Sepuluh

1K 72 0
                                    

"Sudah siap?" tanya Juni pada Sindi. Sindi mengangguk, lalu mengangkat ransel perbekalan miliknya.

"Kau tak perlu khawatir, Jun, sebab Aku sudah meminta ijin pada bibi Syaira untuk menginap ditempat Bill,"
terang Sindi lalu menyeringai.

Juni tersenyum lebar, Bella, yang tiba-tiba muncul dari jendela, seperti biasa tersenyum pada keduanya.

"Ayolah kita pergi!" seru Sindi. Mereka mengangguk, dan terdengar ketukan dipintu sebelum Sindi dan Dua temannya benar-benar pergi.

Tok Tok Tok

"Ya ..." sahut Sindi dengan wajah kecewa.

"Sindi, ini Aku!"

Bill?

Cklek

Sindi menatap wajah Bill.
"Mau kemana?" tanya Bill. Sindi buru-buru meraih lengan Bill dan membawanya masuk.

Bruggg

Pintu ditutupnya pelan.

"Bill, Aku sudah mengatakan jika aku dan Juni akan menemui orangtuanya di Pulau Venesia, bukan?" kesal Sindi. Dengan wajah murung, Bill meraih kedua tangan Sindi, sementara Juni terlihat duduk menopang dagu. Sementara Bella, seperti biasa duduk di atas jendela kamar.

"Sindi, Aku lupa sesuatu. Sore ini ada pertunjukkan amal di taman kota. Mau pergi denganku? Ayolah... Sambil Kita bercerita tentang Pulau Venesia," Bill tersenyum dan menatap Sindi, berharap gadis kecil itu memberi anggukkan.

"Tapi aku sudah berjanji pada Juni dan Bella, Bill. Aku tidak mau mengecewakan mereka..." jawab Sindi setengah berbisik. Seakan tak ingin Juni dan Bella mendengar.
Sindi lupa, jika kedua temannya itu dapat mendengar.

"Sindi, tak apa. Kita bertualang lain waktu saja..." gumam Juni dengan wajah murung.

"Bill, tunggu di luar sebentar, Aku ingin berbicara dengan teman-temanku," pinta Sindi. Bill menghela napas panjang, kemudian mengangguk.

"Baiklah ..." gumamnya seraya berdiri dan meninggalkan Sindi di dalam kamar.

*

Langit cerah, Matahari bersembunyi entah pada awan yang sebelah mana, namun pantulan cahayannya masih cukup menghangatkan siang dengan ranggas angin mengecup dedaunan.

Disana, ditrotoar jalan, seorang gadis kecil berambut pendek kecoklatan tengah berjalan bergandengan tangan, dengan seorang pria dewasa sambil sesekali bersenandung.

Sindi, akhirnya menyetujui usul Bill untuk pergi dengannya, setelah berbicara cukup lama dengan Bella dan Juni.

Juni selalu setia mengikuti Sindi, sesekali wajah pria itu tersenyum melihat sepasang orangtua dan anaknya tengah bercengkerama dibangku taman. Namun sesekali napasnya diembuskan pelan, Juni rindu ayah dan ibu. Entah kapan pria malang itu benar-benar akan berjumpa dengan orangtuanya. Serta Arum, kakak perempuan yang selalu menjaganya.

*

Sunny kecil dibawa komplotan penculik ketika usianya Tiga tahun. Entah sudah berapa lama Sunny dan para komplotan terombang - ambing dilautan lepas. Namun yang pasti, Sunny kecil menyadari dirinya telah menjadi seorang hantu pada saat usianya Sembilan tahun.

Sunny masih mngingat segalanya, tentang Ayah, Ibu, Arum, serta Pulau Venesia yang cantik. Yang ia lupa adalah soal nama. Sunny tidak pernah dapat mengingat siapa namanya.

Waktu menyeret Sunny berada di Kota kelahiran Sindi, sebuah Kota yang akhirnya mempertemukan Sunny dengan gadis kecil yang malang, gadis kecil yang kini menjadi kawan baiknya, dialah Sindi.

Juni, nama yang meluncur begitu saja dari mulut Sunny, saat Sindi bertanya siapa dirinya, yang akhirnya melekat pada dirinya. Ya, Juni, adalah Sunny kecil yang malang. Yang terpisah dari orangtuanya, dan ingin kembali. Ingin memeluk Ibu, Ayah, serta Arum.

*

"Sindi, Kau mau makan es krim?" tawar Bill. Sindi mengangguk.

"Baiklah, tungu disini dan jangan kemana-mana sebelum aku kembali, janji?" Sindi mengangguk.

"Bill, belikan untuk Juni juga!" teriak Sindi. Bill hanya mengangguk, lalu pergi menuju stand penjual es krim yang tak jauh dari bangku taman dimana Sindi duduk menunggu.

"Sindi, Kau menyayangi Bill?" tanya Juni. Pandangannya lurus pada jalanan. Sindi berpaling padanya, kemudian tersenyum.

"Aku menyayangi Bill karena Bill menyayangiku, Juni. Bill baik padaku, walau kadang menyebalkan. Dia suka memaksaku menghabiskan bekal, belajar, mengerjakan PR, padahal Bill tahu jika aku tak berminat Sekolah Umum. Nilaiku selalu payah di Sekolah Umum." keluh Sindi. Juni terkekeh pelan.

"Bill memang pria yang baik," ujar Juni. Sindi mengangguk pasti.

"Ya, Bill sudah seperti ayah bagiku. Baiknya sama, sayangnya sama, cerewetnya pun mirip sekali dengan Ayah," Sindi terkekeh.

Sejak kembalinya Sindi ke rumah bibi Syaira, Sindi memang sudah berjanji dalam hatinya untuk melupakan kesedihannya atas kepergian Ayah, Ibu dan Gideon. Toh sekarang Sindi sudah memiliki Bill yang kembali melatih bakatnya, Juni serta Bella yang selalu menjaganya. Jadi Sindi tak merasa kesepian lagi. Sekalipun Symon dan Margareth jahat padanya, setidaknya Sindi punya Juni dan Bella yang selalu menghibur.

*

Ngomong-ngomong soal Symon, pria  itu kini tengah duduk gelisah. Kepalanya sesekali menjulur keluar jendela, menunggu kedatangan seseorang, bibi Syaira. Symon tidak pernah segelisah ini sebelumnya, ia juga tidak pernah nampak setakut ini. Bibi Syaira tengah memenuhi panggilan Kepala Sekolah beberapa waktu yang lalu, dan belum kembali.

*

Nyonya Syaira melangkah cepat, menuruni anak tangga dan berjalan menyusuri koridor gedung sekolah yang lengang. Suara langkahnya terdengar bersahutan, dengan napasnya yang tak teratur menahan gelegak emosi di dalam dadanya.

Beberapa siswa yang tengah bermain basket menatapnya sekilas, menatap perempuan berwajah kaku yang tak pernah seulas senyumpun menghiasi wajahnya. Padahal bibi Syaira berusia hampir sebaya dengan Malerie, Ibu Sindi. Namun entah karena apa, perempuan itu nampak terlihat jauh lebih tua dari Malerie.

Syaira melajukan Honda Civicnya dengan kecepatan cukup tinggi, rasanya tak sabar ingin lekas sampai dirumah.
Setelah melintasi beberapa kelokan jalan, Honda Civic keluaran tahun 1987 an itu memasuki pekarangan rumahnya.

Bruggg

Suara pintu mobil yang dibanting kencang mendebarkan dada seseorang di dalam sana. Symon.

Tap Tap Tap

Langkahnya terdengar terburu, bibi Syaira menatap wajah Symon yang menunduk diujung sofa.

Brakkkk

Suara meja yang digebrak oleh bibi Syaira, mampu membuat Symon mengkeret. Dan tak sanggup menatap wajah Ibunya yang menyalang.

"Symon, apa kau puas dengan mempermalukan aku dihadapan kepala sekolah?!" suara bibi Syaira akhirnya menggelegar. Symon menunduk, tak berani menatap mata Ibunya seperti biasanya.

"Symon, jawab!"

Plakkkk

Sebuah tamparan melayang pada pria yang sudah ketakutan itu. Bibi Syaira dengan napas tersengal, menyeret lengan Symon. Membawanya ke kamar dan menguncinya dari luar.

"Aku akan mengurungmu hingga Kau mengakui semua kesalahanmu, Symon!" teriak Syaira dari luar pintu.

Betapa memalukan, Bibi Syaira dipanggil oleh Kepala Sekolah karena seuatu hal. Bibi Syaira berpikir jika apa yang dilakukan Symon masih dalam batas kenakalan anak-anak. Namun tidak! Lebih dari itu, putera sulungnya yang masih duduk dibangku kelas dua Sekolah Menengah Pertama itu melakukan kesalahan yang sangat fatal. Bukan sekali dua kali, namun hingga Delapan kali, Symon mencuri uang teman-temannya, dan hal itu terlihat dari kamera CCTV yang berada di dalam kelas.

Mau ditaruh dimana wajah Bibi Syaira. Bekum cukupkah segala permasalahan yang menimpa rumah tangganya?
Bibi Syaira kini tengah duduk termenung diatas tempat tidurnya. Perempuan itu lelah, sangat...

Sindi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang