Jangan lupa kasih vote dan komentar yah ^^
*****
Samigaluh, Kulonprogo. Masih asri. Begitu sejuk. Udara segar masih bisa terhirup. Menenagkan. Di desa ini masih dapat dijumpai kabut. Kabut alami yang meneteskan embun pagi, yang apabila terhirup dan memenuhi paru-paru, akan menyejukkan pikiran. Menuntaskan dahaga.
Hamparan sawah masih terlihat hijau. Luas membentang sampai ke kaki gunung. Menambah keindahan pemandangan.
Kini Jean dan Arman menikmatinya. Setiap alam raya yang sayup-sayup menyuguhkan pertunjukkan mahakarya tak tertandingi.
Arman terus mengayuh sepeda onthel milik Jean. Membonceng Jean yang tengah terpejam menikmati kerindangan yang menyuburkan pikirannya.
Aku sudah lama menyia-nyiakan waktuku dengan kesibukan ragawi. Hingga Aku lupa bahwa Aku memiliki jiwa yang haus akan keindahan alam ini. Sudah seharusnya Aku menghibur diri. Dengan alam yang kasihnya tak pernah mengkhianati.
Jalan desa meliuk-liuk tajam. Medan yang menanjak dan menurun. Seperti tubuh naga yang sedang berlanggak-lenggok terbang menembus awan.
"Hey, Je, lihatlah, jalan itu naik. Berpeganglah jika tidak mau jatuh," kata Arman sembari sedikit berteriak. Melawan suara angin yang bergemuruh.
Jean mengintip jalan yang ada di hadapannya. Jalan yang melekuk tajam ke atas.
"Aku bahkan tak ingat jika ada jalan ini," ujar Jean. Sedari tadi Ia hanya berpegangan pada boncengan sepeda tanpa berani meraih sisi baju Arman.
Arman mulai mengayuh sepeda itu perlahan-lahan. Melawan tarikan bumi yang kuat.
Sesekali Jean merasakan tubuhnya mulai berat ke belakang. Ia tak mau dirinya terjatuh. Atau mereka berdua terseret gravitasi, menggelinding di atas aspal yang panas.
Ia memberanikan diri menggenggam kedua sisi baju Arman. Namun pegangannya tak cukup kuat menahan tubuhnya.
"Sudah ikatkan saja," Arman mempersilahkan.
"Apa?"
Arman tak menjawab.
Dengan refleks, Jean melingkarkan lengannya di sekitar pinggang Arman. Hingga perut Arman yang tersekat oleh pakaian tersentuh oleh kulit Jean.
Jean merasakan perut Arman yang kokoh. Seperti titanium yang terbungkus kulit. Keras. Jantungnya kembali berdetak kencang.
Jean tak kuat dengan semua ini. Ia seperti terbakar. Darahnya memanas. Ia melepas pegangan itu sebelum Ia semakin hangus menjadi abu.
Roda sepeda itu kini menggelinding ke bawah. Berputar-putar tanpa henti. Mengundang gelak tawa dari Arman. Tetapi Jean masih diam seribu bahasa.
Sentuhan yang mengundangku. Sudahlah.
*****
Tempat pertama yang mereka kunjungi adalah Air Terjun Sidoharjo. Estetika alam yang memanjakan mata. Terletak nyaris tak terjamah medan pandang. Akses jalan yang cukup sulit dan menantang.
Ketika suara gemuruh air yang berjatuhan mulai terdengar. Arman langsung terlihat bersemangat untuk menyambut suara itu.
"Itu air terjunnya?"
"Kita sudah dekat," jawab Jean dengan napas terengah-engah. Ia sudah cukup lelah dengan perjalanan yang lama tidak Ia cicipi.
"Ayo," seru Arman sambil menarik tangan Jean.
Lemas. Benar-benar membuat Jean melemas. Bukan karena dimakan lelah. Tapi dikalahkan sentuhan Arman. Terseret bagaikan butiran pasir yang tergulung ombak samudra. Terombang-ambing di dalam lautan. Dan mengikutinya tanpa daya apa-apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Karena Cinta Tak Mengenal Batas [COMPLETED]
RomancePS: Bagi teman2 dimohon untuk membuka pikirannya ketika membaca novel ini. kategori novel ini bukan erotis tetapi lebih kpd penjelasan apa yg d rasakan kaum lgbt dlm hidupnya, bagaimana mereka menghadapi lingkungan keluarga, dan bagaimana perspekti...