Latte 21

153 12 5
                                    

Tasya berjalan di koridor sekolah dengan pandangan kosong. Jalannya pun terlihat tak bertenaga. Banyak sapaan dari teman-temannya tak dibalas Tasya. Ia melewati Ragi, namun ia tidak sadar bahwa itu Ragi dan melewatinya begitu saja. Ragi terkejut akan keanehan sikap Tasya. Mulai dari semalam, Tasya seakan menjauhinya. Waktu berangkat sekolah pun, Tasya menolak berangkat bareng Ragi. Namun kali ini ia tak berniat mengejar, ia akan memberi ruang untuk Tasya bisa sendiri.

Ragi sadar apa yang diucapkan Rima kemarin itu benar, ia tak seharusnya menyeret Tasya pada kenyataan yang berakhir menyakitkan seperti ini. Lebih baik sakit karena memendam perasaan daripada dipaksa meninggalkan karena sebuah keharusan. Itu sangat menyakitkan. Apa yang salah dengan cinta dua orang remaja hingga semua pihak menentang jalinan kasihnya? Apakah karena agama mereka yang berbeda? Mengapa? Bukankah tuhan maha baik? Ragi yakin, tuhan pasti baik akan merestui hubungannya dengan Tasya, karena tujuan Ragi mencintai Tasya adalah baik, tak ada niat buruk sedikitpun termasuk menyakiti Tasya. Lalu mengapa mereka yang sama-sama makhluk tuhan menentangnya?

Tasya masuk kedalam kelas, lalu duduk di kursinya. Tak ada Adel maupun Asri di sekitarnya, Tasya menyumpalkan headset ke kedua telinganya. Ia memilih lagu secara random, kemudian memejamkan matanya, menikmati makna dari setiap bait lagu yang ia dengarkan.

Aku untuk kamu
Kamu untuk aku

Tasya teringat Ragi

Namun semua apa mungkin
Iman kita yang berbeda

Hatinya sakit mendengar lirik lagu tersebut. Mengapa pilihannya sangat pas dengan suasana hatinya saat ini? Mungkin Aalah memberi pencerahan kepada Tasya lewat lagu ini.

Tuhan memang satu
Kita yang tak sama
Haruskah aku lantas pergi
Meski cinta tak kan bisa pergi
(Marcell - Peri Cintaku)

Tasya membuka matanya, ia tak sanggup terlalu menghayati lagu tersebut. Oksigen serasa direnggut paksa dari paru-paru nya. Sangat menyesakkan. Entah sejak kapan Ragi ada di depannya. Ragi tersenyum, namun Tasya masih dengan ekspresi datarnya. Apa benar yang dihadapannya adalah Ragi? Apa dia nyata? Tasya melepas headsetnya lalu menopang dagu dengan kedua tangannya diatas meja agar lebih leluasa menatap Ragi.

Ragi mengeluarkan handphone lalu memotret wajah absurd Tasya. Sayangnya, blitz kameranya menyala. Tasya terperanjat, ternyata yang dihadapannya ini adalah Ragi asli, bukan hanya khayalannya. Tasya merubah posisi duduknya menjadi lebih tegak. Ragi hanya terkikik geli dibuatnya.

"Ko lo beneran sih? Gue kira cuma tokoh khayalan aja,"

"Ciee segitunya mikirin pacar," Ragi tertawa sampai matanya menyipit. Tasya tidak menjawab ataupun merespon, ia hanya mengunci pandangannya pada sosok didepannya "lo kenapa sih? Ko bisa murung gini?"

"Enggak," Tasya menggeleng

"Mama kamu ada bilang sesuatu?"

Tasya tersenyum lalu menundukan wajahnya, berniat menyembunyikan raut wajahnya. Namun Ragi sudah mengerti dari gerak gerik Tasya. Rima pasti sudah mengatakan hal yang sama pada Tasya. Ragi yakin itu.
Ragi pindah duduk ke samping Tasya. Dia menghela nafas sebentar "kamu percaya sama aku?"

Tasya mengangkat wajahnya menatap Ragi "Selalu. Aku selalu percaya sama kamu."

Ragi menatap lurus ke depan "Kamu tahu gak apa ketakutan terbesar aku?"

"Apa?"

"Aku gak mau kehilangan kamu. Namun di sisi lain aku juga gak bisa khianatin tuhan aku," Ragi menatap Tasya tepat di manik mata cokelatnya.

"Jadi, apa suatu hari nanti kamu bakal ninggalin aku?" Tasya tak bisa menahan getar dalam nada suaranya. Getaran itu sampai ke hati Ragi, membuatnya ngilu.

"Aku gak mampu ninggalin kamu. Sekarang ataupun nanti, sama saja. Tapi, tuhan kita tidak merestui. Kita bisa apa?" kalimat Ragi barusan serasa menusuk mata Tasya. Hingga matanya perih, air matanya menggenang. Namun Tasya masih bisa menahannya agar tak jatuh. "Tetaplah bersamaku untuk waktu yang tak bisa ditentukan. Entah sampai besok ataupun lusa, aku ingin kamu tetap bersamaku. Maukah kamu lewati runcingnya takdir bersamaku? Kita saling menguatkan, saling topang untung tetap bertahan,"

"Aku mau," jawab Tasya


*****

"Apa gak terlalu cepat Mas?" kata Sarah

"Gak ada yang kecepetan ataupun terlambat. Ini sudah waktu yang tepat untuk kita saling terikat," Dana mengelus tangan Sarah

"Bagaimana dengan Rima?"

"Rima? Apa penting kamu menanyakan dia?"

"Bukan gitu Mas, kamu kan baru kemarin resmi bercerai sama Rima. Masa mau nikah dalam waktu dekat sih? Apa kata orang?"

"Rima udah jadi mantan istriku. Apa salah menunda niat baik? Apa kataa orang, ya terserah mereka. Toh mereka hanya bisa berkata tanpa tau fakta. Gak usah dengerin. Selama ini juga kita hidup dibawah omongan orang masih baik-baik saja."

"Iya deh Mas, terserah kamu. Aku ikut kamu aja,"

Tak ada gunanya ia berdebat dengan Dana. Ia akan selalu kalah, Dana sangat bisa menjawab semua sangkalannya. Dana dan kekeras kepalaannya adalah perpaduan yang sempurna untuk seorang yang menyebalkan sepertinya.

"Kalau begitu, minggu depan kita nikah ya? Kamu mau pernikahan yang seperti apa?"

"Hmm oke, kita nikah secara sederhana aja ya. Cuma ngundang saudara dan teman dekat aja."

"Ok, sesuai kemauan kamu," Dana tersenyum.

"Aku ke kamar dulu ya?" Pamit Sarah yang di jawab dengan anggukan dari Dana.

Sarah pun meninggalkan dana di taman belakang rumahnya seorang diri. Biarlah, terserah Dana mau melakukan apapun. Ketika melewati pintu kamar Annya yang sedikit terbuka, Sarah memberanikan diri untuk masuk karena sepertinya Annya sedang menangis. Dilihatnya Annya yang terduduk dilantai sambil memeluk lututnya dan membenamkan wajahnya diantara kedua lututnya itu.

Sarah menghampiri, lalu duduk dan mengusap lbut bahu anaknya. Annya mengangkat wajahnya dan langsung menghamburkan diri ke pelukan Sarah.

"Kamu kenapa? Berantem lagi sama Sam?"

"Mah, kenapa sih Sam gak bisa lupain dia? Kenapa Sam gak pernah mau lirik aku? Padahal kan aku istrinya, kurang apa aku?"

"Dia siapa maksud kamu?" Annya langsung mencari handphonenya dan membuka galeri foto. Ditunjukkannya foto Tasya yang tengah tersenyumbersama Sam.
Jantung Sarah seperti berhenti berdetak. Apa yang telah ia lakukan? Mengapa ia bisa sejahat itu?

"Bukankah ini anak Mas Dana?" Sarah menggumam

"Iya mah. Ini anak om Dana. Dia yang telah memiliki Sam seutuhnya, hingga tak ada sejengkal pun tempatku di hati Sam," Annya menangis

"Astagfirullah hal'adzim, mama tak sadar melakukannya. Ini semua salah Mama. Jika saja Sam tidak dipaksa untuk menikahi kamu, mungkin Kamu, tasya dan Sam tidak akan seperti ini. Maafkan Mama," Sarah menangis tersedu menyadari kebodohannya.

Sam telah direnggut paksa dari Tasya demi Annya, anaknya. Dia juga telah membuat Dana bercerai dari Rima demi dirinya. Ia tak sadar perbuatannya telah sejauh itu. Bukankah menyesal saat ini sudah terlambat? Semuanya sudah terlanjur, tak bisa ia perbaiki apalagi dikembalikan ke posisi seharusnya.





🥀

Voment nya ya nak😊
Peluk gereleng dari Mama🤗

MatchalatteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang