Bab 6

35 8 7
                                    


Rinai hujan mengguyur Kota Bandung pukul dua dini hari. Tak ada lagi suara lain yang bisa di dengar selain hantaman butiran air dari segumpal awan tebal mendarat di atap rumah Annasya. Hawa dingin mulai menembus dinding rumahnya, lalu ia beranjak dari posisinya untuk menarik selimut tebal di bawah kakinya. Terasa hangat sekujur tubuhnya di tambah lagi bantal guling di pelukannya. Sesekali matanya terbuka, saat suara petir mulai menggletar di angkasa yang tak berbintang itu. Namun, rasa ngantuknya lebih kuat dari rasa terkejutnya mendengar suara-suara petir itu, sehingga kesadarannya pun menghilang di bawah selimut kesayangannya.

Suara alarm dari ponselnya sudah berdering empat kali, dengan rasa ngantuk mendekat kedua matanya membuatnya tak ingin beranjak dari selimutnya, Ia hanya mengganti posisinya yang sejak malamnya hanya berbaring menghadap meja belajarnya dan mengganti posisinya terlentang menghadap langit-langit kamarnya. Ia pun mengusap wajahnya yang masih mengantuk itu, dan mengecek jam pada ponselnya lalu matanya terbelalak. Saat jamnya sudah mendekati setengah enam pagi dan dia kesiangan untuk melaksanakan shalat subuh. Bergegas ia kekamar mandi, dan melaksanakan kewajibanya dengan rasa was-was.

Mungkin efek hujan semalam membuatnya tertidur begitu pulas. Yang biasanya terbangun karena suara bising alarm ponselnya, tapi untuk hari itu ia malah tak mendengar suara apa-apa. Selain merasakan kenyamanan yang begitu menghangatkan sekujur tubuhnya di bawah selimut kesayangannya yang berwarna merah muda bermotif hello kitty. Perasaan ngantuknya masih saja mendekap dalam diri Annasya, hingga tak menyadari bahwa hari itu adalah hari minggu. Padahal ia sudah bersiap-siap mengenakan seragam sekolahnya yang daari dua hari lalu tergantung rapi di lemarinya. Setelah merasa rapi dengan seragam putih abu-abunya itu, ia memandang dirinya di hadapan cermin panjang di samping pintu kamarnya. Suara ketukan pintu dari luar membuatnya terkaget seketika, ia mempersilahkan seseorang yang mengetuk pintu kamarnya untuk segera masuk di dalam kamarnya.

"Sya, hari ini hari minggu. Ngapain pakai seragam sekolah?" Kak Alvin meledek adiknya yang tak menyadari hari itu adalah hari libur.

Seharusnya ia tak mengenakan seragam putih abu-abunya yang dipakai di setiap hari senin dan selasa, yang ia lakukan adalah bergegas mencuci pakaian kotornya yang ada pada keranjang berwarna merah muda berjaring yang sudah seminggu lalu tertumpuk di samping lemari pakaiannya. Wajahnya seketika pucat akan ledekan kakaknya, ia pun mendorong kakaknya keluar dan menutup pintunya dengan keras. Dengan cepatnya ia membuka seragamnya lalu menggantinya dengan dres hijau berbahan dingin.

Wajahnya begitu kusut sejak ledekan kakaknya barusan, Annasya menuruni anak tangga dan mendekati kedua orang tuanya juga Kak Alvin yang sejak tadi menunggunya untuk sarapan. Dengan sekeranjang cucian kotornya ia gendong seperti menggedong keranjang jamu, di tambah dengan baju yang ia gunakan, seketika mengundang tawa kakaknya lagi.

"Kemana neng? Ngejualan jamu ya?" Kak Alvin sangat hobi mengusili adiknya. Annasya yang sudah mulai mendekati kursi kakaknya, lalu tangannya melayang ke bahu kakakanya dengan sedikit tenaga.

"Rese banget sih, Kak." Sambil menarik kursi tepat disamping kursi kakaknya dan menyimpan keranjang cuciannya di samping kirinya.

"Ma, Pa, tadi tuh ya Annasya pakai seragam sekolahnya." Ucap Kak Alvin dengan tawanya yang sangat keras. "Dia pikir ini hari senin, Sya, Sya." Tak henti-henti menggoda adiknya, membuat Annasya mencubit lengan kakaknya itu.

Seperti biasa, selembar roti sudah berada di atas piringnya, namuun saat melihat isi dari rotinya itu ia memelas seperti tak ingin menghabisi sarapannya itu. "Gak ada selain nanas ya, Ma?" tanyanya sambil mengigit ujung rotinya itu.

"Habis sayang, yang ada cuma itu, rasa strawberry. Sebentar kita ke Pasar Tradisional ya sekalian jalan-jalan."

"Ih Ke Pasar Tradisional? Yang becek itu Ma? Ogah."

He Is MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang