Setelah putus dari Sam beberapa minggu yang lalu, Tasya jadi semakin dekat dengan Ragi. Lebih tepatnya, Tasya semakin bergantung pada Ragi. Tapi itu tidak jadi masalah bagi Ragi, dengan senang hati menjadi tempat bergantung Tasya.
Tasya memperhatikan keadaan sekolah dibawah kungkungan senja kali ini. Seram. Itu yang dirasakannya. Hari ini Ragi sedang melatih juniornya di ekstrakurikuler basket. Terpaksa saja Tasya menunggunya, padahal tadi Ragi bersedia mengantar Tasya pulang dulu lalu kembali ke sekolah. Tapi Tasya adalah Tasya dengan segala keras kepalanya. Ia tetap bersikukuh untuk menemani Ragi latihan basket.
"Hoy!! Ngelamun mulu, disentil setan baru tau rasa" dengan baju basah oleh keringat, Ragi menghampiri Tasya
"Udah selesai?" Sambil menyodorkan air mineral
"Udah, mau pulang sekarang?" Ragi menatap Tasya. Iris cokelat teduhnya menyala memantulkan pesona jingga yang membuat Tasya terpesona. Bukannya menjawab. Tasya malah tersenyum. Alis Ragi nampak naik sebelah "waah beneran kesambet nih anak ditanya malah senyum senyum gak jelas"
"Lo nya juga masih cape kan? Diem dulu aja, istirahat" masih dengan senyumnya
"Oh. Oke."
Tak ada obrolan diantara mereka. Dua-duanya diam, sibuk dialam fikirannya masing-masing. Satu persatu anggota basket berpamitan pada Ragi. Tasya dan Ragi pun ikut meninggalkan lapangan basket. Sesampainya di parkiran, Ragi menyerahkan satu helm kepada Tasya. Lalu meluncur menuju rumah Tasya.
Ketika memarkinkan motornya di halaman rumah Tasya, suara ribut terdengar dari dalam rumah. Tak salah lagi, itu pasti Rima dan Dana. Haishh tak ada bosannya mereka bertengkar. Ternyata Dana masih ingat jalan menuju rumahnya. Tasya kira ia sudah lupa.
Tanpa basa-basi, Tasya langsung berlari kedalam rumah. Karena Ragi khawatir, ia menyusul Tasya setelah melepas helmnya.
"Sudah aku bilang berkali-kali, aku gak mau cerai mas aku gak mau!!!" Teriak Rima frustasi. Mereka belum sadar bahwa Tasya sedang berdiri, menyaksikan adu mulut mereka dari ruang tamu. Ia ingin menangis melihat Rima dibentak seperti itu, namun kebencian kepada Dana menekan air mata itu untuk tidak keluar. Ketika melihat Dana sudah mengangkat tangan bersiap memukul Rima, Tasya dengan gesit melindungi tubuh Rima dengan tubuhnya.
"Argggghhhhhh!!" Dana berteriak sambil memegang sebelah tangannya yang dipakai untuk memukul Rima memerah, perih dan mati rasa. Dana maupun Rima membelalakkan mata tak percaya akan kehadiran Tasya. 'tadi gue dipukul ko gak sakit yaa' batinnya. Tasya berbalik menatap Dana yang tengah meringis kesakitan. Tapi matanya tak fokus menatap Dana, justru terfokus pada pantulan dirinya di kaca lemari yang berada di belakang Dana. Kaget, tentu saja. Saking khawatirnya pada Rima, ia lupa tidak melepas helm tadi. Pantas saja ia tidak merasa sakit saat dipukul Dana tadi, ternyata dana memukul helmnya, bukan Tasya. Ahh betapa bersyukurnya tasya.
Tasya nyengir, "tangan papa sakit ya? Maaf ya pa" cengiran Tasya melebar, suasana yang menegangkan tadi berubah menjadi canggung. Selama mereka bertengkar, baru kali ini disaksikan anak semata wayangnya. Ragi yang berdiri tak jauh dibelakang Tasya, wajahnya memerah menahan tawa akan kelakuan sahabatnya. Ia tak berani menertawakan Tasya di tengah suasana seperti ini, ia masih tau diri.
"Eh, Ragi" Rima tersenyum salah tingkah "maaf ya kamu harus melihat keluarga tante yang seperti ini"
"Aku yang minta maaf tante, udah lancang masuk kesini" Ragi menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Tasya membuka helmnya dan meletakkannya diatas meja. Setelah merapikan helai rambutnya, dengan berat hati tasya mengeluarkan kalimatnya yang tertahan di kerongkongan sedari tadi.
"Emhh papa tadi minta cerai kan sama mama?" Jika kalian berfikir wajah Tasya mengguratkan banyak kesedihan, kalian salah. Justru wajah Tasya saat ini sangatlah tenang. Membuat Rima semakin sedih melihat putrinya bersikap pura-pura tegar seperti ini. "Mah cerai aja kenapa sih? aku gak tega liat mama kaya gini terus. Aku ikhlas ma kalau mama sama papa harus cerai. Mungkin jodoh kalian udah habis sampai sini"
Rima tak sanggup lagi menahan air matanya. Dipeluknya tubuh ringkih tasya, tak hentinya ia meminta maaf sambil mencium pucuk kepala Tasya. "Maafkan mama sayang. kamu benar, mama gak bisa kaya gini terus". Rima melepas pelukannya, dibalas senyuman menenangkan dari Tasya.
"Mana suratnya mas, aku ikhlas kita cerai" dengan segenap keberanian yang dipunya, Rima mendongak menatap wajah beku Dana. Dengan kikuk, Dana menyerahkan surat perceraian beserta pulpennya. Tanpa membuang-buang waktu, Rima membubuhkan tandatangannya. Ia kira, menandatangani surat ini akan terasa begitu menyakitkan, namun ternyata spekulasinya selama ini salah. Ia sangat lega. Seperti setengah beban hidupnya mengalir bersama tinta yang membentuk tandatangannya. Dengan senyum terkembang, Rima menyerahkan surat itu kembali.
"Tasya, maafin papa ya. Terimakasih atas pengertian kamu, papa permisi dulu" ucap Dana tulus. Namun reaksi Tasya sungguh menyayat hatinya. Boro-boro menjawab, menatap Dana pun enggan. Tasya malah pamit kepada Rima untuk ke kamarnya.
"Tante, boleh aku nyusul Tasya?" Ragi memecah kecanggungan. Rima mengangguk mengiyakan. Ketika Ragi menaiki tangga, Dana pamit dengan perasaan yang menyesakkan. Ia kira dengan menceraikan Rima, ia akan bebas dari rasa bersalahnya. Namun kenyataannya, ia semakin terbebani. Apalagi dia di acuhkan oleh anaknya. Dia terlalu pengecut untuk memperbaiki segalanya. Ia merasa terlalu rendahan untuk mempertahankan rumahtangga nya bersama Rima.
*****
Kamar Tasya tidak dikunci, jadi Ragi bisa langsung masuk untuk melihat keadaan Tasya. Matanya menyapu seluruh ruangan. Tidak ada Tasya disini. Ia membuka pintu kamar mandi, Namun tak ada juga. Matanya menyapu ruangan ini sekali lagi. Dan shoot! Tasya sedang menangis di bawah meja belajar sambil memeluk boneka, meredam suara tangisnya. Ragi langsung menghampiri dan memeluknya. Tangis Tasya semakin menjadi dalam pelukan Ragi.
Tidak ada satupun kata terucap dari bibir Ragi. Pelukannya semakin erat ketika Tasya semakin terisak. Setelah dirasa Tasya mulai tenang, Ragi melepas pelukannya.
"Maaf ya, lo harus liat keluarga gue yang kaya gini"
"Udah, gak papa. Lo sama tante Rima itu orang yang baik. Kuat. Kalian pasti bisa lewatin ini semua. Tenang aja, gue selalu dibelakang lo. Kapanpun lo butuh, lo tinggal berbalik dan gue siap bantu lo"
"Makasih Ragi, gue gak tau harus gimana lagi"
"Lo punya tuhan. udah magrib, solat gih pasrahkan semuanya sama tuhan. Berdo'a"
"Iya, doakan semoga gue sama mama bisa kuat ya"
"Walaupun tuhan kita gak sama, gue selalu mendoakan kalian. Karna gue yakin, kebaikan itu gak ada batasnya"
Tasya tersenyum, lalu beranjak untuk mengambil air wudhu. Setelah beberapa menit, Tasya keluar dari kamar mandi dengan wajah fresh dan meneduhkan bagi Ragi. Perhatian Ragi tak lepas dari Tasya, dimulai dari menggelar sejadah, memakai mukena hingga menyelesaikan solatnya. Ragi memperhatikan segalanya, sampai detail gerakan solat pun ia hapal. Ada getaran aneh dalam diri Ragi. Rasanya seperti... Ah entahlah susah untuk dijelaskan. Tak pernah sekalipun ia merasakan hal seperti ini ketika beribadah di gereja. Tapi mengapa hanya melihat Tasya beribadah, rasanya seperti ini. Ada haru yang membuncah dari dadanya, tanpa dia sadari, setetes air mata jatuh ke pangkuannya.
Ragi terlalu sibuk dengan pemikirannya. Ia tidak sadar bahwa Rima sudah berteriak daritadi menyuruh mereka turun, untuk makan malam. Lalu mereka turun dan menyantap hidangan yang telah disiapkan Rima. Setelah selesai, Ragi pamit pulang dengan perasaan masih seaneh tadi.
🥀
Voment nya ya nak😊
Peluk gereleng dari Mama🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
Matchalatte
Teen Fiction#1 in Latte Dia adalah Matchalate yang membuatku kecanduan akan ketenangan yang dia berikan. Dia, milikku -Tasya Kamu tau apa ketakukan terbesar aku? Aku takut kehilangan kamu. Tapi disisi lain aku juga gak bisa khianatin tuhan aku -Rahagi