Cangkir #25 Bandung?

35 6 0
                                    

Bogor, Sabtu siang ...

Didit baru saja keluar dari Vios oren-nya, ia berjalan kaki terburu-buru menuju kosan Riri. Setelah sampai di depan pintu kosan Riri, Didit mendengar suara tangisan dari kamar sebelah. Ia hafal, itu kamar Ira. Tapi, Didit mengabaikannya karena ia tak ingin ikut campur.

Didit mengetuk pintu Riri.

"Siapa?" tanya Riri, teriak dari dalam.

"Gue."

Riri sudah apal dengan suara Didit. "Masuk, Dit."

Didit membuka pintu, lalu masuk ke kosan Riri. Di dalam kosan, Riri sedang tiduran dengan selimut menutupi seluruh badannya. "Masih sakit?" tanya Didit sambil duduk di tepi kasur.

"Iya, nih, gue masih sakit."

Didit memegang kening Riri. "Duh, masih panas. Udah minum obat?"

"Udah barusan," jawab Riri. "Jadi belanja ke bandung?"

"Males gue kalo sendiri."

"Ya, gimana? Gue-nya masih belum mendingan gini." Riri memegang keningnya.

"Gak usah dipaksain. Ditunda dulu belanjanya."

"Kok ditunda? Emang stok barang masih banyak?"

Didit tersenyum, lalu menggelengkan kepalanya. "Menipis. Hehe. Tapi, gimana lagi. Gue males kalo belanja sendiri."

"Ajakin mama kamu lah."

"Ya, masa gue harus jemput mama dulu? Jauh tau." Didit menyenderkan tubuhnya di tembok. "Gue nunggu lu sembuh aja. Kan, biasanya elu yang pinter ngasih saran."

"Ha-ha. Bisa aja."

Tiba-tiba, Didit jadi ingat suara tangisan di dalam kamar Ira. "Eh, Ri. Tadi pas gue ngelewatin kamar Teh Ira, gue ngedenger dia lagi nangis, lho. Kenapa, ya?"

"Masa?" Riri tak percaya. "Gue kan dari pagi tiduran mulu. Jadi gak tau."

"Yah. Tetangga yang payah."

"Seriusan? Emang sekarang masih nangis?"

"Tadi, sih, iya."

Sesaat Didit berhenti bicara, tiba-tiba Ira muncul di balik pintu kamar kosan Riri. Riri dan Didit kaget, mereka berharap Ira tak mendengar percakapannya barusan.

"Eh, Teh Ira," sapa Riri, cepat.

Ira kaget setelah ia masuk dengan hanya menggunakan baju tidur, ternyata ada Didit di dalam.

"Ada Didit juga? Kirain Riri sendiri."

Didit tersenyum malu. "I-iya, Teh."

Didit dan Riri melihat bekas tangisan di mata Ira. Ternyata benar, barusan Ira nanggis.

Sebenarnya, maksud kedatangan Ira adalah ia ingin curhat. Tapi, karena di situ ada Didit, jadi, Ira pura-pura menjenguk Riri.

"Ada apa, Teh?" tanya Riri.

"Enggak. Cuma mau ngeliat kamu aja. Udah sembuh apa belum. Soalnya dari semalem gak ngeliat kamu keluar kamar," jawab Ira, mencari-cari alasan agar tak malu.

"Masih sakit, Teh. Tapi, barusan udah minum obat, Kok."

Ira masih berdiri, ia bingung mau melakukan apa lagi.

Suasana mendadak hening.

"Teh," panggil Riri, memecah keheningan, "mau gak kalo sekarang teteh nganter Didit ke bandung buat belanja bahan? Soalnya kasian dia gak ada temennya. Aku kan masih sakit."

"Bandung?" tanya Ira, kaget, tiba-tiba diminta tolong untuk ke bandung.

"Iya, Teh. Gimana?"

**DDSK**    

Bandung, Malam minggu ...

Alian dan Dinan baru saja sampai di Hardcore Kafe, kemudian mereka ikut bergabung dengan Neto dan teman-teman di sebuah meja kotak. Alian kaget setelah melihat di atas meja ada empat botol minuman beralkohol yang sudah tinggal setengah.

Alian memerhatikan wajah-wajah orang di meja itu, hanya Cecep yang Alian tebak tidak minum.

"Mantap. Banyak pengahangat," kata Dinan, penuh semnagat, lalu mengambil segelas minuman itu, dan meneguknya sampai habis.

Kemudian Neto menuangkan segelas lainnya untuk Alian, tapi, secara tegas Alian menolaknya.

"Kenapa? Gak minum?" tanya Neto.

Alian menggelengkan kepalanya. Alian benar-benar tak menyangka, tujuan mereka itu sebenarnya mau manggung apa mau mabuk?

Di Kafe itu sangat berisik, karena salah satu band rock sedang tampil. Suasana sangat tak karuan bagi Alian. Ia semakin tidak betah, ditambah Dinan yang malah ikut-ikutan mabuk—tidak asing lagi bagi Alian Dinan suka mabuk.

"Yan, ayo minum dulu dikit. Biar manggungnya keren," tawar Neto lagi, menyodorkan gelas tadi.

"Udah, sini—" Gino mengambil gelas barusan, "—gue yang minum." Lalu menenggaknya sampai habis.

"Ayo kita minum, dikit aja," ajak Dinan.

"Jangan dipaksa," kata Bayu. "Takut pingsan. Nanti repot."

Hati Alian panas dengan sikap teman-temannya. Ia sudah tidak dapat mentoleransi lagi. Alian yang sedang berdiri, mendatangi Neto. Ia berbisik di telinga Neto, "To, gue mau ngomong sesuatu."

"Yauda ngomong aja," teriak Neto, karena di dalam Kafe itu sangat berisik oleh suara musik.

"Di luar. Bentar aja."

Neto setuju, ia berdiri, mengikuti Alian keluar. Dinan dan teman-teman yang lainnya masih asik menikmati sisa air di botol-botol itu.

Neto menyalakan rokoknya sesaat setelah sampai di parkiran. "Ada apa, Yan? Ngobrol kok harus di luar."

"Di dalem berisik gak kedengeran." Alian meminta sebatang rokok dari Neto, lalu menyalakannya.

"Iya, Sih."

Alian menghisap rokoknya. "Gue mau ngomong sesuatu hal yang penting."

"Apa? Serius banget."

"Memang hal yang serius."

"Apa?"

"To, sebelumya gue mau ngucapin makasih karena lo udah percaya dan ngajak gue buat gabung dengan band lo—"

"—bentar-bentar," potong Neto, cepat. "Kok, gue ngerasa ada yang aneh dengan kata-kata lo?"

"Gak ada yang aneh, cuma gue mau bilang gue mau berhenti dari band lo." Alian membuang nafas, lega.

Neto menggelengkan kepala. Menghisap rokoknya, mengepulkan asapnya ke udara. "Lo marah gara-gara hal barusan di dalam? Hah?"

Alian melambaikan tangannya. "Bukan, To. Bukan. Emang gue udah berniat buat keluar aja."

"Gak mungkin!" kata Neto, sedikit berteriak. "Atau lo mau ngancurin resputasi band gue? Saat waktunya kita maggung, lo malam minta keluar?"

"Enggak gitu, To. Malam ini gue masih manggung," jawab Alian, santai. "Setelah itu baru keluar."

"Sama aja!" Neto membuang rokoknya. "Kenapa lo gak bilang pas waktu kita kumpul? Biar gue bisa nyari gitaris yang bisa diajak apa-apa bareng. Dan yang pasti, gak ngundurin diri pas waktunya manggung."

Alian terdunduk. "S-sorry, To."

"Udah terlambat. Mendingsekarang gak usah jadi sekalian manggung!" 

**DDSK**   

Diterbitkan: 1 September 2018
Oleh: C. Sahetapi

Dua Dalam Secangkir KopiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang