"Hujan lagi kak?" Teriak Annasya dari lantai dua sambil berjalan menuruni anak tangga kelima dari yang terakhir.
"Males banget deh kalo tiap pagi tuh hujan gini" Sambungnya dengan sedikit kesal.
"Apa sih dek? Hujan aja kamu marahin. Sama halnya kamu marahin Tuhan loh, Gak baik." Ucap Alvin menatap adiknya tengah berdiri didepan cermin.
"Tapi gak gini-gini juga loh, Kak."
"Kan, bisa nebeng sama aku ke kampus."
"Tapi aku maunya naik motor, Kak. Lagipula deket ini." Jawabnya ketus sambil memanyunkan bibir."
Mendengar ocehan anak bungsunya, Pak Dika dan Ibu Anita mengerutkan dahi. Mereka sebenarnya sangat mengerti dengan keluhan anak bungsunya itu, yang sememangnya dari dulu tidak begitu suka mengendarai mobil jika berpergian keluar rumah apalagi ke sekolah. Meski sebagian besar murid di sekolahnya membawa mobil masing-masing pemberian orang tuanya.
Tapi berbeda dengan Annasya. Ia hanya ingin mengendarai sepeda motor matic hadiah ulang tahunnya beberapa tahun silam. Sosok Annasya yang tak diketahui oleh banyak orang, mendapat penilaian negatif dari teman-temannya yang di nilai sebagai anak yang sombong. Tapi pada kenyataannya, ia sangat peduli pada orang sekitar, hanya saja ia tak mampu berkomunikasi dengan baik kepada orang yang baru.
Dan pada akhirnya, timbullah pemikiran buruk tentangnya dari banyak kalangan, mulai dari teman-teman SD hingga teman satu sekolah dengannya saat ini. Pada hakikatnya, yang nampak dari luar tak akan sama dengan yang ada di dalam hati. Namun, orang-orang hanya menilai dari satu sisi, satu sudut pandang tanpa mendengar dan mengenal sosok tersebut hingga ke akar-akarnya. Sehingga pemikiran negatif akan tumbuh secara berkala dan berujung menjadi sebuah kebencian tak beralasan.
Setelah menghabiskan selembar roti berisi selai nanas kesukaannya, dengan sekali teguk ia menghabiskan segelas susu hangat di depan piring makannya. Lalu bergegas mengejar Alvin yang lebih dulu meninggalkan meja makan dan keluar rumah. Karena tergesa-gesa, ia melupakan satu rutinitasnya. Kembali ia berbalik arah ke meja makan.
"Ma, Pa pergi dulu ya." Pamitnya sambil mencium punggung tangan kedua orang tuanya dan kembali berlari mengikuti Kakaknya yang sudah menghilang di balik pintu.
***
"Kamu udah belajar kan, Sal?" Tanya Annasya.
"Udah dong Syasa ku. Sampai aku telat bangun gara-gara hafalin rumus ini nih." Jari telunjuk Sally menunjuk-nunjuk soal latihan di bukunya.
Sambil menunggu bel pelajaran pertama berbunyi, Sally masih sibuk mengerjakan contoh soal yang pernah diberikan oleh Pak Tono minggu lalu. Sedangkan Annasya, ia mengotak-ngatik ponselnya memeriksa notifikasi cerita webtoon favoritnya.
Saat bel berbunyi, murid-murid sudah berada di dalam ruangan. Ada yang bergegas membuka buku pelajarannya, ada yang masih sibuk melanjutkan obrolannya, ada yang menghapus papan tulis dan memperbaiki taplak meja abu-abu disudut kanan depan ruang. Kemudian, bayangan langkah kaki seorang guru laki-laki memasuki ruang kelas XI Ipa 2. Semua murid kembali duduk di tempatnya masing-masing dan terdiam. Guru killer yang amat ditakuti oleh murid-murid di SMA 24 bandung ini, adalah Pak Tono.
Sosok Pak Tono itu teramat menyukai kebersihan. Sebelum duduk, terlebih dahulu ia menyentuh kursinya dan merasakan apakah masih ada debu yang menempel atau tidak. Setelah mengabsen kehadiran murid-muridnya, ia pun kembali berdiri dengan semeter rotan ditangannya yang ia sembunyikan di balik punggung.
"Masukkan semua buku catatan dan sebagainya. Kecuali, alat menulis kalian. Mengerti?" Ucap Pak Tono.
Semua murid bergegas memasukkan semua buku pelajaran beserta deretannya sesuai arahan Pak Tono. Nando sebagai ketua kelas, mengambil lembaran soal di atas meja guru dan membagikan pada teman-temannya.
Ruang kelas XI Ipa 2 terlihat tenang, tak ada satupun yang melirik ke kanan dan ke kiri, kecuali Pak Tono yang sedari tadi melirik ke semua meja dan memperhatikan tingkah mereka.
Dua jam berlalu, suara bel istirahat pertama berbunyi, batas waktu mengerjakan soal ujian tengah semester telah habis. Segerombolan murid maju ke meja depan untuk mengumpulkan lembar jawaban mereka.
"Sya, ke kantin yuk. Lapar nih. Soal Pak Tono susah betul yah," ajak Sally memeriksa isi kantong di bajunya.
"Haha iya iya. Sabar dong Sal. Jam segini tuh kakak kelas lagi ngumpul tuh dilangganan kita. Malu tau." Jawab Annasya sembari merapikan peralatan tulisnya ke dalam tas.
"Yaelah, Sya. Kakak kelas ditakutin. Kan, gak makan orang juga, mereka makannya batagor."
Karena desakan sahabatnya, Annasya mengangguk. Setelah buku dan peralatan menulisnya telah rapi di dalam tas, ia menggandeng lengan Sally berjalan ke kantin.
***
Hari itu, kantin tak begitu ramai. Beberapa murid masih berada di dalam kelas dan sisanya mungkin berada di perpustakaan. Setelah keluar dari ruangan Ibu Uni, mereka berdua beriringan dengan beberapa teman-temannya dari kelas lain ke arah kantin. Namun, langkah Annasya mulai melambat tertinggal oleh teman-temannya, sedangkan Sally sudah memasuki area kantin dan berjalan ke gerobak batagor langganannya itu.
"Sya, tahunya di potong dadu atau gimana?" Tanya Sally. Tersadar kalau Annasya tak ada disampingnya. Ia pun menoleh ke kiri dan ke kanan mencari Annasya dan ternyata sahabatnya itu masih berada jauh di luar kantin. Tanda kesalnya, Sally tak menghiraukan sekelilingnya, ia menghentakkan kaki kirinya dengan matanya sedikit mengecil memandang Annasya yang belum juga masuk ke Kantin. Dengan sedikit berlari, Sally menarik lengan sahabatnya itu ke arah gerobak batagor biru langganannya.
"Kamu kenapa sih jalannya lambat begitu? Eh tahu nya di potong dadu apa gimana, Sya?" Tanya Sally dengan sedikit nada kesal.
"Eh... Samaan kaya kamu aja," jawabnya pelan.
Sally mengangguk.
Setelah itu, ia mencari bangku kosong di sekitaran gerobak dan mendapati bangku setengah kosong tepat disamping meja sekelompok anak basket yang sepertinya baru selesai latihan. Menyadari lagi akan tingkah aneh sahabatnya itu yang hanya berdiam diri di depan gerobak dengan tatapan kosong, Sally menaikkan bibir kiri atasnya sambil menghela nafas.
"Annasya Meimaharani. Mau berdiri sampai kapan disitu?" Panggilnya dengan kesal
"Eh... Iya, Sal. Maaf."
"Jangan gitu deh. Gak ramai kok, mungkin kakak-kakak itu baru selesai latihan. Jadi, mereka kesini buat ngadem sambil istirahat." Ucapnya sambil meng-scroll akun Instagramnya.
Tak begitu lama, pesanan batagornya telah di antarkan oleh Mas batagor. Sebelum menyantapnya, Sally tak lupa dengan racikan-racikan ala dirinya. Ditambahnya beberapa sendok cabe tumis, dan dua iris jeruk nipis, yang pasti setelah di coba membuat orang yang mencicipinya akan mengeluarkan biji keringat.
Saat menyantap batagor yang tak begitu pedas dari batagor Annasya, matanya seketika terbelalak ke depan dengan mulut sedikit terbuka. Tersadar dengan kelakuan Sally yang tak biasanya itu, Annasya mulai mengetok piringnya dengan perlahan tapi anehnya tidak Sally pedulikan. Dengan rasa penasaran, ia menoleh ke arah pandangan sahabatnya itu yang sejak tadi tak teralihkan, bahkan suara piring yang ia ketok dengan sendok pun tak terdengar. Ternyata ada sosok yang membuatnya tercengang, berpostur tubuh tinggi dengan kaos olahraga putih hitam khas pemain basket, berkulit putih dengan rambut halus berwarna hitam yang sedang berbincang-bincang pada teman latihannya.
"Ohh.. Jadi itu mantan ketua osis yang kamu agung-agungkan ketampanannya" timpalnya sambil mengetok jidat Sally.
"Eh... Iya, Sya. Sorry Sorry. Moodbosternya aku nih," jawabnnya sambil terkekeh pelan, "aku gak nyadar, ternyata dia udah daritadi sebelahan dengan meja kita." Sambungnya.
Annasya hanya tersenyum dan mulai menghabisi sisa-sisa batagor miliknya. Sedangkan Sally, masih dengan posisinya, tetap mencuri pandang ke arah mantan wakil ketua osis yang sejak dulu ia kagumi. Hingga ia tak menyadari batagornya sudah tak tersisa lagi, yang diam-diam dihabisi oleh Annasya.
***
Jangan lupa vote dan Comment yah
![](https://img.wattpad.com/cover/157340622-288-k374428.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
He Is Mine
أدب المراهقين[MAAF. Beberapa part sudah di unpublish. Banyak revisi cerita.] Seorang gadis remaja ini, bernama Annasya. Memiliki seorang sahabat yang pintar, bernama Sally. Sejak perjumpaannya saat itu, menjadikan mereka lebih dekat dan menjadi akrab. Namun, di...