Duabelas

984 76 0
                                    

"Berhentinya napas pasien selama beberapa detik saja akan mengganggu beberapa syaraf pada tubuhnya, dan kejadian seperti Sindi sangat jarang sekali ditemukan...

"Bill, Sindi berhenti bernapas selama Sepuluh menit, dan ini adalah Mukjizat, Bill. Namun selain itu, Kami harus menanganinya lebih intensif, serta harus memeriksa Sindi lebih teliti lagi...

"Jadi, kumohon bersabarlah dan selalu berdoa, semoga semuanya baik-baik saja," Bill mendengarkan penjelasan Dokter dengan seksama.

"Amin..." gumamnya pelan.

"Bill!" suara Syaira membuyarkan lamunan Bill.

"Nyonya Syaira? Mengapa anda baru datang?" tanya Bill.

"Maafkan Aku. Mobilku mogok dijalan, dan beruntunglah Tuhan masih baik padaku. Dia, ah ya, Nizar, ini Bill. Bill, dia Nizar, dialah yang berbaik hati mau mengantarku kesini," jelas Syaira.

Bill dan Nizar berjabat tangan, kemudian Mereka terlibat obrolan mengenai Sindi.
Nyonya Syaira meneteskan airmata, dan tak henti bersyukur sebab Sindi kabarnya mendapat sebuah mukjizat. Sebab jika hal buruk terjadi padanya, Syaira akan menjadi satu-satunya orang yang akan merutuki penyesalan seumur hidupnya.

*

Satu minggu kemudian, keadaan Sindi mulai membaik. Sindi sudah sadar, dan dokter mengatakan jika Sindi dalam keadaan sehat. Sore ini, Sindi sudah boleh pulang.

Di dalam mobil yang dikendarai Bill, suasana sunyi senyap. Misel, Sindi, Bill, dan Nyonya Syaira nampaknya sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga mobil memasuki pekarangan rumah, barulah salah satu dari Mereka membuka suara.

"Sindi, Kau harus istirahat. Besok pagi Aku datang lagi. Dan ingat, jangan melamun," ujar Bill setelah mengecup pipi Sindi. Sindi mengangguk dan tersenyum.

"Bill, terimakasih..." gumamnya seraya menghambur dalam pelukan Bill. Bill memeluk erat tubuh Sindi. Ada hangat menjalari dada Bill, begitupun Sindi.
Misel dan Syaira tersenyum, melihat Keduanya.

*

"Kau mau kemana?!" teriak Damian malam itu. Terdengar langkah kaki saling berkejaran.

"Bukan urusanmu!" hardik Syaira.

"Oohhh Kau mulai berani membantahku, Syaira?!" bentak Damian sembari mencengkeram lengan Syaira.

"Lepaskan aku!" syaira menepiskan tangan Damian dengan sangat kencang. Lalu meninggalkan Suaminya yang terus menceracau dalam keadaan mabuk. Syaira menghidupkan mesin mobil dan pergi, entah kemana.

"Kau merasa ada yang aneh, dengan Ibu?" tanya Margareth pada Symon. Symon mengangguk.

"Sudahlah, Aku pusing mengurusi Mereka. Lebih baik kita mengerjai Sindi," bisik Symon.

Margareth menggeleng. "Kau lupa pesan Ibu?" tanyanya.

Symon melenguh, Margareth benar. Jika mereka masih mengerjai Sindi, uang jajan selama satu minggu tidak akan diberikan oleh Ibu.

*

"Kau yakin akan pergi, Sindi?" tanya Juni sore itu. Sindi mengangguk.

"Bibi Syaira sering pergi akhir-akhir ini, Bill juga tengah sibuk mengurus beberapa hal terkait Event yang akan mereka ikuti, Aku yakin kali ini kita tidak akan mendapat hambatan berarti, Juni," jawab Sindi.

Setelah peristiwa kecelakaan itu, Bill memang memutuskan jika Sindi tidak akan mengikuti Event tersebut, demi kepulihannya.

*

Jalan setapak, berliku dan diselimuti pohon Cemara, bunga-bunga kering berjatuhan, Sindi dengan riang memungutinya, lalu memasukkannya kedalam tas kecil miliknya.

"Juni, kira-kira dimana orang itu mengurung Bella?" tanya Sindi ditengah perjalanan.

"Aku tidak tahu, tapi Aku tahu kemana perginya makhluk yang membawa Bella pergi," jawab Juni.

"Kemana? Makhluk? Apakah dia seorang Monster mengerikan?" tanya Sindi.

"Kira-kira seperti itu, Sindi. Tubuhnya tinggi besar, hingga tubuh kecil Bella hanya cukup dalam genggaman kecilnya saja. Dia mengenakan jubah berwarna hitam. Kurasa, dia membawa Bella ke tepi tebing itu. Disana, konon katanya ada sebuah Mansion besar berpenghuni makhluk seram!" penjelasan Juni begitu membingungkan Sindi.

'Mansion, Monster berjubah, kurungan, mungkinkah Bella sedang dalam tawanan para penjahat?'

"Apakah artinya petualangan Kita akan segera dimulai?" tanya Sindi sambil menggigit-gigit kuku.
Juni terkekeh.

"Tentu saja, ayo!" Keduanya melanjutkan perjananan, menyusuri jalan setapak yang nampaknya tak pernah tersentuh matahari, sehingga menimbulkan bau lembab dan tanah merah yang terasa amat lengket.

*

"Kau cantik sekali hari ini, Syaira," gumam Nizar. Wajah Syaira merona, kebahagiaan terpancar sangat jelas pada wajah Syaira. Perempuan itu nampak jauh lebih cantik dari biasanya. Rambut panjangnya tergerai, sapuan Makeup dengan warna lembut menambah kecantikan pada parasnya.

Rupanya, bibi Syaira sesungguhnya memang cantik. Namun permasalahan dalam rumah tangganya, membuat wajah Syaira nampak kusam, tidak segar, dan selalu terlihat tegang.

"Aku mengagumimu sejak pertemuan pertama. Entah mengapa, Aku merasa Kau adalah seorang perempuan yang kuat, Syaira," lanjutnya. Semakin melambungkan hati Syaira. Tanpa sadar, bumbu perselingkuhan mulai menguar dalam rumah tangga keluarga Damian.

Sejak pertemuan keduanya saat itu, Nizar memang kerap menemui Syaira dirumah, saat kedua anaknya dan Sindi sekolah, dan Damian bekerja. Syaira adalah orang yang jujur, Ia tidak pernah mengatakan hal yang bohong, termasuk statusnya yang adalah seorang Istri dan Ibu dari kedua anaknya.

Nizar adalah seorang pria mapan, dengan status duda, setelah setahun yang lalu ia menceraikan Istrinya, karena didapati tengah tidur dengan pria lain. Nizar bahkan sedang mengurus soal DNA terkait dirinya dengan puteri mereka satu-satunya. Karena entah apa, Nizar mencurigai jika puteri Mereka bukanlah anak kandung Nizar.

*

"Sindi, lihat!" pekik Juni. Sindi memicingkan Kedua matanya. Sebuah Mansion teramat megah berdiri ditepian tebing. Sindi tidak pernah melihat Mansion yang sebesar itu didaerah ini, sebab Sindi hanya menghabiskan separuh waktunya untuk Sekolah, les gitar dan selebihnya tetap berada di dalam rumah bibi Syaira.

"Dimana Bella?" tanya Sindi. Juni menggeleng.

"Tapi kita harus kesana, untuk mencari tahu keberadaan Bella," Sindi mengangguk.

Keduanya kembali berjalan, jalanan sudah nampak tak sekecil di dalam hutan Cemara. Pemandangan disana terasa jauh lebih indah dari hutan Cemara. Pohon-pohon besar nan rindang seakan membelai manja mata siapapun yang melihatnya.

"Ada apa disana?" gumam Sindi. Juni menghentikan langkah, begitupun dengan Simdi.

Dihalaman belakang Mansion, terlihat lima orang sedang berdiri mengelilingi sesuatu. Sepertinya sebuah lubang cukup besar.
Sindi dan Juni memperhatikan dari jauh. Tak lama kemudian, Seseorang keluar dari dalam Mansion, wajahnya murung, dan sisa-sisa airmata menggenang dipelupuk matanya. Ia membawa sesuatu ditangannya.

"Sindi, itu Bella!" pekik Juni.

"Apa yang mereka lakukan?!" Sindi tercengang, sewaktu melihat makhluk yang membawa sebuah peti kecil tadi, kemudian mengeluarkan tubuh kecil Bella yang kaku.

"Bella ..." Sebulir airmatanya Sindi jatuh, ketika makhluk-makhluk besar itu meletakkan tubuh Bella pada sebuah lubang yang Mereka lihat tadi.

"Juni ... Bella sudah pergi," isak tangis Sindi tak tertahankan. Gadis kecil itu menangis, terutama ketika makhluk - makhluk tersebut mengubur tubuh Bella dengan tanah.

"Sudahlah, masih ada Aku, Sindi. Itu pasti jauh lebih baik bagi Bella ... Ayolah, perjalanan menuju Pulau Venesia masih jauh, Sindi. Kita akan bermalam disini jika kau terus menangis," ujar Juni, kemudian menggenggam jemari Sindi.

Kedua anak itu melanjutkan perjalanan, perjalanan yang tidak pernah dilakukan oleh Sindi, sebuah perjalanan yang tanpa Ia sadari, akan membawanya pada sebuah petualangan besar yang akan memacu adrenalinnya, serta memompa detak jantungnya semakin cepat. Sebab, ada banyak misteri di dalam perjalanan yang akan mereka tempuh.

Sindi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang