Saat itu bel istirahat pertama berbunyi, segerombolan kakak kelas yang sudah berganti kostum olahraga, memasuki lapangan basket. Puluhan pasang mata tak terlepas dari setiap langkah mereka, beberapa diantaranya mulai menyoraki salah satu pemain dari tim basket tersebut, tidak lain adalah nama mantan wakil ketua osis, Ardi.
Ardi Putra Pratama, adalah mantan wakil ketua osis yang berpostur tinggi dan berkulit putih. Paras layaknya pria berdarah asli Kota Bandung dengan lesung pipi di sebelah kiri. Menjadi siswa yang memiliki nilai tertinggi di sekolah dan berbagai prestasi lainnya yang ia raih dalam lomba di luar sekolah. Contohnya, kejuaran olahraga dan bela diri. Dengan gayanya yang begitu ramah, membuat dirinya begitu banyak disukai oleh siswa perempuan di sekolah.
Seketika Annasya menoleh ke sebelah kiri, saat mendengar sorakan sedikit keras dari tepi lapangan, Ditambah, kedua mata sahabatnya itu terbelangak ke arah sumber sorakan itu.
"Wuaaahhh... Kak Ardi, Sya. Lagi main basket." Ucap Sally sambil menarik lengan baju Annasya.
Annasya yang masih berdiam diri di tempatnya, hanya mengerutkan dahi sambil mencari-cari wajah yang dimaksud Sally. Tapi terhalangi oleh beberapa murid perempuan yang berdiri di tepi lapangan itu.
Tak sempat mendapatinya, tiba-tiba saja ponselnya bergetar tiga kali. Ia mengaktifkan layar ponselnya dan mendapati tiga pesan dari mamanya.
Annasya tersenyum membaca isi pesan mamanya itu. Belum sempat mengirim pesan balasan untuk sang mama, lengan Annasya sudah ditarik kembali ke arah ayunan dekat pohon berdaun hijau dan lebat.
Langkahnya mendadak terhenti, saat seseorang tengah memanggil namanya dengan sedikit keras. Kemudian, ia berbalik dan mencari-cari orang tersebut. Pandangannya tertuju pada sekumpulan murid laki-laki yang duduk santai di pinggir taman.
"Kamu dari mana? Kantin, ya?" Tanya Indra-Wakil ketua kelas
"Iya" jawab Annasya singkat. "Ada apa?"
"Gini, Sya. Ibu Yuyun mau ngadain lomba seni. Banyak kok lombanya, ada nyanyi solo, nge-band sampai drama musikal. Kami bertiga, aku, Nando, sama Iyan mau ngedaft ar ikut lomba nge-band. Tapi kita kekurangan personil. Kamu mau gak masuk di band kita?"
"Iya, Sya. Kamukan bisa main gitar. Sekali-kali nunjukin bakat di depan umum. Jangan di dalam kamar aja sama di ayunan teras rumah kamu." Sambung Nando sambil tertawa pelan.
"Tunggu. Tahu dari mana Annasya bisa main gitar? Ngasal banget." Timpal Sally.
"Aku masih belajar kok. Itupun masih sering di ajarin Kak Alvin." Jawab Annasya.
"Terus gimana, Sya? Kalo bisa, kabarin aku secepatnya. Tapi aku nya ngarep nih." Ucap Indra dengan nada memohon.
"Jangan ngarep sama aku ya, entar kamunya baper." Jawab Annasya sambil tertawa.
Nando dan Iyan tertawa melihat wajah Indra yang sudah memerah dan pastinya sedikit salah tingkah mendengar ucapan Annasya. Sementara Indra, ia hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan seolah menutupi wajah yang semakin memerah dengan menduduk, saat Annasya mulai menggodanya kembali.
Sedang asik berbincang-bincang dengan Nando juga yang lainnya, tiba-tiba tubuh Annasya terjatuh di tanah. Sally dan beberapa teman lain yang berada tepat disamping Annasya, sontak terkejut. Iyan yang berada di depan Annasya mengulurkan tangan berniat membantu Annasya segera berdiri.
Pandangan mata murid-murid lainnya, berbalik ke arah pantulan bola. Dengan wajah panik, dua lelaki berkostum olahraga setengah basah, menghampiri Annasya.
"Maaf ya, aku gak sengaja."
Annasya hanya menggangguk dan berpamitan kepada tiga teman sekelasnya, lalu pergi dari dua sosok yang masih berdiri di hadapanya. Tapi sebelum melangkah pergi, lengannya terasa ditarik, kembali menoleh dan memaksa melepas tangannya dari si penarik itu. Mencoba mengamati wajah sosok si penarik, tiba-tiba yang terlintas dipikirannya, adalah kejadian seminggu yang lalu. Ternyata benar, ia adalah sosok yang menabraknya di Toko Buku.
"Temanku lagi minta maaf, dia betul-betul gak sengaja. Kamu bukannya menjawab permintaan maafnya malah pergi gitu aja. Tuli ya?" Ucapnya sambil mengatur napas yang tak beraturan. Tidak ingin menimbulkan perdebatan, akhirnya ia menoleh pada orang yang tak sengaja melempar bola tepat di bahunya. Saat itu juga, ia melengkungkan bibir dan meninggalkan Sally dan ketiga teman lainnya.
***
Buah tak akan jatuh jauh dari pohonnya. Membaca buku adalah hobi yang menurun dari Papanya. Tergila-gila akan buku bacaan yang tebal adalah kesukaannya. Hingga buku bacaan yang teramat sulit di pahami, ia garap sampai selesai. Jika tidak sibuk, ia menghabiskan sorenya di teras belakang sambil merangkai kata untuk menambah koleksi puisi-puisinya.
Annasya tak seperti teman-teman lainnya, yang bebas membuat janji bertemu dengan salah seorang teman dekatnya atau teman sepermainannya untuk mengunjungi tempat-tempat terkeren di Kota bandung. Ia lebih senang mengunjungi toko-toko yang dilengkapi dengan buku bacaan.
Suara ayunan besi di teras belakang rumah bercat abu-abu itu, mengayun dengan lambat. Halaman demi halaman, perkata demi kata ia baca, hingga di halaman terakhir ia melengkungkan bibir manisnya, menandakan akhir cerita sesuai yang ia harapkan.
Karena terlalu menunduk, Annasya memutar sedikit kepalanya ke kiri dan kenan, agar tidak menegang.
Ting!!!
Ia mengaktifkan layar ponselnya, dan menemukan satu baris pesan,
+6285xxxxxx
"Hari minggu nanti, kamu free gak ya?"
Seketika kerutan dahinya, muncul. Annasya menaruh ponselnya kembali ke dalam saku celana dan meninggalkan ayunan dengan membawa piring kotor bekas kue lapis agar coklat buatan Mamanya.
Saat mendekati anak tangga pertama, ponselnya berdering kembali. Kemudian, ia mengambil ponsel yang ada di saku celana kanannya dan menatap layar ponselnya dengan lama.
"Siapa sih orang ini," gumamnya lalu menggeser ke kiri pada tombol merah.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
He Is Mine
Teen Fiction[MAAF. Beberapa part sudah di unpublish. Banyak revisi cerita.] Seorang gadis remaja ini, bernama Annasya. Memiliki seorang sahabat yang pintar, bernama Sally. Sejak perjumpaannya saat itu, menjadikan mereka lebih dekat dan menjadi akrab. Namun, di...