"Maaa... Hujaann... Jemuranku"
Teriak Annasya terdengar sangat nyaring dari lantai bawah. Alvin yang sementara menggunakan earphonenya sontak kaget dengan suara adiknya itu. Alvin menaruh ponsel beserta earphone dan bergegas ke taman belakang berniat membantu adiknya mengambil jemurannya.
Napas Annasya tidak teratur akibat langkah kakinya 3 kali lebih cepat dari biasanya. Bagaimana tidak, jemurannya nyaris tak terselamatkan. Karena efek mager yang menyelimuti dirinya, hingga seragam sekolahnya pun di cuci di sabtu malam dan di akan di jemur di minggu pagi.
Segera mungkin Annasya memisahkan seragam sekolahnya yang setengah basah dan menjemurnya di depan kipas angin turbo di lantai dua samping kamarnya. Ia menarik kursi belajarnya dan menggantung seragamnya tepat di depan kipas angin.
"Gitu tuh. Kalo malasnya di pelihara" omel Alvin sambil masuk ke dalam kamarnya dan menghilang dari balik pintu.
Annasya memanyungkan bibirnya dan kembali ke kamarnya.
Hendak merebahkan tubuhnya, Annasya meraba-raba tempat tidurnya. Getaran ponselnya sangat terasa di dekatnya. Dengan rasa malas, ia meraih ponselnya yang sudah bersembunyi di bawah bantal namun sayangnya getaran itu berhenti. Lalu ia menekan tombol kunci di samping ponselnya dan seketika matanya terbelalak melihat notif di layar ponselnya memiliki banyak pesan dan 3 panggilan tak terjawab.
Annasya menempelkan jempol tangan kanannya di home button ponselnya untuk membuka layar yang terkunci. Lagi-lagi Annasya merasa geli dengan tingkah kakak kelasnya yang membuatnya merinding. Siapa lagi kalau bukan, Ardi.
Berkali-kali ia menghubungi Annasya, namun tak ia angkat. Bukan karena sengaja mengabaikan, tapi ia tak mendengar nada suara ponsel miliknya. Dan lebih tepatnya lagi, ia tak ingin terjebak di sebuah rasa yang tak semestinya tumbuh.
Annasya masih menghargai Sally. Ia teramat sangat menyukai kakak kelasnya itu. Siapa yang tak suka, jika seorang Ardi yang pernah menjabat menjadi Ketua Osis. Di tambah dengan prestasinya yang bisa di kata tertinggi seangkatan bahkan satu sekolah. Menjadi leader dalam permainan basket dan juga menjadi satu anggota futsal perwakilan sekolah yang sudah berapa kali juara di beberapa turnamen se-kabupaten Kota Bandung tingkat SMA atau Umum. Bukan hanya itu saja, perawakan Ardi yang sangat cool bagi para fans-fansnya. Style selalu fashionable, memiliki wajah yang cukup menarik perhatian Annasya.
Munafik rasanya jika seorang Annasya tak memiliki rasa suka secuilpun pada kakak kelasnya itu. Namun, bagi dirinya, sebuah rasa kagum akan kelebihan yang nampak dari luar seseorang hanya akan bertahan sebulan, itu pun yang paling lama. Lain halnya dengan Sally, ia bukan hanya kagum tapi sudah bisa dikatakan sebagai rasa suka. Dimana rasa sukanya pada Ardi sudah di atas 3 bulan. Sementara Sally mulai menganggumi Ardi sejak ospek tahun lalu.
Anansya menghela napas dengan berat. Jempolnya masih menari-nari di layar ponselnya, sepertinya magnet notif yang menampilkan beberapa pesan yang hampir ratusan itu membuat banteng pertahanannya runtuh seketika setelah melihat satu nama yang menyebalkan baginya. Penguntit. Itulah nama kontak Ardi di ponselnya.
Drrrrttt...
Drrrrrttt...
Getar panggilan dari Ardi membuatnya kaget. Dan tanpa ia sadari ia menggeser tombol hijau bergambar telepon ke atas.
"Assalamualaiku, Sya"
Annasya melempar ponselnya ke atas bantal dan mengacak-ngacak rambutnya. Sejak kapan dirinya berani mengangkat panggilan dari kakak kelasnya itu. bukankah ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak memberi celah sedikitpun pada Ardi.
KAMU SEDANG MEMBACA
He Is Mine
Teen Fiction[MAAF. Beberapa part sudah di unpublish. Banyak revisi cerita.] Seorang gadis remaja ini, bernama Annasya. Memiliki seorang sahabat yang pintar, bernama Sally. Sejak perjumpaannya saat itu, menjadikan mereka lebih dekat dan menjadi akrab. Namun, di...