Lima Belas

811 73 2
                                    

Hari cerah, Sindi dan Juni berlarian menuju kapal yang bersandar di dermaga. Seseorang yang nampaknya seorang petugas menghadang Sindi. Dan meminta agar Ia memberikan tiket masuk. Namun Sindi memang tidak memilikinya, sehingga kini ia duduk murung disisi Kapal, setelah petugas mengusirnya.

"Sindi, ikut Aku!" seru Juni seraya menyeret lengan Sindi.

"Kemana?" tanya Sindi dalam langkahnya.

"Tenang saja, Kita akan aman masuk ke dalam kapal, tanpa harus membayar," Juni mengedipkan kedua matanya. Sindi tidak mengerti, namun tetap mengikuti Juni.

"Anak nakal!" sebuah suara tiba-tiba terdengar dari arah bekakang.

"Pergi!" petugas Kapal menyeret tangan Sindi, dan menghempaskan tubuhnya dengan kasar. Sindi menangis, gadis kecil itu merasakan sakit pada tubuhnya akibat dorongan pria tadi.

"Sindi!" Sindi menoleh. Bill, pria itu berlari dan meraih tubuh Sindi.

"Lepaskan! Bagaimana mungkin Kau bisa berada disini, Bill?!" hardik Sindi.

Bill tak menjawab, ia mencengkeram tubuh Sindi dan menggendongnya, meski Sindi berusaha kuat untuk melepaskan diri.

Kapal besar itu telah pergi secara perlahan. Penantian Sindi selama semalaman pada akhirnya harus berantakan gara-gara Bill yang tiba-tiba datang.

"Bill! Kapalku pergi! Aku mau turun, Bill! Turunkan Aku! Huhuhu lihat kapalku pergi, Bill... Kau jahat Bill Kau jahat!" Sindi masih terus meronta. Namun lengan Bill yang lebih kokoh membuat Sindi tak berdaya.

Pria itu membawa Sindi pergi menjauh dari dermaga, dari hiruk pikuk orang-orang yang berlalu lalang, namun semua nampak diam, seolah tak peduli dengan apa yang terjadi diantara anak dan guru tersebut.

Sementara Juni, pria kecil itu tetap mengikuti Sindi dengan wajah sedih. Mimpinya untuk memeluk Ibu, lagi-lagi harus berakhir mengecewakan.

Maafkan Aku Ibu ...

*

Sementara itu, di kediaman keluarga Damian nampak lengang. Bibi Syaira sudah kembali menjadi bibi Syaira yang seperti biasa. Dengan wajah kaku, rambut diikat sembarangan dan mengenakan pakaian rumah yang sederhana.

Saat ini, bibi Syaira tengah membersihkan luka pada wajah Symon, meski tak sepatah katapun keluar dari bibirnya.

Margareth masih Sekolah, dan tadi pagi di kediaman keluarga Damian sedikit ricuh, karena mereka baru menyadari jika Sindi hilang, entah sejak kapan.
Namun Syaira sedikit lega, begitu mengetahui jika Sindi berada di rumah Bill, itupun karena pagi-pagi sekali, Misel memberinya kabar, dan untuk itulah saat ini, bibi Syaira sedikit merasa lega.

"Bu..." bisik Symon dengan tubuh masih tergolek lemah.

"Hmm..." hanya itu yang keluar dari bibir Syaira.

"Apakah Ibu membenciku?" tanya Symon.

Bibi Syaira menghentikan kegiatannya mengelap darah yang mengering dari wajah Symon, lalu menatap putera sulungnya itu dengan tajam, dan mengembuskan napas.

"Dengarkan aku, Symon, tak ada seorangpun Ibu didunia ini yang tidak menyayangi anaknya, Symon. Berhenti berpikiran konyol dan istirahatlah, agar lukamu lekas sembuh," jawabnya.

Lalu kembali mencelupkan lap pada air hangat yang sudah diberi Alkohol, kemudian dengan penuh kelembutan, Syaira mengelap wajah Symon kembali.
Symon mengangguk, lalu keduanya hanyut dalam begitu banyak pertanyaan mengambang dalam pikiran masing-masing.

Setelah selesai, Syaira berdiri dan membawa baskom berisi air, namun langkahnya terhenti, saat tangan Symon menarik ujung roknya.

"Apa lagi, Symon?" tanya bibi Syaira seraya membalikkan badan.

"Maafkan aku atas semua kelakuan burukku, bu... Aku sayang padamu," ujarnya. Ada yang menggenang dimatanya, dan sedang ia coba untuk menahannya agar tidak tumpah.

"Akupun menyayangimu, Symon. Sudahlah, jangan memikirkan apapun, aku sudah memafkanmu bahkan sebelum kau memintanya,"

Seulas senyum terpancar diwajah Syaira. Ia mengusap kening Symon dan mengecupnya, lalu meninggalkan Symon dan menutup kembali pintu.

Syaira berdiri tercenung dibalik pintu, airmatanya lolos, jatuh satu persatu kemudian menganak sungai disudut bibirnya.
Entah apa yang sedang dipikirkan olehnya saat ini...

Syaira adalah perempuan yang lembut, namun menjadi wanita kaku dan dingin setelah dinikahi oleh Damian yang bertabiat buruk. Syaira tidak pernah bisa bersikap lembut terhadap anak-anaknya, padahal jauh dilubuk hatinya, ia amat menyayangi anak-anaknya.

Syaira pernah berpikir bahwa dirinya sudah gila, dan beberapa kali pernah berniat untuk pergi ke psikiater untuk memeriksa kenormalan dirinya. Namun perseteruannya dengan Damian setiap hari, seakan membuat Syaira membatu. Ia sudah terlalu lelah menghadapi watak suaminya tersebut.

Sindi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang