dan Mama mengerti akan kebahagiaan Arman."
"Pergilah dari depan wajahku. Aku tak sudi melihatmu," jawab Pak Broto.
Bu Broto langsung beranjak mendekati Arman. Mengusap wajah putranya yang sudah penuh air mata.
Binar kedua mata Bu Broto, masih memancarkan kasih sayang seorang ibu. Ia membelai pipi putranya dan mencium keningnya, "Anakku. Ini masih anakku. Arman. Jangan hukum kami seperti ini, nak. Mama tidak ingin Kamu pergi. Turutilah kata-kata Papa. Ya nak, ya?"
Arman memegang tangan mamanya. Tangisan pecah di antara mereka berdua. Arman memandang mamanya dengan penuh penyesalan. Ia hanya menggeleng. Ia hanya ingin mendapatkan kebahagiaan tanpa melawan orangtua.
"Arman tidak ingin melawan Papa sama Mama. Arman yang akan pergi."
Kejujuran terkadang mencekik. Arman merasa seperti noda pada kilauan permata keluarganya. Noktah yang tak dapat hilang. Tak mampu lepas. Begitu juga keluarganya yang tak dapat melepasnya begitu saja. Namun membawa hinaan dari setiap orang yang melihatnya.
*****
Masalah itu masih tergantung di hati Arman. Menyisakan kepedihan yang belum juga mereda. Pak Broto menatap putranya dengan tatapan asing. Tak jarang juga jijik. Namun kasih Bu Broto masih melingkupi Arman. Berusaha untuk menyadarkan Arman. Namun sejauh apapun Bu Broto mencoba, Arman tetap kembali pada titik yang sama. Cintanya pada Jean.
Dalam resah, Arman berusaha mencari pelarian diri. Jean. Mendengar suara Jean mungkin akan menghambat luka hatinya sebelum semakin lebar dan membusuk.
"Elisa sudah tahu."
"Bagaimana bisa?"
"Ia mengamatiku selama ini. Ia sudah curiga sejak Aku tak pernah menyentuhnya. Selain itu, Aku juga telah mengakui segalanya kepada kedua orangtuaku."
"Apa tanggapan mereka?"
"Kamu bisa menduganya. Mereka hancur. Kecewa."
"Bagaimana Adel?"
"Ia belum tahu. Mungkin tidak akan Aku biarkan Ia tahu. Elisa tidak memilih jalan perpisahan karena hal itu. Ia masih memikirkan Adel. Dan Je, Aku mohon tinggalah bersamaku."
"Aku....Apakah Aku mampu mengatakan semuanya kepada orangtuaku?"
"Aku mohon. Aku lemah tanpamu. Tak ada yang bisa menggantikanmu."
"Bagaimana dengan pekerjaanmu di sana?"
"Aku bisa mencari pekerjaan yang baru dan layak di Jogja. Relasiku banyak. Kita bisa membeli apartemen atau rumah yang kecil di pesisir pantai untuk tinggal bersama."
"Bagaimana dengan hidup Adel? Ia butuh kasih sayang ayahnya selama masa pertumbuhannya."
"Aku bisa pulang ke Jakarta setiap sebulan sekali atau seminggu sekali untuk menjenguk Adel. Aku akan tetap mengunjunginya."
Suara Jean tersendat di sana. Ia hanya tak mampu masuk ke dalam pencobaan yang berat. Namun desakan suara Arman begitu membiusnya. Ia tak pernah bisa menolak titah pria yang Ia puja.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Karena Cinta Tak Mengenal Batas [COMPLETED]
RomancePS: Bagi teman2 dimohon untuk membuka pikirannya ketika membaca novel ini. kategori novel ini bukan erotis tetapi lebih kpd penjelasan apa yg d rasakan kaum lgbt dlm hidupnya, bagaimana mereka menghadapi lingkungan keluarga, dan bagaimana perspekti...