Telah lama Tasya tidak mendengar kabar tentang Papanya. Terakhir ia mendapat kabar bahwa Dana telah resmi menikah dengan Sarah. Bahkan Dana tidak meminta persetujuannya untuk menikahi Sarah. Bukan kah Tasya masih berstatus sebagai anaknya?
Rima pun tak banyak membicarakan Dana. Seiring bergulirnya waktu, Rima telah benar-benar ikhlas jika Dana telah pergi dari hidupnya. Tapi Rima tak terima jika Dana juga pergi dari kehidupan Tasya. Sudah berulang kali Rima mencoba menghubungi Dana agar tetap menjalin komunikasi dengan Tasya. Namun Dana selalu sulit untuk dihubungi. Walaupun Tasya sudah remaja, tapi Tasya tetaplah seorang anak yang butuh kasih sayang Papanya.
Tasya dan Ragi masih menjalani kisah terlarang nya. Mereka menjalankan peran dengan sangat baik. Mereka kira, Rima tidak menyadari. Namun nyatanya Rima hanya pura-pura tuli dan membiarkan mereka menuntaskan kisahnya dengan caranya sendiri. Entah itu berakhir dengan kesepakatan atau kesempatan. Rima hanya bisa berharap apapun jalan yang mereka pilih, mereka tak akan menyesalinya di kemudian hari.
"Sayang, ko malah ngelamun sih?" Rima menegur Tasya setelah menelan beberapa teguk air.
"Ehh hmm, kenapa perasaan Tasya gak enak gini ya?" Tasya nampak gelisah, dan Rima sangat menyadarinya. Melihat Tasya seperti itu, entah mengapa ia juga merasakan hal yang sama. Namun Rima hanya menunjukkan senyum menenangkannya, berusaha serapat mungkin menutupi perasaannya. Makan malam pun dilanjutkan dalam hening, hanya terdengar bunyi sendok dan piring yang berdenting.
Dering handphone Rima memecah pemikiran pemikiran yang sedang terputar di benak mereka. Rima meliriknya sekilas, lalu melanjutkan suapannya tanpa berniat menjawab telepon tersebut. Tasya tidak banyak bertanya, ia tak mau terlalu banyak mencampuri urusan pribadi Mamanya.
Handphonenya berhenti bersuara. Seakan meencuri waktu untuk bernafas sebelum berdering kembali, handphonenya kembali berbunyi dari telepon orang yang sama. Dengan nafas berat, Rima mengangkat teleponnya dan melangkah meninggalkan Tasya di meja makan ditemani berbagai pertanyaan. Tidak biasanya Rima menjawab telepon jauh sampai harus keluar seperti itu. Biasanya, sepenting apa pun teleponnya, ia akan mengangkatnya ditempat, walaupun sedang bersama Tasya.
Tasya meraih gelasnya, lalu meneguk airnya. Lalu ia membereskan bekas makannya. Setelah selesai, ia lalu berjalan memasuki kamarnya. Berniat mengerjakan tugas sekolahnya. Baru saja ia mengerjakan beberapa soal, Tasya baru ingat jika handphonenya tertinggal di ruang tv. Langsung saja ia turun, takut Ragi menghubunginya lalu Rima tahu segalanya.
Samar-samar Tasya mendengar suara Rima yang sedang mengobrol dengan seorang lelaki. Tasya sangat mengenal suara itu. Itu suara milik Firman. Tasya yakin.
"Tapi Tante, jika Tasya nggak tahu mau bagaimana status perjodohan ini?"
"Iya, Tante akan bicara sama Tasya. Tapi nggak sekarang," Rima menghela nafas lelah. Pasalnya bukan sekali duakali Firman mendesak Rima untuk memberitahu Tasya tentang perjodohannya dengan Firman. Bahkan Firman juga yang menyuruh Rima untuk memisahkan Ragi dan Tasya.
Sebenarnya Rimq tidak tega memaksakan Tasya melepas kebahagiaannya. Namun ia juga tidak rela jika Tasya harus bersama Firman. Awalnya Firman memang baik, manis. Namun semakain kesini, semakin terlihat watak aslinya. Firman yang pemaksa, yang tidak mau tahu alasan dibalik penolakan keinginannya.Tasya memegangi dadanya yang berdebar. Ia masih setia menguping pembicaraan Rima dan Firman. Dengan segenap keteguhan hatinya, Tasya menghampiri kedua orang tersebut. Dengan keberanian yang mengalir bersama hela nafasnya, Tasya mengucapkan kalimat yang berhasil membongkar pertahanan kepalsuan Firman.
"Maaf Pak. Saya tidak bisa menuruti keinginan orangtua kita. Saya yakin. Bapak pasti tahu jika diluaran sana banyak perempuan yang ingin bersanding bersama Bapak. Tapi bukan Saya. Saya harap, Bapak dapat menerima keputusan Saya,"
Tatapan Tasya tak lepas dari netra Firman. Pandangan mereka saling mengunci, menyalurkan emosi masing-masing lewat tatapan itu. Tasya masih berdiri ditempatnya, Rima memberi waktu bagi mereka untuk menyelesaikan permasalahannya. Namun ia masih disana, takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Dada Firman bergemuruh, emosinya bergejolak. Terlihat dari nafasnya yang kasar dan tak teratur. Ia memejamkan matanya, menarik nafas dalam-dalam. Ia lalu bangkit menuju Tasya, tatapannya datar dan tak bisa diartikan. Rahannya mengeras, bibirnya terkunci sempurna. Punggung tasya membentur pintu. Sebenarnya Tasya takut Firman yang seperti ini, namun ia masih memiliki keberanian untuk sekedar menatap wajah Firman.
Tanpa diduga Firman meninju pintu tepat disamping telinga Tasya. Jari-jari nya langsung memerah, bahkan ada yang sampai berdarah. Rima hanya berteriak memerintahkan Firman untuk segera pulang. Namun Firman seakan tak mempedulikan eksistensi Rima disekitarnya.
Tasya langsung menunduk, terlalu takut jika ia menatap langsung wajah Firman. Tak pernah terbayang jika Firman bisa semengerikan ini ketika marah. Apa Tasya sudah keterlaluan? Tasya rasa penolakannya ia lakukan sesopan mungkin. Namun mengapa Firman bisa semarah ini?
Kini Tasya berada dibawah kungkungan tangan Firman. Tubuhnya semakin bergetar karena ketakutan. Sebelah tangan Firman memegang dagu Tasya kasar dan mengarahkan untuk menatap manik matanya yang membara karena amarah."Apa karena Ragi?.." Tasya menggeleng diiringi lelehan air matanya. 'Tanpa ada Ragi pun aku gak akan pernah mau sama kamu' batin Tasya. "terus kenapa kamu gak mau sama aku?!! Apa aku selama ini terlalu baik sama kamu? apa kamu buta, sampai gak bisa lihat seberapa cintanya aku sama kamu!!"
Tasya semakin terisak ditempatnya. Rima tak tinggal diam. Ia meraih tangan Firman, menariknya keluar pintu. Namun Firman menghempaskan tangan Rima dengan kasar. Ia lalu menutup pintu dan menguncinya, membiarkan Rima berteriak meraung-raung dari luar. Ia memberika tatapan paling lembutnya kepada Tasya. Tasya semakin beringsut ketakutan. Mood swing Firman seperti ini mengingatkan Tasya pada suatu oenyakit psikologi yang pernah dibacanya. Namanya Bipolar, apakah Firman mengidap Bipolar?
"Apa kamu mau mendampingi aku selama hidupku? Biarkan aku merasakan segala susah gundah mu. Hanya kebahagiaan yang akan aku berikan kepadamu" Firman mengusap lembut pipi Tasya, sangat lembut bagaikan Tasya adalah makhluk paling rapuh yaang pernah disentuhnya. Air mata Tasya semakin deras mengalir, dengan cepat Firman mngusapnyaa menggunakan ibu jarinya.
Tasya menggeleng perlahan jemari Firman turun, mencengkeram bahu Tasya sangat erat, hingga Tasya melirih kesakitan.
"Kenapa!!!!! Kamu memang bego!!" isak tangis Tasya semakin keras terdengar. Rima hanya bisa berdoa dari luar. Semoga anaknya baik-baik saja. Tawa Firman pecah, beradu dengan suara tangis Tasya. Firman sudah seperti orang gilaa saat ini. Baru saja ia marah, sekarang sudah tertawa seperti sedang melihat hal yang paling menggelikan sedunia. "oh my god. Gua baru sadar selama ini gua mencintai orang bego.." Tawanya berlanjut, semakin terbahak. Lalu ia menghembuskan nafas kasar, lalu menatap Tasya dengan pandangan meremehkan. "kamu benar, diluaran sana banyak perempuan yang mengejar aku. Mereka bahkan lebih waras, lebih cantik daripada kamu. Kamu pake pelet apa sih sampai bisa bikin aku tergila-gila gini sama kamu?"
Tasya cengo, tak menyangka jika Firman sudah beneran gila gara-gara dirinya. Dalam hati, tak hentinya ia merapakan istighfar.
"Engg.." Kalimat Tasya terputus
"Happy birthday.." Firman tersenyum lalu mengusap lembut pucuk kepala Tasya. Tasya semakin cengo dibuatnya. Ia sangat tahu bahwa hari ini bukan hari ulang tahunnya. Lalu mengapa Firman mengucapkan happy birthday padanya? "semoga bahagia, jangan kangen yaa" lanjutnya.
Tasya ingin tertawa saat ini juga, namun ia takut di gampar sama Firman wkwk. Tanpa menunggu respon dari Tasya, Firman melangkah dengan langkah yang sangat ringan menuju pintu keluar. Saat berpapasan dengan Rima di teras, Firman menyunggingkan senyumnya dan meraih tangan Rima lalu dikecup punggung tangannya.
"Saya permisi, Tante"
Rima segera masuk kedalam. Mengecek keadaan putrinya. Betapa bersyukurnya ia ketika melihat Tasya baik baik saja. Tak ada luka sedikitpun, bahkan ia tak lagi menangis.
🥀
Voment ya nak😊
Peluk gereleng dari Mama🤗©Nebulagoon2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Matchalatte
Teen Fiction#1 in Latte Dia adalah Matchalate yang membuatku kecanduan akan ketenangan yang dia berikan. Dia, milikku -Tasya Kamu tau apa ketakukan terbesar aku? Aku takut kehilangan kamu. Tapi disisi lain aku juga gak bisa khianatin tuhan aku -Rahagi