Empat

1.1K 107 0
                                    

Sindi membuka kedua matanya, dan mengerjap lalu menatap berkeliling. Rupanya sudah pagi.

Semalam, Sindi menyetop sebuah kendaraan pengangkut rumput agar ia bisa sampai ke kota dimana rumah Ibu berada. Rumah Sindi, rumah Keluarga Ibra.

"Sudah sampai, turunlah, nak. Omong-omong, kau mau kemana?" Sopir baik hati menatap wajah lugu Sindi.

"Aku, mau menemui nenekku, di ujung jalan sana. Terimakasih Paman, semoga Tuhan membalas semua kebaikanmu," Sopir tua itu tersenyum, dan membantu Sindi turun.

Keduanya saling melambaikan tangan, Sindi, masih berdiri bingung ketika mobil bak yang membawanya pergi menjauh.

Sindi menyusuri jalan setapak, yang jarang dilalui oleh siapapun. Sindi hafal betul semua jalan-jalan yang ada di kota kelahirannya ini.

Sesekali gadis kecil yang rambutnya kini sudah pendek itu menutupi wajahnya dengan ujung mantel, ketika Ia berpapasan dengan seseorang.

Sindi tidak ingin orang-orang tahu jika gadis kecil itu kembali ke rumah, Sindi takut kejadian dirumah Bill terulang lagi, mereka akan mengembalikan Sindi ke rumah Bibi Syaira,

Aku tidak mau ...

*

Rumah ini setahun yang lalu berwarna coklat kopi, bukan krem pudar dengan tumbuhan menjalar hingga ke atap.

Halaman ini setahun yang lalu diliputi warna kuning ceria, dari bunga matahari yang berjejer dari ujung tembok ke tembok lainnya, bukan ilalang yang tumbuh tinggi menjulang.

Rumah ini setahun yang lalu mempunyai pagar kayu berwarna putih bersih, bukan pagar kayu yang sebagian papannya telah rapuh dimakan rayap.

Pekarangan ini setahun yang lalu memiliki dua buah ayunan, satu permaninan memutar, serta dua perosotan berwarna warni, dan disamping pekarangan ini tumbuh dengan subur tanaman bunga kesayangan Ibu, bukan besi berkarat yang bunyinya pasti akan menyakiti telinga, akibat karat dari hujan dan panas.

Rumah ini, di depan rumah kecil namun penuh kebahagiaan dimasa lampau, disinilah seorang Sindi kecil berdiri. Menatap nanar pada rumah Mereka yang di depan pagarnya terdapat sebuah papan dengan tulisan

DIJUAL CEPAT
HUBUNGI xxxxx

Itu nomor ponsel milik bibi Syaira ...

*

Kreeekkkk

Suara pintu pagar berderit, sewaktu Sindi membukanya, bahkan nampaknya hampir terjatuh, karena kayu yang memang sudah usang.

Kedua kakinya bergetar, seperti kepingan piringan hitam, isi kepala Sindi seakan berputar cepat, menjelajahi waktu pada masa-masa sewaktu keluarganya menghabiskan seluruh waktu dirumah ini.

Ayah duduk diteras, membaca koran dan menikmati matahari luruh di Barat langit. Gideon tertawa dan mulutnya sengaja ia buka lebar-lebar, saat Sindi mendorong ayunan yang didudukinya. Sehingga pada saat Gideon berayun, suara teriakannya akan bergetar, dan itu seringkali membuat keduanya terpingkal-pingkal.

Tak lama tiba-tiba Ibu muncul dari dalam rumah, membawa sebuah nampan besar dan berteriak.

"Sindi, Gideon! Kemarilah! Lihat apa yang kubawa!"

Sindi dan Gideon berlarian, aroma kudapan serta teh dalam ceret kecil yang mengepul menusuk-nusuk hidung.

Mereka duduk berkumpul di waktu senja, sambil mendengarkan Ayah bercerita, tentang pertemuannya dengan Ibu ketika masih muda dulu. Kata Ayah, Ibu sangat disukai oleh banyak pria, dari Pria biasa hingga kaya raya.

"Jika Kau Yah, dari golongan apa?" polos Giedon bertanya, dengan mulut penuh oleh kudapan. Malerie, ibu mereka terkekeh mendengar pertanyaan Gideon.

"Ayah hanya seorang pemilik Toko alat musik dengan booth kecil, di pinggiran Mall besar di pusat kota," lalu Sindi dan Gideon ber ckckckck seraya menggeleng-gelengkan kepala.

"Eits tapi jangan salah! Pada akhirnya Ibu memilih Ayah untuk jadi pangeran dalam hidupnya, kemudian ... Jreng Jreng ... Lahirlah dua Malaikat ditengah-tengah kami. Malaikat cerewet, sering bertengkar, dan tentunya ... Kesayangan Ayah!" mereka tertawa.

"Dan ... Merekapun hidup bahagia Ckckck ..." Gideon kecil selalu berkata hal yang sama di akhir cerita.

Karena, Ayah sudah menceritakan kisah mereka itu puluhan kali, namun Mereka selalu memberi aplous yang sama, antusias, dan tertawa bersama di akhir cerita.

*

Satu butir air mata lolos dari pelupuk matanya. Sindi, gadis kecil itu kini duduk diteras yang sama, teras tempat mereka menikmati senja, namun siang ini, Sindi seorang diri, menangis terisak dibawah sinar matahari dan ditemani suara deru kendaraan dari kejauhan.

Sindi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang