Sepulang dari curug Lawe, Tasya dan seluruh crew mengadakan pesta barbeque. Kehangatan kali ini mampu mencairkan sedikit gundah di hati Tasya. Gelak tawa orang-orang yang bahagia sedikit menular pada Tasya. Begitupun sepasang mata dengan sorot hangat dan rindu? (Mungkin) menatap Tasya tanpa kedip. Tasya dibuat resah karrna tatapan itu. Tasya pamit kedalam untuk menyeduh Matchalatte instant yang selalu ia bawa. Seperti biasa, Tasya mengirup aromanya rakus terlebih dahulu sebelum menyesapnya.
Ahh sudah lama ia tidak menikmati Matchalatte buatan Ragi. Jadi rindu Ragi. Tasya keluar lagi, namun ia tak menghampiri yang lain. Ia memilih menyendiri dan duduk di sebuah ayunan yang ada tak jauh dari keberadaan yang lain. Alwin yang melihat itu langsung saja menghampiri Tasya tanpa bersuara.
Tasya sedang menyesap Matchalattenya sambil memperhatikan langit malam ini. Langit malam ini sangat misterius. Hanya ada beberapa butir bintang dan sebuah lengkung senyum dari sang bulan. Semua bintang sama terang. Lalu dimanakah bintang yang selalu berkedip dengan cahaya paling terang? Apakah ia sudah menemukan galaksi lain untuk menetap? Ataukah ia hanya enggan menampakan diri pada dirinya yang sedang patah hati?Sebenarnya tadi sepulang dari curug Lawe, Tasya mencari Dewa ke dalam kamarnya. Namun rupanya Dewa sedang mandi. Tasya memutuskan untuk keluar, namun ia melihat sesuatu tergeletak diatas kasur Dewa. Tasya mendekat, setelah lebih dekat ternyata itu sebuah undangan pernikahan. Kaki Tasya sudah melangkah ingin keluar, namun hatinya penasaran. Sangat penasaran akan isi undangan tersebut. Dengan tergesa ia kembali dan membuka undangan itu, sebelum ketahuan Dewa.
SAMMI DAWALLA tangan Tasya bergetar membaca nama tersebut. Hatinya sudah yakin bahwa itu bukan Sammi yang dikenalnya, namun logikanya menolak asumsi tersebut. Hingga Tasya membuka lembaran berikutnya, terdapat foto kedua mempelai. Saat itulah oksigen serasa direnggut paksa dari paru-paru nya, pandangannya mengabur, kalimatnya tersekat, dia tak bisa bersuara, tak bisa bernafas normal sesaat. Disimpannya undangan itu ditempatnya semula. Lalu ia berbalik, ia butuh kesendirian.
"Tasya?" Tasya masih bengong
"Tasya?" Alwin mengibas-ngibaskan tangannya didepan wajah Tasya. Namun Tasya belum juga tersadar dari hal yang menyedot kenyataannya. Alwin pun meniup mata tasya yang sedang anteng meluncurkan cairannya. Tasya mengerjap. Ia menatap datar kepada Alwin, lalu dibalas Alwin dengan senyum tulus dan tatapan hangat itu.
Kehangatan dari mata Alwin semaakin melelehkan air matanya. Tasya menangis semakin sesenggukan, bahunya bergetar seirama dengan isakannya.
"Eh ehh lo kenapa sih, disenyumin malah nangis. Senyum gue kan manis, semanis madu. Ahhh elah kenapa sih pake mewek segala. Emmm yaudah deh sekali ini lo boleh minjem bahu gue, lo boleh buang ingus disini tapi jangan pake baju gue, nih gue ada saputangan" Alwin kelabakan melihat Tasya menangis didekatnya. Langsung saja ia menyodorkan saputangan dan diterima tanpa kata oleh Tasya. Tasya langsung menyender dibahu Alwin. Bagaimana pun, ia butuh penopang saat menangis seperti ini.
Tangis Tasya sudah mulai mereda. Tasya menegakkan tubuhnya lalu membuang ingusnya ke saputangan pemberian Alwin.
"Nih, makasih" Tasya menyodorkan saputangan penuh ingus itu ke Alwin, namun Alwin malah menjauh dan menatap Tasya jijik.
"Jorok banget sih jadi cewe, buang sono" Alwin mengarahkan dagunya kearah tong sampah yang tak jauh dari sana. Tasya menarik kembali tangannya. Ketika melihat cangkirnya sudah kosong, Tasya kembali meradang
"Lohhh ko kosong, pasti lo yang ngabisin ya" tuduh Tasya. Alwin malah tertawa melihat ekspresi Tasya. Bagaimana dia tidak tertawa ketika mata Tasya bentuknya jadi aneh, hidung merah dan ada ingus meler di satu lubangnya dan pipinya menggembung. Sungguh menggemaskan. Alwin jadi rindu adiknya. "Ihhhh nyebelin!!! Kenapa malah ketawa sih?" Tasya pergi menuju tong sampah untuk membuang saputangan nya lalu duduk kembali disamping Alwin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Matchalatte
Teen Fiction#1 in Latte Dia adalah Matchalate yang membuatku kecanduan akan ketenangan yang dia berikan. Dia, milikku -Tasya Kamu tau apa ketakukan terbesar aku? Aku takut kehilangan kamu. Tapi disisi lain aku juga gak bisa khianatin tuhan aku -Rahagi