17. Tiada

168 9 0
                                    


Tanah merah itu masih basah. Titik kecil air mata kembali jatuh di pipi Laras. Reyna memeluk bahu Laras menguatkan. Renggo dan Bayu serta perwakilan kampus dan mapala juga teman sekelas Laras berdiri menunggu Laras yang masih bergeming di samping pusara baru itu.

"Ras..balik yuk.."

Laras menunduk, tetap mengelus nisan yang masih baru. Renggo menepuk bahu Reyna dan jongkok di samping Laras. Matanya masih sembab sisa menangis dua hari kemarin.

"Lo harus kuat, Ras. Kita di sini buat lo." Renggo menghela nafas pasrah. Menoleh ke arah Bayu dan Reyna agar mereka mengajak teman-teman lain pulang duluan.

"Ini salahku. Kalau saja aku datang cepat waktu mama telepon.."

"Sst..udah. Gue tahu lo mau ngomong apa. Kalau mau nangis lagi, nangis aja."

"Kita pulang, Renggo."

Renggo mengernyit bingung. "Sekarang?"

Laras mengangguk. Mereka akhirnya berdiri dan berjalan menjauh dari makam yang selamanya akan Laras datangi nanti. Makam seseorang yang pernah mengisi hari-harinya dengan senyum dan keceriaan meski berakhir tak membahagiakan.

Di mobil, Reyna dan Bayu pindah posisi. Renggo dan Laras duduk di belakang, Bayu memilih untuk menyetir dan Reyna duduk melirik Renggo untuk menjalankan mobil segera.

"Hiks..Renggo. Ini salahku.."

Renggo menutup mulut Laras dengan tangannya. Dia mengusap air mata Laras dengan senyum tipis.

"Sampai kapan lo harus nyalahin diri sendiri. Semua pasti akan melakukan hal yang sama jika ada di posisi mama."

Laras menyenderkan kepalanya di bahu Renggo. Masih tersisa isak tangis kecil saat matanya memejam. Renggo tersenyum dan mengelus rambut Laras yang wajahnya terlihat lelah.

"Kita ke rumah sakit? Atau ke rumah Laras dulu, Kak?" ujar Reyna sambil melirik Laras yang terlihat lelah.

Bayu geleng kepala melihat Reyna sibuk menggigiti kukunya. Kebiasaan Reyna saat bingung. Bayu memegang tangan Reyna dan menggenggamnya sampai Reyna menahan nafas.

"Stop kebiasaan buruk lo, kalau nggak mau kuku lo terluka. Ntar gue yang sakit."

Reyna melongo. Renggo menahan tawa melihat wajah Bayu yang sok cool demi menarik hati Reyna. Tiba-tiba Reyna menepis tangan Bayu kasar.

"Nggak usah sok romantis. Nggak mempan sama gue. Dasar modus. Huh!!"

"Tapi suka kan?" Bayu mengerling sambil memainkan alisnya. Reyna buang muka.

Renggo senyum dan coba memejamkan matanya lelah. Sudah dua hari dia belum tidur sibuk kesana kemari mengurus semuanya. Laras, Fajar, Mama, Nia. Perlahan mata Renggo terpejam rapat.

***


"Nia, stop!!"

Mama Laras kaget refleks mendorong Nia hingga tersungkur. Lengannya tergores pisau yang dipegang Nia. Nia kesal tusukannya meleset. Matanya menyala marah.

"Karena tante! Karena Laras! Kak Fajar nggak mau lihat Nia lagi! Karena Laras hancurin cinta Nia! Karena Laras dan Tante nolak kak Fajar!!"

Nia kembali bergerak cepat mendorong tubuh Mama Laras sambil menyabetkan pisau ke wajah mama Laras. Mama Laras yang pernah ikut bela diri langsung mengelak dan menjatuhkan pisau di tangan Nia dengan sekali pukulan.

"Sadar, Nia! Kamu yang nabrak Nak Fajar. Kalau saja kamu nggak hancurin hubungan Laras sama nak Fajar, semua nggak akan jadi begini."

"Nggak! Ini salah kalian! Seharusnya waktu itu Nia nggak kenalin Kak Fajar ke Laras dan tante! Tante udah bunuh Kak Fajar! Sekarang Tante harus mati!!"

Ada Cinta di JogjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang