Pupil matanya membola, air mulai menggenang di pelupuk matanya. Ada sesuatu yang menghimpit dadanya, ada sesuatu yang merenggut paksa oksigennya. Tasya tak menyangka jika Dana tengah berperang melawan maut di dalam sana. Semakin hari, kesehatan Dana semakin memburuk. Ia menyesal karena pada awalnya ia menolak untuk menjenguknya. Namun ia sadar, bagaimanapun dia adalah Papanya. Satu dari dua sayap pelindungnya.
Tasya tersadar dari lamunannya ketika ada hangat yang mengusap bahunya. Setelah mengetahui keadaan Dana, Tasya memang tidak banyak bicara dan sering melamun. Keadaan Dana saat ini sangatlah kritis, jika dalam waktu dekat ini pendonor jantungnya belum juga ada, maka Dana sudah tak bisa diselamatkan lagi.
"Sayang, Papa kamu itu orang yang kuat. Dia pasti bisa melawan penyakitnya," seakan mengerti apa yang sedang difikirkan Tasya, Rima mencoba meyakinkan Tasya bahwa semua akan baik-baik saja. Meskipun ia sendiri khawatir akan pemikiran-pemikiran buruknya akan menjad kenyataan
Tasya mengangguk, lalu tersenyum. "Tasya pamit ke toilet ya Ma," anggukan Rima menjadi persetujuan bagi Tasya dan ia pun langsung beranjak meninggalkan Rima. Sebenarnya pergi ke toilet hanyalah alibi bagi Tasya. Entah pemikiran darimana, ia bisa sampai ditempat ini. Pintu berwarna putih menjulang didepannya, Tasya menghela nafas berat lalu melangkahkan kakinya kedalam ruangan tersebut dengan mantap.Cukup lama Tasya berada di ruangan itu. Setelah urusannya selesai, ia keluar dengan perasaan tak menentu. Khawatir jelas tersirat dalam mimiknya. Sekali lagi ia menghembuskan nafas, mencoba mengatur emosinya. Lalu berjalan meninggalkan ruangan yang akan dimasukinya lagi esok lusa. Ia tidak yakin akan keputusan yang diambilnya adalah benar. Namun ia tak tega jika harus melihat Papanya berjuang melawan maut sendirian.
"Kamu dari mana aja, lama banget ke toiletnya?" tanya Rima khawatir
"Tadi aku ke kantin sebentar Ma, haus." Kilah Tasya
"Kita pulang yuk, udah sore. Mama udah izin tadi sama Mama Sarah,"
Tasya memutar mata malas, mendengus mendengar Rima menyebut Sarah dengan embel-embel Mama. Bagi Tasya, Sarah tetaplah orang asing meskipun ia telah menikahi Papanya. Saat melihat Rima berusaha tegar, rasanya masih sama sakitnya seperti pertama kali mengetahui perselingkuhan Dana. Ia kembali menimbang. Sosok Dana dan perlakuannya berbanding terbalik dengan pengorbanan yang akan Tasya lakukan.
*****
Sepanjang aktivitas sekolah, Tasya nampak tak bersemangat. Ia sering melamun, bahkan satu senyuman pun belum terlihat dari pagi sampai sekarang mau pulant. Asri dan Adel berkali-kali bertanya apa ia baik-baik saja dan selalu dijawab dengan anggukan oleh Tasya.
Tasya duduk di motor Ragi sambil menunggu siempunya datang. Ia sedang menimbang-nimbang, apakah saat ini adalah waktu yang tepat untuk menyelesaikan semua bersama Ragi? Tapi jika tidak sekarang, kapan lagi? Papanya butuh Tasya secepatnya.
Kepala Tasya terasa berat, ternyata Ragi sedang memakaikan helm dikepala Tasya. Rupanya Tasya terlalu larut dalam pemikirannya.
"Jangan ngelamun mulu, Ragi gak bisa ninggalin Tasya kalo Tasyanya ngelamun mulu," Ragi menggeplak helm Tasya. Tasya tersenyum miris tanpa berniat menjawab bercandaan Ragi. Kenapa Ragi berkata seolah-olah dia yang akan meninggalkan Tasya, padahal kenyataan berkata sebaliknya. Mereka pun pergi meninggalkan area sekolah. Tasya memeluk erat pinggang Ragi, sangat erat. Seolah menghantarkan perasaannya lewat pelukan kepada Ragi.
"Berhenti dulu di taman depan ya, aku mau ngobrol sama kamu," kata Tasya
Tanpa banyak bicara, Ragi menepikan motornya di taman yang disebutkan Tasya. Tasya duduk di rerumputan, padahal ada kursi terletak tak jauh dari tempatnya. Seakan mengilustrasikan kepergian yang akan Tasya jalani, senja mulai melukis diri dilangit. Ragi duduk disamping tasya, tangannya melingkar dikedua lutut. Sedangkan Tasya merebahkan diri direrumputan, agar leluasa menghadap senja. Ragi pun ikut membaringkan diri disamping Tasya. Keduanya terdiam, menikmati lukisan senja yang mulai nampak.
"Ragi?"
"Hm,"
"Senja punya caranya sendiri untuk pamit,"
"Lalu?"
"Kamu percaya sama reinkarnasi?"
"Ya, aku percaya," Ragi menoleh, menatap Tasya yang dirasa mulai aneh.
"Aku harap, di masa yang akan datang kita bisa bersama tanpa terikat tali perbedaan. Kamu mau menungguku?"
"Aku selalu siap nunggu kamu, Tasya!"
"Jika begitu, tunggu aku. Semoga dimasa mendatang kita dipertemukan kembali. Kisah kita dimasa ini, selesai sampai disini." Bukannya lega, Tasya merasa semakin sesak ketika berhasil melepaskan kalimat itu. Ragi bangkit, lalu menatap Tasya dengan tatapan kecewa. Tak menyangka jika Tasya akan mengatakan hal menakutkan seperti itu.
"Jadi ini caramu pamit? Kamu dan senja sama saja. Indah dan pergi dalam sekejap.." Ragi membuang muka, menahan getaran aneh di dadanya. "..kenapa?" Ragi menatap tajam, berharap bisa menemukan kebohongan dalam mimik Tasya.
"Aku mencintai laki-laki lain," jawab Tasya masih tenang.
"Sejak kapan?!" Intonasi suara Ragi sudah tak bersahabat.
"Jauh sebelum aku mengenal kamu. Maaf," Tasya bangkit, duduk sambil memeluk lututnya. Ragi bangkit, berjalan menjauhi Tasya.
"Tunggu aku di kehidupan selanjutnya, Ragi!" langkah Ragi terhenti, lalu menoleh melihat Tasya yang juga tengah melihatnya.
"Aku akan nunggu kamu, datanglah jika urusanmu telah selesai dengannya!" Kata Ragi sinis
"Terima kasih, aku sayang kamu!"
Ragi mendengus, lalu berbalik melanjutkan langkahnya meninggalkan Tasya.Tasya bangkit, berjalan kepinggir kolam dengan langkah gontai. Saat itulah benteng pertahanannya runtuh, air matanya mengalir meluapkan sesak yang sedari tadi menguasai dadanya. Ia menangis, tak mempedulikan orang-orang yang mungkin melihatnya. Hari mulai menggelap, senja perlahan undur diri di peraduannya. Tasya berbalik, berniat pulang. Namun sesak kembali menyapa dadanya ketika mendapati Ragi tengah menatapnya dengan tatapan sendu.
Air mata Tasya luruh kembali ketika Ragi memeluknya dengan sangat erat. Pundak Tasya basah, rupanya Ragi juga tengah menangis. Mereka berpelukan mengilustrasikan bahwa mereka tak ingin saling melepas satu sama lain.
"Kamu gak bisa ninggalin aku, Tasya."
"Maaf, aku bisa." Tasya melepas pelukannya
"Aku gak bisa kamu tinggalin,"
Tasya tersenyum, "Percayalah, dimasa mendatang aku akan sangat dekat denganmu. Jadi, tunggu aku sampai saat itu tiba. Aku pergi,"
🥀
Jangan lupa voment ya Nak😊
Peluk gereleng dari Mama🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
Matchalatte
Teen Fiction#1 in Latte Dia adalah Matchalate yang membuatku kecanduan akan ketenangan yang dia berikan. Dia, milikku -Tasya Kamu tau apa ketakukan terbesar aku? Aku takut kehilangan kamu. Tapi disisi lain aku juga gak bisa khianatin tuhan aku -Rahagi