Satu

2.9K 138 1
                                    

Sepasang manik mata kecoklatan itu menatap kosong, pada jalan lengang yang baru saja tersiram hujan. Aroma tanah adalah hal yang paling disukainya, dulu, sebelum biru menjadi kelabu.

Tak apa, Sindi sudah mengikhlaskan biru nya menjadi kelabu sejak Setahun yang lalu. Namun untuk menghilangkan ingatan tentang peristiwa itu tidaklah semudah mengikhlaskan, karena nyatanya, Sindi hanya seorang gadis kecil yang kesepian setelah kejadian itu merenggut segala hal yang ia miliki.

'Juni 09 2017'

"Malerie, ayolah! Kita akan terlambat jika kau berdandan selama itu!" teriakan Ibra, suaminya menggema  siang itu.

"Sebentar lagi, sayang! Gideon, lekaslah, hentikan gerakan tanganmu itu, kelakukanmu membuat kepalaku pening! Lekas pakai sepatumu atau Kami akan meninggalkanmu disini,"

"Baiklah Bu," jawab Gideon, lelaki berusia empat tahun itu mengenakan sepatunya. Lalu meletakkan mainannya di atas tempat tidur.

Beberapa saat kemudian Ibu dan Anak itupun keluar dari kamar. Dan melangkah terburu untuk menemui Ibra yang sudah gelisah sedari tadi.

"Ayolah, Sindi akan mogok makan hingga seminggu, jika Kita terlambat datang ke acaranya! Ah, kau cantik sekali hari ini, sayang,"

Cup

Sebuah kecupan dilayangkan Ibra pada pipi Malerie. Malerie tersipu, perempuan itu memang sangat cantik, dengan pulasan makeup di wajahnya yang sederhana.

Hari ini adalah pertunjukkan perdana yang akan dilakukan oleh Sindi. Puteri cantiknya yang berusia Sepuluh tahun itu memang sudah memperlihatkan bakat bermain Gitarnya sejak usianya Lima tahun.

Ibra yang melihat bakat terpendam Sindi, akhirnya memasukkan gadisnya pada sebuah Sekolah Musik, yang dijalani Sindi setiap hari, sepulang Sekolah Umum.

Sindi tak pernah mengeluh lelah, justru kegiatan barunya itu teramat membuatnya bersemangat. Dan malam ini, adalah kali pertama Konser Tunggal yang diadakannya, setidaknya, enam lagu akan ia mainkan setelah permainan pengantar oleh beberapa temannya yang lain.

*

Ibra sangat tampan hari itu, setelan Jas hitam membuat pria tegap itu nampak semakin terlihat tampan. Begitupun dengan Gideon, pria kecil itu mengenakan setelan yang serupa dengan Ibra.

Lain halnya dengan Malerie, perempuan yang masih amat cantik meski usianya sudah menginjak kepala tiga itu nampak terlihat anggun, dengan gaun tanpa lengan berwarna senada. Hitam dengan sedikit renda merah marun dibagian dada berpotongan rendah itu.

Pantas saja jika Ibra memang sangat mencintai Malerie, adalah karena Malerie sosok perempuan yang sempurna.

*

Sindi gelisah, berdiri kemudian duduk kembali. Kepalanya terus mencari, pada bangku-bangku yang sudah dipersembahkan spesial bagi Mereka.
Namun ketiga orang penting didalam hidupnya belum juga menampakkan diri, padahal, sudah lagu ketiga pembuka dimainkan.

"Apakah kau gugup, Sindi?" Bill, pria muda yang merupakan guru terbaik Sindi menepuk-nepuk bahu kecil itu. Yang nampak cantik dengan gaun pendek berwarna hitam yang dipadankan dengan sepatu kulit selutut berwarna merah muda.

Semua itu Ibu yang membelikan, dan Sindi sangat menyukainya. Hingga berkali-kali ia memutar tubuhnya di depan cermin, beberapa waktu yang lalu.

"Sindi, giliranmu!" suara Bill kembali terdengar.

Sindi mengangguk, gelisah dengan kedua mata tak henti mencari keberadaan Ibu, Ayah dan Gideon.

Tapi dimana Mereka? Padahal, Mereka sudah berjanji tidak akan terlambat.

"Ada kabar buruk!" seseorang menyeruak pada iring-iringan yang mengantarkan Sindi ke atas pentas.

"Ada apa?!"

"Sindi, orangtuamu mengalami kecelakaan, dan semuanya meninggal ditempat kejadian!"

Riuh tepuk tangan penonton seakan suara semesta yang menertawakan gadis kecil itu. Sindi berdiri mematung di sisi panggung, bayangan Ibu, Ayah serta Gideon seakan berputar dikelopak matanya, Sindi berlari, berlari dari atas panggung besar itu dan berlari kencang keluar gedung pertunjukkan.

Tak peduli lagi para penonton yang menyoraki namanya, kerlip kamera dan lampu-lampu besar, atau suara Bill yang berteriak memanggil namanya, Sindi hanya ingin menemui Ibu, Ayah dan Gideon!

Sepanjang jalan, lagu kejutan spesial yang akan Sindi bawakan dan persembahan terbaiknya untuk Ibu, terus terngiang ditelinganya, bahkan hingga Ia benar-benar menemukan jasad ketiganya, dengan bibir bergetar Sindi menyanyikannya.

No I would not give you false hope

On this strange and mournful day

But the mother and child reunion

Is only a motion away, oh, little darling of mine.

I just can t believe it's so

Though it seems strange to say

I never been laid so low

In such a mysterious way

And the course of a lifetime runs

Over and over again

Sebuah lagu dari Paul Simon seakan mewakili segala yang ada dihadapan Sindi saat ini.

*

"Harus berapakali kukatakan, berhentilah meratapi kepergian Orangtuamu, Sindi! Mau sampai kapan Kau seperti ini? Lihat teman - temanmu, lihat Symon dan Margareth! Mereka bersekolah sementara Kau, masih saja seperti ini!"

Sindi menghapus airmatanya, dan mendengarkan ucapan demi ucapan Bibi Syaira kemudian menyimpannya di dalam hati. Sakit sekali rasanya bagi Sindi, bagaimana mungkin Bibi Syaira bisa mengatakan jika Sindi harus melupakan peristiwa itu?

Sejak peristiwa itu terjadi, Bibi Syaira, yang merupakan satu-satunya keluarga yang tersisanya lah yang kemudian meminta kepada Pengadilan untuk merawat Sindi.

Sindi tidak suka berada dirumah bibi Syaira. Karena selain Paman Damian yang selalu pulang dalam keadaan mabuk, dan pertengkaran yang sering terjadi diantara Mereka, Sindi pun tidak suka dengan Margaretha dan Symon, kedua kakak beradik itu selalu membuat Sindi menangis karena kesalahannya yang Sindi sendiri tak tahu apa.

Belum lagi keadaan rumah Bibi Syaira yang jorok, bau tikus dan kecoa di dalam dapur, membuat Sindi sering merasa mual ketika Bibi Syaira menyuruhnya makan.

Tidak seperti dirumahnya, Ibu, setiap hari membersihkan rumah hingga Sindi dan Gideon merasa tidak perlu lagi bermain dimanapun selain di dalam rumah.
Sindi merindukan rumah, Ayah, Ibu dan Gideon.

Satu tahun sudah Sindi tinggal bersama keluarga Damian. Selama Satu tahun itu pulalah Sindi tidak pernah lepas dari kenakalan Symon dan Margareth, atau sekedar pelampiasan kemarahan Bibi Syaira. Semakin sering Mereka membuat perkara, semakin pula Sindi merindukan Ayah dan Ibu.

Sindi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang