Bab 10

27 4 9
                                    

"Apakah akan ada Ayu dan Ditto selanjutnya?"

Butuh bertahun-tahun untuk menekuni satu alat musik yang ia pikir adalah alat musik tersusah untuk di pelajari. Gitar. Dimana semua teman-teman sebayanya memilih untuk menggeluti alat musik dengan tuts hitam dan putih, namun tidak bagi Annasya. Ia lebih memilih untuk mengorbankan kuku dan jarinya rusak demi belajar bermain musik yang di petik itu. Dilengkapi dengan enam senar, yang tiap senar memiliki jenis bunyi yang berbeda.

Mungkin niat awal Annasya untuk belajar lebih keras untuk memainkan satu alat musik itu, sedikit melenceng dari niat baik. Sejak SMP ia selalu melihat salah seorang perempuan, kakak kelas, tengah memetik beberapa senar untuk mengiringi suaranya yang merdu. Kakak kelasnya itu cantik, namun dengan memainkan gitar, aura di wajahnya semakin meningkat tiga kali lipat.

Seorang perempuan yang tengah duduk santai, dengan rambut terurai di temani sebuah gitar dipangkuannya, membuat aura kecantikannya otomatis bertambah dengan sendirinya. Yang sesama perempuan saja yang melihatnya, pasti terkagum-kagum. Bagaimana dengan seorang laki-laki yang melihatnya langsung untuk melantunkan sebuah lagu diiringi dengan petikan gitar oleh jemarinya sendiri?

Iya. seperti itulah gambaran niat seorang Annasya. Ia ingin menjadi seperti kakak kelasnya itu. Yang berkeinginan untuk dikelilingi banyak teman. Bukan hanya itu, tapi ia sangat yakin bahwa perempuan yang pandai bermain gitar akan sangat menambah skill orang tersebut. Tapi lagi-lagi sikapnya yang tak pandai berkomunikasi dengan orang lain membuat dirinya tak percaya diri dengan keahliannya.

Gitar akustik yang dimiliki oleh Annasya adalah hadiah ulang tahun dari kakaknya. Ia sengaja diberikan oleh kakaknya karena tak ingin adik satu-satunya itu harus meminjam gitar miliknya. Waktu itu Annasya sangat antusias untuk belajar bermain gitar, dikarenakan ia tak perlu lagi bolak-balik meminjam gitar miliki kakaknya untuk belajar. Kini ia sudah punya gitar sendiri, ditambah lagi kakaknya sudah ahli dalam bermain gitar jadi ia tak perlu ikut kursus di luar.

Cukup setahun ia mempelajari banyak kunci gitar untuk pemula sepertinya, hingga dari lagu luar negeri pun menjadi bahan latihannya untuk mempertajam keahliannya.

Annasya sudah memikirkan lomba seni untuk akhir semester di sekolahnya nanti. Dan ia pun bersedia mengikuti salah satu lombanya, menyanyi solo. Meski ia tidak yakin dengan suaranya, namun dukungan kakaknya untuk mengikuti lomba tersebut membuat kepercayaan dirinya melonjak satu tingkat.

"Bagaimana? Susah?"

"Lumayan. Tapi aku masih ragu kak" jawabnya sambil membolak-balik kertas yang dipenuhi dengan tangga nada juga beberapa kunci tiap barisnya

"Emang kamu yakin ambil lagu itu, Sya?" tanya lagi Kak Alvin.

Annasya mengangguk cepat. "Soalnya dari awal tahun Syasa sudah suka"

Pandangan Annasya lurus ke depan tak menghiraukan kakaknya yang sedari tadi mencicipi biskuit di atas meja sebelah kirinya.

"Bukan karena dia kan, Sya?"

Sontak Annasya membalikkan kepalanya, dan menatap kakanya begitu tajam

"Santai kali, Sya. Gak usah natap kaya gitu" Kak Alvin terkekeh memandangi wajah adiknya yang begitu tak suka padanya

"Udah sana kak. Jangan ganggu, bisa?...."

"ini bukan tentang dia yang ada di pikiran kakak, tapi aku bener suka lagunya"

Annasya mulai beranjak dari bangku teras belakang ke kamarnya. Namun langkahnya seketika terhenti, saat bola matanya melirik ke kiri dari posisinya yang hendak masuk ke dalam rumah. Ia melihat kakaknya masih mencoba menahan tawanya yang sedikit lagi pecah.

He Is MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang