20. Senja

190 11 0
                                    


Mungkin rindu membuatmu biasa menunggu
tetapi waktu takkan bisa mengembalikan rasa yang kau lepaskan dulu

Laras masih terpekur menatap senja yang perlahan turun ke peraduan. Di balkon rumahnya, Laras menutup mata. Seakan ia melihat Renggo melambaikan tangan dan memintanya menunggu untuk sebuah kepastian yang entah.

"Bukankah rindu itu menyakitkan?"

"Ras, lo mau nanya kaya gitu berapa kali lagi?"

Reyna menghembuskan nafas lelah. Laras kembali murung dan menekuk lututnya. Ia membiarkan angin meniuap rambutnya dan mencoba merasakan damai yang menurutnya kosong. Tak ada Renggo, maka hanya hampa terasa.

Reyna melirik Laras yang masih enggan beranjak. Sudah hampir sebulan sejak kepergian Renggo. Di depan semua orang Laras bisa memasang wajah ceria. Apalagi di depan mamanya dan Fajar. Tetapi saat berdua dengannya begini, Reyna tahu Laras terpuruk.

"Selamat malam, Renggo. Kamu dimana sekarang?"

"Laras.."

"Hiks.." Pertahanan Laras runtuh. Bahunya terguncang pelan. Reyna merengkuh Laras dan memeluknya. Merayakan kepedihan dengan membiarkan Laras menangis sepuasnya.

Buat apa ditahan? Setiap sedih dan luka memang pantas untuk mengeluarkan air mata. Apalagi jika orang yang kita sayang dan masih menyayangi kita terpaksa pergi karena keadaan yang tak bisa ditolak.

"Gue harus gimana, Reyna? Gue nggak kuat lagi. Apa gue harus selamanya pura pura bahagia di depan mama dan Kak Fajar? Hati gue bukan papan tulis yang bisa dihapus seenaknya dan menggantinya dengan nama seseorang yang lain."

"Lo harus sabar, Laras. Gue dukung semua keputusan lo, sama siapa pun lo nanti, lo harus bahagia. Lo yang tahu mana yang terbaik yang harus lo lakuin."

"Tapi Kak Fajar? Gue nggak mau nyakitin dia, Rey. Dia udah berkorban buat mama dan gue selama ini."

"Tapi lo ke Kak Fajar itu murni hutang budi sekarang, Laras. Bukan cinta!" Reyna ikut gemas melihat Laras jadi plin plan seperti ini.

Laras menggigit bibirnya. Air matanya terus tumpah. Bingkai foto Renggo yang selama ini dia simpan rapi di laci meja dia ambil dan diusapnya penuh cinta.

"Apa gue bisa memilih antara orang yang udah ngasih sejuta cinta sejak gue lahir sama orang yang paling gue nggak mau kehilangan karena cintanya berarti banget buat hidup gue?"

"Cuma lo yang tahu jawabannya."

Laras memeluk bingkai foto Renggo dan memejamkan mata. Lintasan bayangan kebersamaan bersama Renggo terus datang dan membuat dadanya makin sesak.

"Tapi sama Kak Fajar gue emang udah nggak bisa lagi munculin rasa kaya dulu sebelum dia ninggalin gue. Gue mau Renggo. Gue cinta dia. Tapi, gue nggak mau mama kecewa."

Reyna menghela nafas. Sulit memang memilih dua pilihan yang sama-sama penting di hidup kita. Yang Reyna lakukan kemudian hanya memeluk Laras dan mengelus bahunya menguatkan. Dia bingung memberi nasehat seperti apa. Toh, Laras hanya ingin didengarkan.

"Reyna. Gue kangen Renggo." Lalu terdengar isak Laras yang makin kencang. Reyna makin kuat memeluk Laras. Kalau saja dia bisa jatuh cinta pada Fajar, dia rela menggantikan posisi Laras agar Laras mengejar bahagianya sendiri.

Mereka tidak sadar, di luar pintu kamar, seseorang sedang mencengkeram gagang pintu dengan kuat. Ada kilatan luka di matanya.

Perlahan, lelaki yang tak lain Fajar memutar langkahnya memakai tongkat dan berjalan tertatih, berusaha tak menimbulkan suara.

Ada Cinta di JogjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang