Empat belas

839 74 0
                                    

Tak apa, malam ini diembus angin dari arah laut dengan amat kencangnya. Sindi, meringkuk dibalik mantel bulu kesayangannya. Kepalanya bertumpu pada tas ransel, sementara Juni, merebahkan tubuhnya disamping Sindi. Keduanya masih sama-sama terjaga, tak mudah terlelap diantara debur ombak yang memecah karang.

Tap Tap Tap

Terdengar suara langkah, tersaruk pada pasir-pasir pantai. Sindi menegakkan tubuhnya, kedua matanya beringas seakan musuh telah datang.

"Juni..."

"Ssttttt jangan berisik, Sindi. Aku yakin mereka tidak akan menemukan Kita," bisik Juni.

"Mereka? Maksudmu dia tidak sendiri?" gumam Sindi. Juni mengangguk.

"Ayo, rapatkan kakimu dan jangan bergerak sama sekali, Sindi. Mereka orang-orang jahat yang mungkin akan membawa kita pergi jauh dari sini," Sindi mengikuti perintah Juni.

Sementara itu langkah kaki terdengar semakin mendekat. Sindi bahkan mencoba untuk menahan napas, Juni benar! Mereka nampaknya orang-orang jahat, yang akan menculik Juni dan Sindi seandainya mereka menemukan kedua anak itu.

Beberapa lama kemudian,

"Mereka sudah pergi, Mereka tidak berhasil menemukan Kita," ujar Juni seraya menyeringai, menampilkan gigi-iginya yang putih bersih. Sindi mengembuskan napas lega, meski sesungguhnya Sindi tidak tahu apa tujuan mereka berkeliaran di tengah malam, dipantai yang sesunyi ini.

*

Prok Prok Prok

Syaira tersentak kaget, saat tiba-tiba terdengar suara tepukan ketika dia menutup pintu rumahnya.

"Bagus! Bagus sekali, Syaira kelakuanmu!" itu suara Damian.

Klek

Lampu dinyalakan.

"Jadi begini, kelakuanmu selama aku diluaran?!" Damian menghampiri Syaira.

Dengan kencang pria itu menjambak rambut panjang Syaira yang tergerai. Hingga kepala Syaira mendongak, dengan wajah meringis menahan sakit. Namun kali ini Syaira diam, tak menjawab ataupun berusaha melepaskan diri.

"Dari mana saja Nyonya Damian? Bagus sekali pakaianmu, dan lihat, sejak kapan kau bersolek seperti ini? Lalu lihat rambutmu, waahhh sungguh cantik Ckckckk," ujar Damian tepat ditelinga Syaira.

Syaira tetap diam, Ia terlalu muak untuk sekedar menjawab ocehan Suaminya dengan mulut bau Alkohol itu.

"Jawab, brengsek!" teriak Damian.

Braaaakkkkk

Laki-laki itu menendang meja. Hingga suasana hening menjadi sangat riuh. Dari atas sana, Margareth dan Symon mengintip melalui celah tangga dengan perasaan bercampur aduk. Kedua anak itu hanya diam, melihat pertengkaran kedua orangtuanya yang kali ini, terdengar jauh lebih menyeramkan dari biasanya.

Plak

Plak

Plaakkk

Tiga kali tamparan mengenai pipi Syaira. Syaira tetap tak bergeming, sementara Margareth, meremas tangan Symon, dan sebelah tangan Symon mengepal. Symon memang anak pembangkang, namun melihat perlakuan Ayahnya kali ini, Symon sangat geram.

Symon berdiri. Namun Margareth segera menahan lengannya.

"Kau mau kemana?" bisiknya.

"Apa jau akan diam saja melihat Ibu diperlakukan seperti itu, Margareth? Dimana perasaanmu! Minggir!"

Tap Tap Tap

Symon berlari.

"Hentikan Ayah!" teriaknya lantang, bagai seorang Pahlawan berdiri menantang.

Bruukkk

Tubuh Syaira terpental, karena dengan kasar Damian mendorongnya.
Damian beralih pada Symon, kemudian...

"Kau mau menjadi jagoan, bocah ingusan?!" hardiknya. Symon tak gentar, membalas tatapan Damian dengan keberanian penuh.

"Kau sudah keterlaluan, Ayah!" sahutnya.

Bukkk

Symon mengaduh, tubuhnya terpental dan darah segar mengucur dari kedua lubang hidungnya. Damian baru saja melayangkan tonjokkan pada hidung Symon, Ayahnya semakin beringas. Pengaruh Alkohol dan emosi seakan membutakan hatinya.

"Ayah jangan!" Margareth turun, ia menangis dan memohon agar damian menghentikan tindakannya.

Disudut sana, entah mengapa Syaira sama sekali tak bergerak. Tak bicara, tak melarang, perempuan itu hanya menangis pelan sambil menggigit bibir, isaknya pun hampir tak terdengar.

"Jangan ikut campur atau Aku akan melakukannya juga padamu!" hardik Damian. Margareth menggeleng, Ia memohon agar Ayah menghentikannya.

"Minggir!"

Bruukkk

Margareth terhuyung, dan terjengkang disamping Ibu.

Bukk
Bukk
Bukkk

Berkali-kali Damian yang sudah kesetanan menghantam perut Symon, menonjok wajahnya dan menendangnya.

"Ibu! Kenapa ibu hanya diam?!" teriak Margareth. Syaira tetap tak bergeming, ia diam, menatap kosong ke depan.

Damian dengan napas tersengalnya kemudian pergi, meninggalkan Symon yang terlentang tak berdaya, hanya isakan yang meluncur dari bibirnya.

'Polisi!'

Entah apa yang ada dipikiran Margareth. Gadis itu buru-buru meraih gagang telepon dan mencoba menghubungi Polisi. Perlakuan Damian memang sudah sangat keterlaluan, Ia harus melaporkan kekerasan itu atau seumur hidupnya, Damian tidak akan merasa jera.

"Hallo, Pak, tolong datang ke Jalan Flamboyan Nomor Lima. Sekarang!"

"...."

"Apa?! Aku memang anak-anak tapi ..."

Tut Tut Tut

Margareth membanting gagang telepon. Tangisnya pecah diantara kesal dan benci, bagaimana mungkin Polisi tidak mempercayai dirinya, barusan tadi, pihak berwenang mengancam agar Margareth tidak bermain-main dengan Nomor kepolisian.

"Bu ..." namun Syaira tetap diam, hanya airmata yang terus mengalir dipipinya. Margareth buru-buru menghampiri Symon, menggoyahkan tubuhnya dan menepuk-epuk pipi Symon.

"Symon, bangun Symon!" Symon mengerang, merasakan sakit yang teramat sangat disekujur tubuhnya. Sementara itu Damian pergi entah kemana, malam yang mencekam telah berlalu, namun menyisakan luka yang teramat dalam bagi ketiga orang di dalam rumah keluarga Damian.

Sindi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang