Dua

1.3K 109 1
                                    

"Seharusnya Ibu tidak perlu merawatmu disini, Sindi! Kau tahu tidak, apa yang setiap kali Ibu dan Ayah tengkarkan?" Sindi menggelengkan kepala dengan pelan.

"Itu semua gara-gara Kau!" Sindi menunduk, ia bahkan tak tahu apa kesalahannya, sehingga menyebabkan Paman dan Bibi bertengkar.

Ia juga tidak meminta untuk dirawat oleh bibi Syaira, bibi Syaira sendirilah yang ingin merawatnya.
Sindi tak mengerti, kenapa Mereka selalu mengatakan jika Sindi pembawa masalah. Bukankah selama ini Sindi selalu bersikap baik?

"Ikut aku!" Symon, bahkan tidak memberinya kesempatan untuk menjawab, seperti biasa.

Sindi sudah merasakan dentum-dentum di kedalaman jantungnya, entah apa lagi yang akan dilakukan Symon padanya.

Pria berusia limabelas tahun itu menyeret rambut panjang Sindi yang terikat sehingga membuat Sindi menangis menahan sakit.

"Aku bisa berjalan sendiri, Symon! lepaskan Aku, jangan seperti ini, sakit!" teriakan Sindi semakin mempererat cengkeraman Symon pada kepalanya.

Brug Brug Brug

"Heh, berisik! Apa yang kalian lakukan didalam, hah!" teriakan bibi Syaira yang diikuti pukulan pada pintu menghentikan langkah Symon.

"Kami hanya sedang bermain-main bu! Sebentar lagi selesai!" Sindi menangis di ujung jendela, kepalanya sakit sekali karena membentur kayu saat Symon mendorongnya begitu kencang barusan tadi.

"Hentikan tangismu atau Aku akan menjatuhkanmu keluar jendela, Sindi!" Sindi menggigit bibir, menahan isakan yang terus meluncur dari bibirnya.
Dan selalu seperti itu, Symon selalu mengancamnya akan menjatuhkan Sindi jika Ia tidak menuruti keinginan nya.

"Apa yang akan kau lakukan, Symon?" bisik Margaretha saat melihat Symon mengambil gunting dari dalam laci.

Sindi menyeret kedua kakinya untuk mundur menggunakan tubuhnya, ia takut, Sindi selalu takut jika Symon sudah memperlihatkan senyuman nakalnya.
Symon menyeringai sambil menggerak-gerakkan gunting di depan wajah Sindi.

"Aku rasa Ibu takkan keberatan jika Kita mengerjai anak ini sekali saja,"

"A Apa yang akan kau lakukan Symon..." Symon mendekati tubuh Sindi yang gemetar.

Krekkk

Rambut panjang Sindi tiba-tiba diguntingnya hingga mencapai telinga. Tangis Sindi pecah, rambut panjangnya kini sudah berada dalam genggaman Symon dan tawanya meledak. Symon seperti orang gila yang mengibas-ngibaskan potongan rambut Sindi di depan wajahnya.
Margaretha, gadis itu terbelalak dengan apa yang dilakukan oleh Kakaknya tersebut.

"Symon, bagaimana jika Ibu memarahimu?" bisik Margareth. Symon tersenyum licik.

"Katakan saja jika kepalanya banyak kutu!" jawab Symon lalu terbahak.

"Symon kau keterlaluan, aku benci Kau! Aku benci Kalian! Aku benci!" Sindi menangis meratapi rambut panjangnya, rambut yang selalu disisir rapi oleh Ibu, yang kini sudah tak ada lagi.

Ibu selalu mengatakan jika kecantikan perempuan itu berada pada rambut panjang yang tersisir rapi, rambut panjang Sindi sangat lebat, berwarna coklat berkilauan, dan bergelombang diujung-ujung helai. Dan membuat Sindi sangat cantik.

'Kau bagai Peri dalam dunia dongeng, gadis kecilku,'

Ucapan-ucapan Ibu terngiang ditelinga Sindi saat ini.

'Demi Semesta, dan Demi nama Ibu, Aku bersumpah tidak akan mengampuni Kalian! Kalian Sudah keterlaluan!'

"Kenapa kalian jahat padaku? Apa salahku? Huhuhu ..." Sindi masih menangisi rambutnya yang hilang, sementara Symon dan Margaretha tertawa menatap Sindi yang malang.

"Kami tak suka padamu, lalu Kau mau apa?!" Sindi menggeleng-gelengkan kepala.
Seandainya saja Ayah masih ada, tentu Ayah akan memukul mereka karena telah menyakiti Anak gadis kesayangannya.

Ayah ...

*

Seperti biasa, pagi di kediaman keluarga Damian diliputi berbagai macam hal yang menyakiti telinga. Satu persatu piring dan gelas di dapur melayang mengenai apa saja yang berada disana.

Gerombolan kecoa berterbangan, berlarian melarikan diri. Margareth menjerit, ketika salah satu dari mereka menyusup kedalam kaos kaki yang sedang dipakainya.

Damian berteriak dalam keadaan mabuk, bau gosong dari dalam panci menguar hingga ke ruang makan. Bibi Syaira memaki Paman Damian, yang baru pulang dalam keadaan mabuk.

Sementara Symon, asyik mendengarkan musik melalui radio kecil dari dalam saku seragamnya. Seolah pertengkaran kedua orangtuanya adalah hal biasa saja dan tak perlu mendapat perhatian yang berlebih.

Lain hal dengan Sindi, setiap pagi kepalanya pening, belum lagi telinganya yang sakit akibat sahut menyahut paman dan bibinya, serta dentuman benda-benda dari dapur yang saling dibanting.

Sindi tak mengerti, bagaimana bisa Margareth dan Symon santai saja dengan keadaan itu.

Ibu dan Ayah tidak pernah bertengkar, jikapun ada perselisihan, pastilah takkan dilakukan Mereka didepan Sindi dan Gideon.

"Buuu Aku pergi!" Margareth menjulurkan kepala ke arah dapur, lalu pergi sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Symon lebih keterlaluan lagi, pria yang sudah menggunting rambut Sindi hingga pendek sekali itu malah dengan santai keluar rumah.

Tinggallah Sindi duduk termenung di kursi makan. Menatap jauh keluar jendela, sementara paman Damian dengan bibi Syaira masih berseteru didapur.

Sindi mengusap Airmatanya, dan seperti biasa menatap jalanan lengang dari balik jendela. Sindi tidak suka berada disini, Sindi ingin kembali ke rumah.

Sindi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang