Tujuh

1K 92 0
                                    

"Sindi, buka pintunya," suara Bill membuat Peri yang tidak diketahui namanya itu terbang keluar jendela, sementara Juni, pria hantu itu masih terlelap dibalik selimut milik Sindi.

"Aku tidak mau!" teriak Sindi.

"Ayolah, percaya padaku, semua akan baik-baik saja, Sindi," bujuk Bill.
Sindi berdiri, kemudian mendekati pintu.

Cklek

Pintu terbuka. Bill, menurunkan tubuhnya hingga sejajar dengan Sindi.

"Dengarkan Aku, Aku sudah berbicara dengan Nyonya syaira, bibimu berjanji tidak akan memarahimu lagi dalam keadaan apapun. Dan Satu hal lagi, Aku sudah meminta padanya, agar membiarkanmu melanjutkan kelas musik bersamaku. Kau tertarik?" Sindi diam. Tawaran Bill cukup membuat hatinya melunak.

"Tapi aku akan membawa Juni dan teman baruku yang lainnya bersamaku," pinta Sindi.

Bill tersenyum, kemudian mengangguk pelan. "tentu saja, tapi... teman-temanmu tidak akan merepotkan bibimu, bukan?" tanya Bill. Sindi menggeleng.

"Mereka teman yang baik, Mereka tidak akan merepotkan siapapun Bill," jawab Sindi. Bill tersenyum lalu mengangguk.

"Ayolah, Kita akan bertemu esok siang, sepulang kau bersekolah umum, seperti biasa," Sindi kembali menggeleng keras.

"Aku tidak mau bersekolah!" hardiknya.

"Sindi, dengarkan Aku! Sekolah adalah kewajiban anak-anak. Kau tentu ingin membuat ayah dan ibumu bangga, bukan? Dimana teman-temanmu? Mengapa aku tidak bisa melihat keberadaan Mereka? Biar Aku bicara pada mereka, jika kau tak mau Sekolah, akan kuminta Mereka menjauhimu," Ancam Bill.

"Jangan! Baiklah, aku kalah kali ini, Bill ..." rengeknya. Bill tertawa, dan memeluk tubuh kecil Sindi.

"Rocker hebat!" Sindi tertawa.

*

Rumah ini, rumah keluarga Damian sudah berdiri angkuh dan siap menyambut kedatangan Sindi dengan segala isinya, Sindi, gadis kecil itu memeluk gitar kecil kesayangannya. Ia berjalan mengikuti Bibi Syaira.

"Selamat datang, Anak tak tahu diri!" sambutan pertama paman Damian membuat Sindi sedikit menciut. Namun kedipan mata Bibi Syaira rupanya cukup ampuh untuk membuat suaminya itu diam.

"Kau kembali? Hehehe ..." lagi-lagi suara Symon menambah nyali Sindi benar-benar menciut. Disampingnya, Margaretha nampak mencibir kepadanya.

"Sindi, istirahatlah. Besok pagi aku akan mendaftarkanmu ke sekolah yang baru. Symon, Margareth! Berhenti mengganggu Sindi!" perintah Bibk Syaira.

Sindi mengangguk, dan buru-buru meninggalkan Mereka.
Masih terdengar Symon berbicara sesuatu, namun sepertinya hardikan Bibi Syaira berhasil membungkam mulut Symon.

*

"Kau lihat bukan, Juni? Mereka selalu berbuat jahat padaku," keluh Sindi saat Ia merapikan seluruh baju miliknya kedalam lemari.

"Tenanglah, jangan panik, Sindi. Aku dan Peri Capung akan selalu menjagamu," jawab Juni.

"Namanya Peri Bella, Juni! Bukan Capung!" hardik Sindi. Juni terkekeh,

Yaaa Peri Bella ...

*

Gedung Sekolah dengan cat berwarna Putih berdiri di hadapan Sindi. Gadis kecil itu berjalan lurus, melewati gerombolan anak-anak sebayanya yang menatap kedatangan Sindi bersama bibi Syaira.

Sindi masuk ke dalam kelas, sementara bibi Syaira menemui ruang Tata Usaha untuk menyelesaikan berbagai keperluan Administrasi.

"Murid baru?" seseorang menyenggol bahu Sindi. Sindi berpaling padanya, lalu mengangguk. Tanpa tersenyum, hanya benar-benar mengangguk saja.

Gadis yang merasa tidak dianggap itu buru-buru pergi, Sindi bukan Anak baru yang menyenangkan, pikirnya.

Namun Sindi tak peduli, keberadaannya disini sekedar formalitas, sebab sekolah musik lebih menyenangkan ketimbang berkutat dengan buku-buku pelajaran yang membosankan.

"Perkenalkan dirimu, Sindi," ujar seorang guru dengan kaca mata kucing dan rambut yang terikat rapi. Sindi mengangguk.

"Hallo, Aku Sindi Jhonson,"

Hening

"Sudah?" Sindi mengangguk. Guru perempuan itu mengangguk-angguk, dan berpikir jika Sindi memang seorang anak yang kaku.

"Duduklah di sana, dibangku kosong sebelah kanan," guru perempuan menunjuk pada sebuah bangku ketiga sebelah kanan. Sindi mengangguk, kemudian melangkah tanpa sepatah katapun keluar dari bibirnya.

Jika biasanya kehadiran murid baru mendapat sambutan riuh, namun tidak kali ini. Rupanya Mereka terlalu menganggap jika Sindi sosok yang aneh.

Benar bukan, Mereka pandai menerka? Namun sekali lagi Sindi tidak peduli. Baginya, Ia sudah merasa cukup hanya berkawan dengan Juni, dan Bella.

*

"Sindi, makan siangmu sudah siap!" teriakan Bibi Syaira memaksanya untuk menghentikan obrolan dengan Juni. Padahal, Juni baru saja ingin mengatakan tentang rencana sebuah petualangan.

"Iya Bi!" jawab Sindi, kemudian turun dari tempat tidur, setelah melambaikan tangan pada Bella, yang terbang melalui jendela kamar.

Cklek

Sindi berjalan keluar kamar, menuruni anak tangga dan duduk dikursi makan. Tak ada Symon, tak ada Margareth. Sepertinya Mereka memang masih berkeliaran sepulang Sekolah.

Sindi mulai menikmati makan siangnya, sesekali kepalanya menjulur mencari keberadaan Damian. Ia tidak suka Paman Damian, mulutnya selalu bau Alkohol dan Rokok, lalu bicaranya menyebalkan.

"Pamanmu masih bekerja, tidak perlu khawatir soal dia, Sindi!" seru Bibi Syaira dari dapur.

Sepertinya Bibi Syaira cukup tahu jika Sindi sedang mencari keberadaan Suaminya tersebut. Sindi hanya mengangguk tanpa bermaksud menjawab pernyataan Bibi Syaira.

Sindi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang