London, 24 Desember 2016 8;37 pm
Udara begitu hangat malam itu sekalipun dinginnya salju cukup menganggu para pejalan kaki namun tidak pernah membuat mereka membenci bulan Desember. Tentu saja karena natal adalah hal yang terbaik. Begitupun dengan kami, aku meraup udara dingin bulan Desember dengan rakus ke dalam paru-paruku sebelum akhirnya membuangnya kasar. Seorang gadis tersenyum padaku sembari memeluk dan menepuk bahunya berkali-kali mencari kehangatan, "dingin sekali ya..."
Aku terkekeh sebelum menjawabnya dengan sedikit sarcasm, "tidak. Memangnya gadis bodoh mana yang memaksakan memakai satu lapis pakaian disaat suhu menyentuh angka 4 derajat?" Irene mendengus mendengarnya.
"Aku tidak menyangka akan sedingin ini" sahutnya sebelum ia mulai melangkah maju dengan menyeret koper nya. Aku mengedik acuh dan mengikuti Irene dibelakangnya dengan koperku malas-malasan berharap bisa menggerakkan sedikit badanku karena perjalanan panjang.
Kami baru saja terbang untuk waktu yang sangat lama dari Incheon ke London karena tiba-tiba paman Irene meneleponnya mengatakan bahwa konser reuni One Direction benar-benar terjadi setelah mereka hiatus selama 7 setengah tahun lamanya. Benar-benar kejam. Tapi karena Irene adalah fans berat Louis Tomlinson garis keras dan karena rengekannya seharian penuh juga sms-sms mengerikan yang selalu menerorku tiap malam, pagi, siang sore sampai aku gila membuatku mengiyakan ajakan Irene untuk berangkat ke London pada minggu-minggu mendekati natal.
Lagipula setelah kupikir-pikir tidak apa aku pergi dengannya daripada menghabiskan natal sendirian dirumah tanpa orang tua karena ibu terlalu sibuk dengan bisnis butiknya dan aku tidak mempunyai saudara pun jadi ibu mengizinkannya. Karena bagaimanapun juga aku dan Irene sudah berteman sejak kecil. Ibu mempercayai Irene seperti ia mempercayai anaknya sendiri dan membiarkannya tanpa bersusah payah mengkhawatirkan anak gadisnya pergi berkilo-kilo meter jauhnya.
Walau sejujurnya aku berharap ia sedikit saja berfikir mengenai ku bukannya malah mengirimkan uang dalam jumlah besar ke dalam rekeningku dan langsung memberi izin.
"Apa yang kau pikirkan? Bukankah ini saat yang tepat untuk bersenang-senang dan melupakan sedikit kuliah yang membuatmu gila?" Irene terkekeh tanpa beban seperti dia benar-benar menaklukkan dunia.
Kini giliran aku yang mendengus jengkel, "Kau bilang kita langsung dijemput begitu sampai. Tapi mana?" sindirku karena mengingat bahwa aku tidak melihat satupun orang berjalan seperti kami menuju ke depan bandara.
Aku melirik Irene yang sedang memainkan ponselnya dengan jari yang menari-nari diatas benda pipih tersebut, "Sebentar... mereka bilang memang akan menjemput kita" jawabnya tanpa mengalihkan pandangannya dari benda tersebut.
Aku menghela nafas lagi dan memperhatikan betapa hiruk pikuknya London dengan pohon natal raksasa dan semarak hiasan natal. Benar-benar indah dan menyenangkan. Aku selalu menyukai natal, karena hanya di hari itu setidaknya aku bisa merasakan hangatnya keluarga. Yahh... setidaknya hal tersebut adalah kenangan indah terakhir yang bisa kurasakan sebelum akhirnya bisnis property yang digeluti ayahku mengalami kemunduran dan ditengah krirs tersebut ia jatuh pada alcohol dan wanita penggoda, mereka bercerai dan ibu tenggelam dengan pekerjaan tanpa mempedulikan anak gadis mereka satu-satunya.
Aku mengerti ini berat bagi mereka berdua. Tapi mungkin ini juga sangat berat bagiku. Karena saat itu aku benar-benar hanya bocah berusia 11 tahun yang tidak tahu apa-apa dan terpaksa harus menerima semua kenyataan bahwa keluargaku hancur dengan tekanan itu dan cemooh dari teman temanku mengenai ayah yang berselingkuh. Rasanya aku pasti sudah gila jika mengingatnya kembali. Beruntungnya aku tidak sendiri, ada Irene disana yang selalu menemaniku. Untuk yang kesekian kalinya aku bersyukur mempunyainya.
"Yoora ayo, itu mereka!" sentuhan Irene di bahuku membuatku mendongak melihat sebuah van hitam terparkir tepat di depan kami dengan kaca jendela terbuka separuh yang menampilkan seseorang bertopi,
"Nona ayo!!..." ia setengah berteriak memakai bahasa lokalnya pada kami dari dalam mobil supaya suaranya terdengar.
Irene sudah terlebih dahulu membuka bagasi kemudian mengangkat kopernya yang hanya berisi beberapa lembar baju. Aku mengikutinya dan memasukkan koperku juga ke dalam bagasi kemudian menutupnya. Irene sudah terlebih dahulu masuk ke dalam sedangkan aku masih merogoh tas tanganku untuk menemukan ponsel ku dan menyalakannya. Mengecek siapa tahu ada seseorang yang menanyakan kabarku meskipun itu tidak mungkin rasanya.
Aku sudah menjomblo kira kira dua tahun lamanya sejak terakhir kali masih bisa kuingat bocah Min Yoongi memutuskanku lewat sms singkat yang berisi bahwa ia bosan padaku. Sungguh itu kejam sekali, padahal saat itu aku masih sangat menyayanginya. Tetapi terlambat, ketika kuhubungi nomornya musnah seketika membuat jarum dihatiku semakin menusuk.
Berbicara mengenai Min Yoongi aku bersumpah tidak akan mau bertemu dengannya sekalipun dia adalah orang terakhir yang harus kutemui. Dia lelaki brengsek menjijikkan.
Tak ingin membuat Irene menunggu lama aku segera memasuki mobil dan duduk di kursi penumpang. Laki-laki di depanku yang sedang berkutat dengan setirnya sedikit melirikku dari kaca spion tengah sebentar sebelum akhirnya kembali menyetir. Aku bisa merasakannya lewat ujung mataku.
Keheningan kami terpecah ketika suara laki-laki tersebut terdengar, "Ah maaf nona mungkin kau berpikir aku macam-macam. Maaf...hanya saja aku seperti pernah melihat wajahmu, awalnya kupikir begitu tapi nyatanya aku salah" ia menjelaskan dengan suara ramah sekaligus membubuhkan seulas senyum kecil mengatakan bahwa ia tidak bermaksud begitu.
Irene menatapku dan aku hanya mengangguk, "Bukan apa-apa" aku memberinya jawaban walaupun itu tidak membuatnya puas, bibirnya mencebik kesal.
Irene menegakkan badannya, "Kita akan langsung ke rumah paman Park kan?" kini giliran Irene bertanya,
Laki-laki itu menggeleng, "Tuan Park bilang nona tidak boleh kerumahnya dulu dan harus menginap di hotel malam ini karena ia bilang rumahnya masih sedikit berantakan akibat renovasi dan mereka perlu membereskannya" ia sedikit melirik kami lagi dari kaca tersebut.
Tapi tiba-tiba sebuah suara dari pesan masuk berbunyi di ponsel Irene. Aku mengabaikannya dan menyandarkan punggungku di sandaran jok mobil tenggelam dalam rasa lelah yang sama.
Hal selanjutnya yang tidak pernah aku sangka tiba-tiba sebuah pesan masuk dari ponselku. Itu dari Irene, aku sudah bersiap memprotes mengatakan bahwa kami hanya berjarak satu depa tidak sampai tetapi aku melihat bagaimana badan gadis bersurai kelabu itu menegang, dan ia tampak sangat was was.
Segera aku melihat isi pesannya. Sebuah tangkapan layar percakapan dengan paman Park, teapi kemudian aku mendapati sesuatu yang aneh. Di dalamnya jelas sekali paman Park baru saja tiba untuk menjemput kami tapi ia tidak mendapati kami disana. Tubuhku ikut menegang seketika melihat isi pesan paman Park.
Aku merasakan Irene menggenggam tanganku erat. Bahkan rasanya sekarang tanganku juga ikutan basah karenanya. Aku menoleh menatapnya bingung. Irene memberi isyarat dengan mengedikkan dagunya pelan pada laki-laki pengemudi di depan kami. Dan aku mulai menyadari satu hal bahwa saat ini kami sedang diculik. Tentu saja ini akan jadi malam natal terburukku setelah sepuluh tahun lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
JET BLACK HEART | BTS Fanfiction ✔️
FanfictionSong Yoora berencana untuk menghabiskan natal dan tahun barunya di London. Ia pergi bersama temannya Park Irene ke London sebab meet and greet One Direction tidak bisa menunggu. Sesampainya disana mereka dijemput sebuah mobil van hitam yang besar da...