DIECI | Chapter 32

51 5 0
                                    

Taewoo menghela nafasnya sembari mengusap pistol ditangannya dengan perlahan. Ia tidak pernah merasakan sensasi mengerikan yang dinamakan rasa takut. Dan sepertinya saat ini Taewoo merasakan sensasi tersebut. Jadi seperti ini rasa takut ketika kau akan meregang nyawa. Sejujurnya konsep mati dan pergi kea lam baka tidak pernah ada pikiran Taewoo.

Karena pemuda itu berpikir betapa ia tidak akan pernah mengalami maut. Maut bahkan tidak berani mendekatinya. Tetapi saat ini ketika ia sadar bahwa maut di depan matanya. Taewoo menjadi sadar bahwa ia adalah manusia yang pada akhirnya harus mati. Nah, apakah Taewoo sudah menjadi manusia yang benar-benar manusia. Jawabannya sudah tentu ia ketahui.

Manusia yang membunuh manusia lainnya tidak pantas disebut manusia. Begitu juga dirinya. Taewoo jadi pening sekarang. Jikalau ia mati akan kemanakah dirinya? Apakah sudah pasti pergi ke neraka atau justru ditinggal begitu saja untuk menghantui tempat ini? Berbagai pertanyaan muncul di benaknya saat ini. Apakah kematian semengerikan itu.

Taewoo mengangkat bahu. Ia sendiri tidak tahu. Ia belum mencicipinya.

Pintu masuk arena luas milik leluhurnya yang sudah dibangun sejak tahun 1900 an lebih terlihat mirip arena penjagalan. Bentuknya melingkar seperti stadion sepak bola. Ada kursi penonton terbuat dari beton diatasnya untuk melihat adegan pembunuhan sadis. Lima pintu masuk ke dalam arena yang seluruhnya dipenuhi lorong-lorong dengan jeruji besi sebagai tempat tahanan bocah-bocah kecil yang diculik untuk dijadikan bahan latihan.

Dan di sisi lainnya, gudang penuh dengan senjata jenis penyiksaan apapun ada. Disinilah semuanya bermula, disaat ia membunuh August Costello adik Miguel 9 tahun yang lalu untuk memenuhi misi harian yang diberikan ayahnya. Enam orang anak kecil itu tewas ditangannya, dan Taewoo tidak merasakan sedikitpun empati. Hatinya seperti beku karena menurutnya hal ini sudah biasa ia lakukan.

Setiap tiga bulan sekali misi membunuh akan dilakukan. Menghabisi anak-anak tidak bersalah yang terpaksa diculik masuk kedalam jaring mafia miliknya. Sejujurnya Kim taewoo tidak memiliki dendam pada Miguel Costello, dia dapat memahami posisi pria itu karena jika ia berada di posisi yang sama. Ia pasti akan melakukan apa yang Miguel lakukan. Membalas dendam kepada orang yang sudah membunuh Jeonkook.

Jadi ketika penyerangan tersebut Kim Taewoo ketahui dari mulut Jimin. Ia sudah bersiap, setidaknya ia sudah berlatih selama dua hari sebelum hari ini tiba. Bukan lagi kejutan karena Yoora tidak menutup segala akses untuk balas dendamnya. Yoora sengaja membiarkannya terbuka entah untuk memancing Kim Taewoo supaya bersiap-siap atau memang dia sengaja mempermainkan pria itu.

Tetapi ketika itu menyangkut Jeonkook. Yoora benar-benar tidak memberitahu pemuda itu. Yoora nya menyayangi adiknya. Taewoo iri melihat betapa Yoora memperhatikan Jeonkook melebihi statusnya sebagai tunangannya sendiri. Tetapi hanya itu yang bisa Taewoo lakukan untuk menebus kesalahannya karena merebut cinta pertama adiknya. Dan parahnya Taewoo juga mencintai gadis itu.

***

Miguel Costello berdiri disana. Berhadapan langsung dengan Kim Taewoo yang sudah menunggunya sedari tadi. Taewoo berdiri dari mode duduk santainya. Kedua tangannya masuk kedalam celana jeans yang ia gunakan saat kencan terakhirnya bersama Yoora tadi. Bahkan ia masih mengenakan pakaian nya lengkap.

"Why take so long to find me, Miguel?" sapa Taewoo dengan senyum setengahnya yang jelas-jelas mengejek.

Miguel menggertakkan giginya, rahangnya mengeras. Ia menatap Kim Taewoo penuh amarah sampai rasanya arena luas tersebut yang berada di luar terasa begitu panas. Tangan Miguel mengenggam pistolnya dengan erat sebelum mengacungkannya ke kepala Teawoo.

"Let's do this game with my own rules Miguel, like what I did to your brother nine years ago"

"What if I reject it" ujar Miguel sambil menggengam pistolnya lebih erat,

JET BLACK HEART | BTS Fanfiction ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang