Enam

1.1K 101 1
                                    

"Dari mana Kau dapatkan semua itu, Juni?!" Sindi terbelalak sewaktu Juni membawa sekantung makanan. Roti, Susu, Es Krim dan sekantung kentang goreng masih panas.

"Kira-kira?" tanya Juni seraya membuka wadah es krim dan mulai menjilatinya.

"Kau mencuri?"

"Memangnya Aku punya uang untuk membeli?" masih dalam posisi berdiri dan menjilati es krimnya.

"Jadi benar Kau mencuri?! Aku tidak mau!" Juni terkekeh mendengar jawaban Sindi.

"lebih baik makan dulu es krimmu, sebelum meleleh, Sindi. Jangan katakan jika mencuri adalah perbuatan tidak baik. Karena aku tahu, sebab Ibuku sering mengatakannya padaku. Tapi saat ini harusnya kau berpikir, lebih memilih perutmu kelaparan lalu mati sia-sia, atau kenyang dulu?"

Sindi menghentakkan kaki, ada juga hantu yang gemar makan es krim, aneh sekali!

"Ayolah... Tenang saja! Aku mengambil semua makanan ini dipusat perbelanjaan besar, Sindi. Mereka tidak akan rugi banyak jika Aku mengambilnya hanya sekantung ini saja," bujuk Juni.

Sindi masih tetap menggeleng, namun perutnya benar-benar tak bisa diajak kompromi. Cacing-cacing sepertinya tahu, jika aroma Lada Hitam yang menyatu dengan minyak padat dalam balutan Kentang goreng itu sungguh menggugah selera.

Sindi melirik dengan ujung matanya, Juni, seperti sengaja membuatnya tergoda.

"Ayolah..." bujuknya sekali lagi.

Sindi kecil tak kuasa menahan lagi. Dengan wajah merah padam, akhirnya mengambil juga bungkusan kentang goreng itu dan memakannya sambil berbicara dalam hati,

'maafkan Aku Bu, Aku nakal tapi aku tidak tahu harus bagaimana lagi ...'

*

Kediaman Bill

Bill masih membaca selembaran kertas tentang Event Musik yang diselenggarakan oleh sebuah Perusahaan Gitar ternama dunia. Bill meletakkan selembaran tersebut dengan wajah muram.

"Bill, masih memikirkan Sindi?" Misel datang dan duduk disampingnya.

"Sudah kukatakan jika Sindi bermasalah dengan keluarga Damian, Misel. Sindi tidak mungkin pergi dari sana jika tak ada sesuatu hal. Dia anak yang baik, penurut, dan begitu manis. Tidak akan meninggalkan sesuatu jika tak benar-benar menyakiti hatinya," Bill mengusap wajahnya berulang kali.

"Maafkan Aku Bill, Aku hanya ketakutan malam itu," sesal Misel tak berguna.

*

Bill, pagi tadi mendatangi kediaman keluarga Damian, untuk mencari Sindi dan mengatakan pada Syaira, jika Sindi semalam mendatangi kediamannya. Bill sebenarnya sudah tahu, jika Sindi takkan kembali ke rumah Syaira, namun rasa penasarannya takkan terjawab jika belum melihat dengan mata kepalanya sendiri.

*

"Sindi, ada yang datang!" teriakan Juni membuat Sindi was-was. Perlahan Ia mengendap, dan mengintip melalui gorden yang tertutup.

"Aku harus pergi! Itu Symon dan Margareth, Juni!" terlihat kecemasan meliputi wajah Sindi.

"Tenanglah, Aku akan menangani Mereka," Juni berdiri membusungkan dada.

"Yaa terserah Kau, hihihi ..." Sindi tertawa geli melihat Juni dengan wajah yang dibuat menyeramkan.

Kreekkk

Terdengar pintu pagar dibuka dari luar.
Symon dan Margareth melangkah pelan, menuju teras.

"Kau yakin Sindi di dalam? Aku rasa itu tidak mungkin, Symon. Lagipula bagaimana dia bisa masuk ke dalam sana? Kuncinya ada di kita, bukan?" bisik Margareth

'Symoooon .... Pergilah anak nakal ....'

"Suara siapa itu?!" Symon dan Margareth tak menunggu suara itu berulang hingga dua kali. Sebab ketakutan sudah keburu menguasai Mereka. Symon dan Margareth berbalik kemudian meninggalkan rumah Sindy.

Di dalam sana, Sindi dan Juni tertawa melihat ketakutan di wajah Keduanya. Symon dan Margareth tidak jadi menjemput Sindi.

*

"Tidak! lepaskan Aku! Lepaskan Aku!"

"Tenang Sindi, ini Aku, Bill..." Sindi membuka matanya.

"Bill?! Benarkah ini kau?" Sindi menatap lekat wajah Bill dalam cahaya senter yang dibawanya.

"Iya, ini Aku Sindi. Ayo, kembali ke rumah," Bill mengangkat tubuh Sindi. Namun Sindi memberontak.

"Aku tidak mau! Misel tidak menyukai Aku, Bill! Aku sudah tahu semuanya, Aku dengar semuanya!" Sindi terisak. Bill, pria itu mendekap Sindi dan berusaha menenangkannya.

"Tidak Sindi, Aku sudah bicara padanya dan dia memahami keadaanmu, kemarin dia hanya ketakutan Polisi akan menggeledah rumah Kami, itu saja. Misel tak seburuk yang Kau pikirkan," terang Bill sambil mengusap Airmata Sindi.

"Kau tak berbohong, Bill?" ulangnya dengan mata basah. Bill tersenyum lalu menggeleng.

"Tentu saja tidak, Rocker!" Bill mengedipkan mata pada Sindi. Rocker, adalah sebutan Bill bagi Sindi, jika keduanya sedang berlatih musik.

*

"Juni, Kau dimana?" gumam Sindi. Bill menghentikan langkah.

"Siapa Juni?"

"Temanku,"

"Ohh ... Ajaklah bersama Kita," ujar Bill. Lalu membiarkan Sindi berbicara dengan 'teman' nya.

*

"Hai Sindi, maafkan Aku soal tempo hari," Misel mensejajarkan tubuhnya dengan Sindi. sindi sedikit mundur, dan menggenggam lengan Bill.

"Tak apa, Misel menyesalinya, Sindi," Bill memberi ketenangan bagi Sindi. Sindi mengurai cengkeraman tangannya pada lengan Bill. Kemudian mencoba memberikan seulas senyum padanya.

"Ayo, istirahatlah Sindi, nanti Kita akan bicara berdua," gumam Bill sambil menggerakan jari telunjuk dan jari tengahnya pada matanya dan Sindi. Sindi mengangguk, kemudian meninggalkan Mereka, dengan tas ransel dipunggungnya, serta gitar kesayangannya dalam genggaman tangan mungilnya.

*

Malam beranjak pagi, Sindi mencium harum omellete dari bawah.

"Sudah bangun?" sapa Misel.

"Pagi Misell. Aku terbangun karena harum Omellete. Pasti Bill yang membuatnya bukan?" sapa Sindi. Wajahnya nampak jauh lrbih segar.

Misel terkekeh mendengar ucapan Sindi.

"Tentu saja, Aku payah dalam hal memasak, Sindi!" jawabnya. Keduanya turun bergandengan tangan.

Namun Sindi menghentikan langkahnya, wajah cerianya kembali menegang. Saat melihat seseorang tengah duduk dan berbincang dengan Bill.

"Bibi syaira ..."

"Sindi! Sindi kemarilah sayang, maafkan Aku," Sindi mundur, memegangi ujung baju Misel dan menggeleng.

"Kau jahat, Bill! Kau jahat, Aku benci padamu!" Sindi berteriak, kemudian kembali berlari menuju kamarnya. Ia menangis menelungkupkan kepalanya pada bantal.

CRINGG

"Sindi, meskipun kau tinggal dengan bibi Syaira, Aku akan menjagamu, dan Juni..."

Sindi mengangkat kepalanya. Sejenak gadis kecil malang itu mengucek mata.

'Capung!'

'Mengapa seekor Capung bisa berbicara?'

"Aku Peri, yang dikirim oleh Ibumu untuk menjagamu, gadis manis," Sindi menegakkan tubuhnya.

"Peri? Apakah Kau bersayap?" Sindi mengucek sekali lagi kedua matanya. Capung yang tadi dilihatnya tiba-tiba berubah menjadi sosok perempuan cantik. Dengan iris mata biru, rambut panjang tergerai, dengan sebuah Mahkota dan sebuah tongkat ajaib. Persis seperti dongeng yang sering diceritakan oleh Ibu.

Peri tersebut tertawa, deretan giginya yang putih nampak cantik. Ia mengangguk, lalu terbang mendekati Sindi, dan mengelus pipinya.

"Semua akan baik-baik saja, percayalah..."

Sindi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang