Beberapa waktu ini aku jarang sekali melihat Jeon. Aku tidak lagi melihatnya di ruang santai, atau di dalam rumah ini. Jeon selalu berangkat pagi-pagi sekali dan kembali entah kapan. Yang kutahu sekalipun itu larut malam aku tidak melihatnya pulang.
Pernah sekali aku menungguinya di sofa ruang tamu hingga pukul satu dini hari namun aku tak kunjung bertemu Jeonkook. Dan karena kelelahan aku bahkan ketiduran di sofa tersebut. Paginya aku sudah mendapati diriku dibangunkan oleh Jimin yang kebetulan harus mengantar paket.
Ketika kutanya Taewoo, pria itu juga tidak tahu menahu kemana perginya Jeonkook. Taewoo bilang Jeon menginginkan banyak misi akhir-akhir ini, dan harus pergi ke sarang mafia lain untuk melakukan transaksi.
Kurasa si bocah Jeon sedang menghindariku. Ingin sekali aku bertanya padanya kenapa ia menghindariku tetapi aku tidak menemukan kesempatan. Jeonkook sepertinya tidak mau melihatku lagi, atau mungkin muak denganku.
"Kau masih memikirkan kemana si Jeon itu pergi?" suara Jimin membuyarkan berbagai macam pemikiran liar di otakku.
Aku menoleh padanya dan mengangguk. Jimin menatapku sebentar seperti menelisik sesuatu. Selama beberapa detik keheningan menyelimuti kami berdua. Setelahnya pemuda tampan berpipi tembem itu berdehem "Dia baik-baik saja. Tak usah dipikirkan, Yoora" ucapnya lembut berusaha menenangkanku.
Aku menghela nafasku, "Jadi kemana kita hari ini?" tanyaku berusaha memfokuskan diri pada tugas kami.
"Sarang the Vows" jawab Jimin tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan besar di depan kami.
Aku langsung berpikir apa yang akan dilakukan dua organisasi mafia jika bertemu? Apakah akan ada adegan action seperti di film-film laga. Kebut-kebutan? Suara desingan peluru bersahutan? Bom meledak? Mobil terbakar?
"Sebaiknya kau singkirkan pikiran liar itu dari kepala cantikmu. Tidak ada adegan action yang akan terjadi Yoora" Jimin terkekeh sambil mengatakannya. Pria itu seolah bisa menebak jalan pikiranku.
"Bagaimana kau bisa tahu aku memikirkan hal itu?" tanyaku penasaran.
"Tercetak jelas di wajahmu, bodoh!" dia menyentil keningku pelan.
Aku mengaduh lalu menatapnya sengit, "Kenapa kau tidak bisa bersikap baik sedikit padaku sih pipi tembem? Jika sikapmu seperti itu bisa-bisa tidak ada gadis yang mau denganmu!"
"Omo! Bersikap baik pada wanita berbisa sepertimu?!" Jimin berteriak seperti ibu-ibu kehilangan panci dengan ekspresi mata melotot. "Tidak mungkin dong, lagipula sebelum mereka berbicara sudah pasti mereka bertekuk lutut padaku terlebih dahulu." Ujarnya penuh kesombongan. Bahkan kuyakin kesombongannya dapat meruntuhkan tembok cina.
Aku berniat membalas perkataan Jimin tapi kemudian kudengar suara deru mobil berhenti jadi kuurungkan niatku untuk mendebatnya. Walaupun rasanya kesal sekali. Seperti kalah bertaruh saja.
"Kita sampai" ujarnya sembari melepas sabuk pengaman.
Jimin memutar badannya menatapku dengan serius, "Kau akan baik-baik saja. Aku akan melindungimu. Tugas kita hanya mengantar paket di jok belakang setelah itu kau tunggu sebentar sementara aku menegosiasikan harganya dengan mereka, arasseo?"
Aku mengangguk mengerti. Jimin menepuk pundakku. Belum sampai sedetik kemudian Jimin kembali berbalik, "Oh, satu lagi. Jangan berbicara pada siapapun atau jika mereka bertanya padamu jawab seperlunya saja, oke"
Aku menunjukkan ibu jariku padanya tanda mengerti. Jimin membuka pintu mobil untuk keluar. Aku menghela nafas panjang sebelum akhirnya juga keluar. Semoga baik-baik saja.
***
The Consigliere adalah bentuk persilangan antara seorang pengacara, politikus, dan seorang manajer sumber daya manusia. Dia adalah orang nomor 3 di dalam organisasi. Consigliere bisa jadi penasihat atau konselor di dalam organisasi.
Consigliere berfungsi sebagai 'suara' mafia. Idealnya Consigliere adalah seorang yang dapat memberi 'jalan keluar' kepada bos, baik cara terduga maupun tidak terduga.
Kira-kira seperti itulah posisi Jimin yang berada di depanku menatapku aneh dengan pandangan tidak bersahabat.
Tidak hanya dia, tapi beberapa orang-orang mengerikan dengan banyak tattoo di depanku.
"Apa yang kau lakukan disini nona?" Jimin dengan suara datar yang sangat formal berbicara padaku.
Dia yang berperawakan tinggi sangat mengintimidasiku. Ditambah tatapan menyeledik dari bibir merah menggoda wanita berpakaian gemerlap dengan segela campagne di tangannya.
Aku meneguk ludahku. Kukira aku akan menemukan aula musik itu lagi, tetapi sepertinya aku salah masuk ruangan. Aku sudah menyusuri sayap kiri lantai tiga mansion. Seingat ku memang ruangan itu berada di sayap kiri bangunan.
Tetapi setelah aku membuka pintu besar ini, yang kudapati justru sekumpulan orang di dalam pesta kecil yang mengerikan.
Aku mengamati pinggang bermacam-macam laki-laki yang ada disana. Mereka semua membawa pistol. Tattoo hampir memenuhi separuh wajah mereka semua.
Terlihat mengerikan. Ditambah wanita-wanita berpakaian mahal gemerlap dengan lipstick merah yang menatapku merendahkan.
Aku menelan ludahku, "A-aku.."
Belum sempat aku berbicara tiba-tiba seseorang pria menyentuh bahuku. Aku menoleh, wajahnya memerah dengan pandangan tidak fokus dan ia memegang gelas campagne di tangannya, "Mari bersenang-senang nona..." ia terkikik setelahnya.
Dor!
Seketika telingaku berdengung dengan sangat keras saat suara itu memekakkan telinga. Butuh waktu beberapa detik untuk merespon pria mabuk tadi tiba-tiba sudah terkapar dengan mata terbuka dan mulut berbusa di lantai.
Aku menjerit keras melihat darah mengalir menuju sepatu ku. Buru-buru aku melangkah mundur dengan badan bergetar. Aku melihat Jimin menatapku datar. Masih sama seperti tadi, dia mengedikkan dagunya menatap kekiri.
Aku mengikuti arah pandangnya dan melihat Jeonkook disana masih dengan revolver teracung, "Jangan dekati gadis itu. Siapapun tidak boleh menyentuhnya!" Ujarnya dingin, matanya menatap tajam mereka semua yang berada disana.
Ini pertama kalinya aku melihat Jeonkook benar-benar bukan seperti dirinya setelah dia lama menghilang dari hadapanku. Kini dia berdiri disana dengan aura yang berbeda, dia seperti dirasuki dan sangat mendominasi ruangan ini. Dia bukan Jeonkook yang kukenal, entahlah. Dia berubah. Ini mengerikan!
Bagaimana? Bagaimana aku bisa sampai disini! Apa yang kulakukan!
Aku menjerit dalam hati. Baik Park Jimin maupun Kim Jeonkook terlihat berbeda. Sekalipun Jeonkook berniat melindungiku. Tetapi dia bukan bocah dengan gigi kelinci yang sering sekali memanggilku noona dengan senyum lebar itu. Kekecewaan muncul dalam hatiku.
Tapi menghilangkan nyawa orang lagi dengan mudahnya tetap saja salah!
Aku berusaha mengesampingkan perasaan aneh karena perilaku Jeonkook dan berfokus pada ruangan yang serasa neraka.
Lututku bergetar dengan hebatnya, "sebaiknya kau pergi dari sini nona" suara Park Jimin memperingati.
Ingin sekali aku pergi dari sini, tetapi tatapanku jatuh pada seorang pria dengan stelan tuksedo berwana abu-abu yang tengah berdiri dari duduknya.
Ia mengulurkan tangannya kepadaku dari kejauhan. Satu-satunya yang kutahu tidak berubah. Tatapan teduh Taewoo seolah mengiming-ngimingiku untuk berlindung padanya.
Aku berlari melintasi ruangan dengan cepat, dapat kurasakan tatapan mereka mengawasi gerak gerikku. Tanpa kompromi lagi langkah kakiku berlari menuju kearah Taewoo, menabrakkan tubuhnya dengan tubuhku dan bersembunyi di dalam dekapan beraoma seasalt dan harum cengkeh menggoda.
Tangan kekar itu melingkari tubuh mungilku. Kehangatan mulai kurasakan menyeruak masuk.
"Maafkan aku atas keributan ini, kita bisa mulai pembahasan setelah aku mengantar tunanganku kembali. Permisi sebentar"
Taewoo mengusap kepalaku pelan, dia tersenyum "ayo" bibirnya berucap tanpa suara. Aku mengangguk dan berjalan bersama Taewoo yang masih mendekapku.
KAMU SEDANG MEMBACA
JET BLACK HEART | BTS Fanfiction ✔️
FanfictionSong Yoora berencana untuk menghabiskan natal dan tahun barunya di London. Ia pergi bersama temannya Park Irene ke London sebab meet and greet One Direction tidak bisa menunggu. Sesampainya disana mereka dijemput sebuah mobil van hitam yang besar da...