Tujuh belas

812 76 0
                                    

Tok Tok Tok

"Sebentar!" Nyonya Syaira menghentikan kegiatannya yang tengah mencuci piring. Kemudian berjalan tergesa, seraya mengelap
Kedua tangannya pada lap yang tergantung di dekat pintu dapur.

Cklek

"Siapa ... Lho, Nizar?" Syaira tercengang. Melihat Nizar yang tampan berdiri di depan pintu.

Tak hanya itu, dalam genggamannya terdapat sebuket bunga mawar merah segar. Syaira tercekat lama sekali. Kenapa Nizar nekat menemuinya dirumah! Padahal kemarin, Ia sudah memintanya untuk tidak datang lagi menemuinya.

"Hey!" suara Nizar membuat Syaira tersentak, nampak sekali gurat-gurat gugup diwajah perempuan itu.

"Untuk apa Kau datang kesini, Nizar?" tanya Syaira. Kedua matanya menoleh ke segala arah, bagaimana jika Damian tiba-tiba muncul!

"Aku ingin bicara denganmu. Dan ini, terimalah," Nizar menyerahkan buket bunga padanya.

Syaira mengambilnya, wajahnya merona. Bagaimanapun, Nizar memang jauh lebih pandai membuat hatinya melayang terbang. Damian, mana pernah bersikap romantis. Kecuali dulu, dulu sekali ketika harta warisan Syaira masih utuh!

"Nizar, pergilah. Nanti kita bertemu pukul tiga sore ditempat biasa," ucap Syaira. Nizar mendesah, tapi kemudian mengangguk.

"Baiklah, Aku harap kau menepati janji, Syaira," gumamnya. Syaira mengangguk, dan melepas kepergian Nizar dengan tatapan sendu.
Perasaan Syaira kini bercampur aduk.

*

"Bill, Sindi melarikan diri!" Misel berteriak dari dalam kamar yang semalam ditiduri oleh Sindi.

Bill dan Misel memang tertidur saat malam menjelang pagi, sehingga siang ini, keduanya baru saja terbangun.

Bill yang masih dalam keadaan setengah sadar, kemudian bangkit dan berlari menuju kamar, Ia nampak gusar. Dilongoknya jendela kamar, kemudian Bill menghentakkan kaki.

"Ini sudah diluar batas, Misel! Tunggu, aku akan mencarinya!" seru Bill seraya keluar, menuju kamar wastafel dan mencuci muka. Bahkan Bill tak sempat minum dua gelas air putih seperti biasanya.

Bill meraih kunci mobil yang tergeletak di atas meja, kemudian segera keluar rumah dan menghidupkan mesin mobilnya. Ia harus menemukan Sindi!

*

"Sindi, Kita sudah dekat dengan dermaga. Hanya tinggal selangkah lagi, Pulau Venesia akan berada didepan mata. Dan Aku, akan memeluk Ibu! Kau pun boleh menganggap Ibuku sebagai Ibumu, Ibuku pasti akan senang bertemu denganmu!" ujar Juni dengan penuh semangat.

Sindi tersenyum, kelopak matanya nampak menghitam, karena sejak semalam gadis itu memang belum tertidur.

"Tapi kita harua hati-hati, bukan tidak mungkin Bill akan menyusul kesini dan menemukan kita," lanjutnya.

Juni benar, bukan tidak mungkin Bill akan datang secara tiba-tiba, lalu kembali menggagalkan rencana keduanya.

Mereka berjalan jauh, sangat jauh menuju Dermaga yang kemarin. Kali ini Keduanya lebih berhati-hati, dan mencari jalan sepi yang tak mungkin dilalui oleh kendaraan.

Sindi memang Anak yang jenius dalam beberapa hal, ia tahu jika Bill pasti akan kembali mencegahnya, dan parahnya, Bill bahkan akan memisahkan dirinya dengan Juni!
Tidak!
Sindi tidak mau!
Untuk itulah Sindi memikirkan soal jalan pintas ini.

Bill tidak pernah tahu jika hanya Juni lah satu-satunya teman terbaik Sindi. Setelah Bella.
Ah Bella yang malang karena perlakuan makhluk-makhluk yang tidak bertanggung jawab itu.
Mereka membunuh bella!
Mereka lah yang memisahkan Sindi dengan Bella. Dan kini Bill, satu-satunya orang yang Sindi percaya, pun tak memihak padanya lagi.

*

"Symon! Dimana Ibumu!" teriakan Damian menggelegar.
Symon yang baru saja merasa jauh lebih baik, diam tak bergeming, dan berpura-pura tidur.

Tap Tap Tap

Suara langkah Damian membuat dada Symon berdebar kencang.

Braakkk

Pintu ditendang dengan sangat kencang. Symon buru-buru merekatkan selimut, namun Damian tahu jika Symon sedang berpura-pura tidur, sebab terlihat seluruh tubuhnya bergetar hebat.

"Bangun! Dimana Ibumu?!" hardik Damian, matanya berkilat.

"A aku tidak tahu, Yah..." jawab Symon dengan wajah pucat.

Damian mendorong tubuh Symon, kemudian keluar dari kamar. Symon meringis menahan sakit, namun kemudian bernapas lega. Damian sepertinya tak punya banyak waktu luang untuk menyakiti anaknya itu.

Symon menatap mobil yang dikendarai Ayah melalui jendela. Tatapannya muram, Symon memang sudah banyak berubah semenjak kenakalan paling fatal yang ia lakukan ketika itu. Terlebih saat Ia semakin jauh memperhatikan keadaan Ibunya, Symon berjanji akan berhenti menjadi anak nakal.

Sesungguhnya, kenakalan Symon hanyalah berupa kenakalan untuk mencari perhatian Kedua orangtuanya. Dengan tidak peduli pada sekeliling, pada orang-orang, termasuk Sindi.

'Sindi ... Dimana anak itu? Aku ingin bertemu dan meminta maaf padanya ....' bathin Symon.

*

"Kau kenapa?" Margareth baru saja sampai di rumah, dan melihat Symon dengan wajah ditekuk sempurna.

"Dimana Sindi?" tanyanya entah pada siapa. Entah pada Margareth, atau pada dirinya sendiri. Atau pada udara yang seakan mengambang dan terasa panas.

"Bukankah Ibu mengatakan jika Anak itu dirumah Bill? Guru musiknya?" tanya Margareth. Symon mengangkat bahu.

"Hey! Lagipula, kenapa Kau menanyakan soal Sindi? Tanganmu gatal? Jika sehari saja tidak mengerjai anak itu, heh?!" Margareth terkekeh. Tapi lalu diam, karena Symon tidak merespon apapun.

"Aku ingin meminta maaf padanya, Margareth," gumam Symon.
Kedua mata Margareth terbelalak. Air putih dari dalam botol yang baru saja ditenggaknya hampir saja keluar lagi, ucapan Symon benar-benar membuatnya geli.

"Minta maaf? Hahaha apa Aku tidak salah dengar?!" ledeknya. Symon diam, ia sudah tahu apa yang akan dikatakan Margareth. Sudahlah tak apa, nanti Margareth akan paham dengan sendirinya, hanya soal waktu ...

Sindi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang