Matchalatte memang telah dijadikannya teman setia disegala suasana. Ia begitu menikmati setiap tetes yang mengalir di kerongkongannya. Ragi hanya geleng-geleng kepala melihat kelebayan gadisnya. Bagaimana tidak lebay, jika Tasya memegang cangkir dengan kedua tangannya lalu menutup mata dan menyeruputnya perlahan, Setelahnya ia akan tersenyum. Ragi terkekeh, mengapa Tasya seolah-olah baru merasakan Matchalatte? Padahal ia hampir setiap hari meminumnya. Dan Tasya selalu memiliki kekaguman tersendiri pada Matchalatte buatannya. Itu membuat Ragi sangat bahagia.
"Lebay amat lu minum gituan juga," Ragi merebut cangkirnya dari tangan Tasya lalu meneguknya hingga tandas.
"Bukannya lebay, gue hanya menikmati. Sesuatu yang indah nan nikmat tidak selalu terlihat, namun juga dirasakan. Dan ketika menutup mata, indera perasa jadi lebih peka," sungut Tasya
"Lebay, untung sayang," Tasya menunduk, menyembunyikan semburat merah yang merambat dari jantung ke pipinya. Ragi menoleh, ikut tersenyum.
"Oh, sayang. Gue enggak tuh." Senyumnya sudah hilang, namun semburatnya masih tersisa
"Gak masalah kalau kamu gak sayang, yang penting aku sayang kamu," jawab Ragi sambil mengedikkan bahu tak acuh
"Ihh kok responnya gitu, harusnya tuh kamu so kecewa gitu terus ntar aku jawabnya aku gak sayang kamu, tapi aku sayang banget sama kamu. Gimana sih, ahh gagal deh dasar gak peka!"
"Laaah ngedrama mbaknya," Ragi tertawa terbahak "langsung bilang aja kenapa sih, harus berbelit-belit dulu. Aku juga sayang sama kamu apa susahnya?" Ragi menendang-nendang lembut kaki Tasya.
"Diem lu!! Gue lagi marah ini!" Tasya menggeser duduknya menjauhi Ragi.
"Oh, yaudah. Marah aja sono. Gak rugi juga,"
Ragi berbaring di sofa dan menyelonjorkan kakinya di atas paha Tasya. Dengan kasar Tasya berusaha mendorong kaki Ragi. Namun kekuatan tangan Tasya tak sebanding dengan kekuatan kaki Ragi, sehingga kakinya tak bergeser sedikitpun. Ragi tertawa ketika tasya menggelitik telapak kakinya. Karena sudah tak kuat di kelitik Tasya, Ragi bangkit. Lalu menerjang Tasya, menggelitiknya hingga mereka tertawa.
"Ehem!!"
Suara dehaman menghentikan tawa Ragi dan Tasya. Mereka pun membenarkan posisi duduknya.
"Mama dari mana? Kok pergi gak bilang sama Tasya?"
"Mama tadi ada keperluan sebentar,"
Kepala Tasya terangguk, enggan bertanya lebih detail tentang kepergian Rima. Rima pun pergi meninggalkan dua remaja itu menuju kamarnya. Setelah menutup pintu kamar, Rima berusaha mati-matian agar isakannya tak sampai di telinga Tasya. Apa yang dilihatnya tadi sungguh menyesakkan dada. Jika dulu dia bertindak kasar sampai Rima terkulai tak berdaya, namun kini dialah yang terbaring tak berdaya. Bahkan untuk hidup pun ia dibantu dengan berbagai alat medis. Kemana sosok angkuh nan kasar itu pergi?
Tasya harus tahu, tapi bagaimana cara memberitahunya? Tasya cukup bebal untuk sekedar mendengar nasihat. Bagaimanapun, dia punya peran besar dalam hidup Tasya. Rima teringat akan percakapannya tadi.
"Astaghfirullah hal'adzim, bagaimana bisa? Bagaimana ceritanya mas Dana bisa sampai seperti ini?" Rima menutup mulut dengan telapak tangannya. Isakan berhasil lolos dari celah jemarinya. Udara seakan hilang, hingga dadanya terasa sesak. Hatinya terbelit rasa iba, hingga ia melupakan apa yang telah dilakukan Dana di hari lalu.
"Sebenarnya, mas Dana sudah lama mengidap penyakit Aritmia," ujar Sarah
Aritmia adalah sebuah penyakit yang sering ditandai dengan kondisi denyut jantung yang tidak normal atau tidak beraturan. Kondisi ini bisa menyebabkan denyut jantung menjadi lebih lambat (bradikardia), denyut jantung menjadi lebih cepat (takikardia) atau denyut jantung sama sekali tidak teratur. Penyakit ini biasanya diawali dengan masalah impuls listrik yang tidak bisa diterima oleh jantung dengan baik.
"Sejak kapan? Dia tak pernah mengeluhkan apapun selama bersamaku"
"Sejak dua setengah tahun yang lalu, ia memang tak berniat memberitahumu. Ia tak mau kamu bertahan karena kasihan padanya"
Rima menghela nafas, mengatur berbagai emosi yang berkecamuk didadanya. "Apa dia bisa sembuh?"
"Entahlah, dia akan sembuh jika ada orang terlalu baik yang rela mendonorkan jantungnya. Aku sudah berusaha, namun sampai saat ini belum menemukan juga"
Tok tok tok!!
Ketukan di pintu menyedot Rima kembali dari ingatan tadi. Pintu sedikit terbuka, wajah Tasya mengintip dibaliknya. Dengan cepat, Rima menghapus air matanya.
"Ada apa sayang?"
"Emm itu, Ragi mau pamit Ma," Tasya membuka pintu lebar-lebar, memperlihatkan sosok Ragi yang telah bersiap untuk pulang.
"Ohh, iya. Hati-hati ya Gi," kata Rima menyambut uluran tangan Ragi
"Iya tante, permisi."
*****
Tasya baru selangkah masuk kelas ketika Asri dengan sangat heboh memanggil namanya.
"Tasyaaaa!!!!! Tasya Tasya Tasya lo tau gak? Kalo lo gak tau parah banget sih ini. Lo tau gak? Pak Firman udah gak ngajar lagi disekolah ini!!" Dengan kekuatan 59km/jam dan suara 9 oktav, tak mampu mengalahkan keterkejutan Tasya akan kepindahan Firman. Firman sekecewa itu sampai harus berhenti mengajar? Apa Firman benci Tasya? "oy Tasya!! Lu ngapa jadi bengong dah?" Asri melanjutkan kalimatnya
Tasya mengerjap, mengembalikan kesadarannya. "Ehhh iya, gue gak tahu." Tasya berjalan menuju bangkunya diikuti Asri yang tidak puas akan reaksi Tasya. Asri fikir, Tasya bakalan heboh kaya di sinetron indonesia kala terkejut. Namun Asri melupakan hal penting, bahwa Tasya adalah orang paling cuek se-nusantara.
"Ah elah, gak seru banget sih. Masa reaksinya gitu doang?" Asri menggerutu
"Yaterus gue harus gimana? Apapun yang dia lakukan, pasti ada alasannya. Dia udah dewasa untuk membuat keputusan, jadi lo gak perlu seheboh ini hanya karena pak Firman berhenti ngajar"
Asri berdecak, percuma ia ngomong panjang lebar pada Tasya. Ia akan selalu kalah, Tasya selalu punya argumen yang kuat.
"Emmm.. sebenarnya ada yang mau gue ceritain sama lo," kata Tasya ragu
"Apaan?!" Asri terlihat sangat antusias
"Tapi lo janji ya, responnya yang normal normal aja," Asri memutar bola malas, kalimat Tasya barusan menyiratkan bahwa Asri adalah orang terheboh di Nusantara.
"Iya dah, gua janji. Apaan?"
Tasya pun mulai menceritakan kejadian tempo hari saat Firman kerumahnya. Dimulai dari rencana perjodohan yang terbongkar, hingga sifat terpendam dalam diri Firman. Tasya menceritakannya dengan sangat teliti. Tak ada satu bagian pun yang terlewat. Semuanya dikemas dalam kemasan yang pas. Tak kurang dan tak lebih.
Asri menyimak dengan baik setiap kata yang diucapkan Tasya. Ia nampak berfikir, "Mungkin karena sudah taak ada harapan lagi sama lo, dia langsung berhenti ngajar." Tebak Asri
"Ah gak mungkin hal sepele kaya gitu bikin dia ngambil keputusan penting kaya gini," kata Tadya enteng
"Hal sepele lo bilang? Ini masalah hati, Tasya. Bukan masalah remah roti yang nempel di ujung sepatu lo,"
"Iya, gue tau. Tapikan menurut gue hati itu bisa dikendalikan. Bagaimanapun bentuknya, kita pasti bisa mengendalikan, termasuk perasaan"
"Bagaimana dengan perasaan lo sama Ragi? Apa lo lebih memilih taat pada Allah atau melangkah lebih dekat pada realita yang penuh luka?"
Tasya terdiam, mengulang pertanyaan Asri di otaknya. Lidahnya kelu, karena jawaban keduanya sulit untuk diramu.
Ego Tasya sedikit tersentil mendengar penuturan Asri barusan. Namun bagaimana lagi, apa yang dikatakan Asri memang benar adanya. Ia tak bisa membantah ataupun membenarkan."Tentu gue pilih opsi pertama, tapi opsi kedua juga kayanya sedang gue jalani saat ini," Tasya menunduk, menyembunyikan berbagai emosi yang mungkin berpendar dimatanya.
🥀
Jangan lupa Voment nya ya nak😊
Peluk gereleng dari Mama🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
Matchalatte
Teen Fiction#1 in Latte Dia adalah Matchalate yang membuatku kecanduan akan ketenangan yang dia berikan. Dia, milikku -Tasya Kamu tau apa ketakukan terbesar aku? Aku takut kehilangan kamu. Tapi disisi lain aku juga gak bisa khianatin tuhan aku -Rahagi