Tiga belas

947 79 0
                                    

"Kemana Sindi?! Dari tadi Aku tidak mendengar suaranya," tanya Symon pada Margareth.

"Aku tidak tahu dan tidak mau tahu!" ketusnya, lalu memasukkan segenggam Cheetos ke dalam mulutnya. Matanya pun masih tertuju pada layar televisi.

"Margareth, apa Kau tidak melihat keanehan Sindi, semenjak dia kembali dari kaburnya waktu itu?" Margareth mengangkat bahu.

Klik

Symon memijit tombol off pada remote, membuat Margareth melotot kepadanya.

"Aku serius! Ada yang aneh dengan Sindi! Aku pernah beberapa kali mendapati dia bicara sendiri, dan kau ingat? Bukankah kita berdua pernah mendengarnya waktu itu?" Symon dengan wajah bingungnya.

"Ya Aku tahu, tapi lalu harus bagaimana? Melaporkan pada Ayah? Ibu? Sana, Kau yang melakukannya sendiri! Aku mendengar mereka bertengkar setiap hari saja sudah pusing, Symon," keluhnya.

"Omong-omong, hampir tiga hari ini Aku jarang mendengar Ibu memarahi Ayah, selarut apapun dan semabuk apapun Ayah. Ada apa ya?" Symon lagi-lagi membicarakan keanehan-keanehan yang terjadi di dalam keluarganya. Memang aneh, jika dalam rumah keluarga Damian terdengar tenang.

"Symon, bisakah Kau jangan bertingkah aneh? Aku pusing mendengarmu terus membicarakan Mereka! Biarlah urusan Mereka, Aku tak peduli!"

Pletak

Symon memukul kepala Margareth cukup keras, sehingga membuat gadis itu mengaduh.

"Apa maksudmu dengan Mereka? Mereka itu orangtua Kita, bodoh!" hardik Symon kemudian berdiri dan meninggalkan Margareth dengan kesal.

*

"Bill ..." suara Misel membuyarkan lamunan Bill. Pria itu meregangkan kedua tangan lalu mengembuskan napas perlahan.

"Masih Sindi?" tanya kekasihnya tersebut sambil mengelus bahu Bill penuh perhatian.

"ya ... Semakin lama Aku merasa jika ini sudah terlalu, Misel ..." gumamnya. Misel tersenyum, lalu mengecup pipi Bill.

"Sayang, dengarkan Aku, ada beberapa hal dari diri anak-anak yang tak dapat dimengerti oleh orang dewasa. Aku pikir, memiliki teman khayalan di usianya seperti Sindi adalah hal yang wajar, Bill. Lagipula, bukankah dokter pun tidak mengatakan jika Sindi mengalami hal yang aneh?" tanya Misel.

Bill mengangguk. Memang benar, sepertinya Bill terlalu berlebihan dalam menyikapi keadaan Sindi. Mungkin rasa sayangnya pada Sindi yang teramat dalam, atau ... Entahlah,

"Aku rasa kau butuh kopi, Bill. Kita keluar, sekedar cari angin dan menikmati secangkir Kopi, kurasa akan membuat otakmu sedikit mencair, sayang," ajak Misel. Bill tertawa, Misel benar! Dia butuh secangkir kopi.

"Ayolah!" sahut Bill kemudian menggandeng lengan Misel. Dan keduanya pun melangkah keluar, menyusuri trotoar, menyaksikan sekumpulan muda mudi tengah bercengkerama di malam minggu yang cerah ini.

*

Sindi dan Juni sudah tiba diperbatasan. Perbatasan antara daratan dengan lautan yang membentang seakan tak memiliki ujung.
Sindi tertegun, angin pantai menyelusup hingga kedalam paru - parunya.
Nikmat sekali rasanya...

Sindi ingat, terakhir kalinya ke pantai adalah pertengahan 2016, bersama Ayah, Ibu dan Gideon.
Dahulu, Sindi takut sekali dengan air laut yang menghampiri kaki telanjangnya. Kemudian Sindi berlari kencang sekali, namun air laut seakan tak berhenti mengejarnya. Hingga Sindi menjerit ketakutan, lalu tubuhnya terasa ditarik oleh pasir - pasir yang mencengkeram kedua kakinya.

Ayah dan Ibu tertawa melihat Sindi, kemudian memeluknya. Lalu Sindi dalam tangisnya bersuara,

"Ibu, apakah pasir laut adalah hantu? Kenapa seperti memiliki tangan dan menarik kakiku begitu kencang?!" Ayah dan Ibu tertawa keras sekali, sehingga membuat Sindi geram dan tangisnya semakin menjadi.

"Sayang, bukan tangan hantu yang menyeret kakimu, tapi air laut yang terhempas dari jauh sana, mereka kembali, dan menyeret pasir-pasir yang kau injak. Begitulah seterusnya. Jadi, Kau tidak akan terseret ke tengah lautan jika hanya bermain-main ditepian pantai sini," terang Ayah, sambil meniup-niup serpihan pasir yang menempel diwajahnya.

Sindi tersenyum, menghirup napas dalam-dalam, dan entah mengapa ia merasakan kehadiran Ayah dan Ibu pada saat ini.
Oh Sindi rindu Ayah dan Ibu...

"Sindi ..." suara Juni membuyarkan lamunannya. Buru-buru, gadis itu menghapus airmatanya.

"Kau rindu orangtuamu?" tanya Juni. Sindi mengangguk.

"Aku tahu..."

"Juni, bagaimana Kita akan sampai di Pulau Venesia?" tanya Sindi, mengalihkan pembicaraan.

"Kita harus menunggu pagi, Sindi. Tak ada kapal yang menyeberang malam-malam," ujar Juni sambil terkekeh.

"Lau, kita akan menginap disini?" wajah Sindi berang. Juni mengangguk.

"Sepertinya begitu ... Kau takut?" selidiknya. Sindi menggeleng cepat.

"Tidak! Mana mungkin!" sahutnya. Padahal, sesungguhnya Sindi memang takut.

*

"Nyonya Syaira?!" Bill tercenung, melihat Syaira berada di dalam kafe yang kini didatangi olehnya dan Misel. Bill beralih pada pria yang duduk dihadapannya, lalu keningnya mengernyit.

"Bukankah kau, Nizar?" lanjut Bill. Nampak wajah Syaira amat kikuk, namun tidak dengan Nizar. Pria tampan itu tetap tenang, tersenyum lalu menganggukkan kepala.

"Kalian ..."

"Kami hanya bertemu tidak sengaja. Bukan begitu, Syaira?" Nyonya Syaira nampak mengembuskan napas lega, tapi lalu gugup ketika pertanyaan itu begitu cepat diungkapkan Nizar.

"Oh eh, iya, Bill. Kebetulan Kami bertemu di depan sana," jawabnya. Bill hanya mengangguk-anggukan kepala. Tentu saja, Bill bukan pria kecil yang bodoh! Ia jelas mencium aroma kebohongan disana.

"Kami permisi," ujar Bill.

"Tak ingin bergabung dengan kami?" tawaran Nizar dibalas gelengan Bill.

"Kami hanya ingin berdua, Nizar. Maaf, terimakasih..." sahut Bill seraya terkekeh. Misel tertawa disampingnya. Keduanya kemudian pergi meninggalkan pasangan aneh itu.

"Kau mencium aroma dusta, Sayang?" bisik Misel. Bill terkekeh sambil menggaruk tengkuknya.

Sindi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang