Cangkir #5 Deja Vu

135 7 0
                                    

Seminggu kemudian ...

Hari ini sabtu pagi-pagi banget, Alian sudah siap mengawal rombongan Inagurasi menuju Pangandaran. Sedari tadi ia memperhatikan hiruk-pikuk panitia melakukan persiapan sambil menikmati kopi hitam tanpa gula di termos hitam kecil miliknya.

Empat bus sudah terparkir rapih di jalan depan fakultas bahasa. Beberapa peserta sudah ada yang berdatangan menggunakan Almamater biru tua kebanggaan. 200 lebih nantinya mahasiswa baru itu akan mengikuti acara Inagurasi ini yang bertujuan menjalin keakraban sesama mahasiswa baru.

Alian duduk di tangga depan fakultas bahasa. Wajahnya terlihat suram. Tentu saja, beberapa hari kemarin ia ribut dengan pacarnya, Ira.

Semenjak hari sabtu, minggu lalu, ia tak mengabari Ira, hubungan keduanya semakin memanas. Puncaknya ketika rabu malam mereka teleponan.

"Kamu, kenapa, sih, gak balas chat aku?" Tanya Alian setengah membentak.

"Kok, jadi kamu yang marah." Mungkin Ira merasa heran dengan sikap Alian yang tiba-tiba menelponnya lalu marah-marah.

Padahal Ira tahu betul, seharusnya ia lah yang marah karena jarang dikabarin oleh Alian.

Huh, begitulah cowok. Gak mau disalahin, dalam hati Ira.

"Jelas, lah, aku marah," kata Alian, "aku nge-chat gak dibales-bales. Maunya apa, sih?"

"Bukannya kamu, ya, dari kemaren-kemaren jarang ngabarin?"

"Kan, aku udah bilang, aku lagi sibuk persiapan buat acara inagurasi. Masa kamu gak ngerti-ngerti, sih!" Alian coba menahan dirinya sendiri untuk tidak terlampau emosi. "Aku gak mau berantem, ya!"

"Ya, tapi, seengganya ngabarin," pinta Ira, "walau cuma sekalimat pesan aja ...."

Alian merasa dirinya semakin terdesak. Dipikir-pikir, benar juga ia yang salah. Tapi, Alian tetap tak mau kalah. "Kamu gak tau kan dari kemaren aku sakit? Itu karena kamu gak perhatian lagi."

Tidak ada suara di ujung speaker hape Alian. Suasana hening.

"Halo ...," panggil Alian. "Halo ...."

Tiba-tiba terdengar suara isak tangis Ira di ujung sana. "Gimana aku tau kalo kamu sakit. Kamu ngabarin aja gak pernah!."

Ira langsung mematikan hape-nya. Tut-tut-tut ....

Alian hanya diam. Ia lemas. Di hatinya merasa menyesal marah-marah tidak jelas kepada Ira. Ia pun tidak mengerti kenapa dirinya bersikap seperti itu. Mungkin itu hanya pelampiasan dari permasalahan yang ada di dirinya.

Kesibukan mengurus acara, kuliah, ditambah kesepian hidup di kota orang menjadi pangkal permasalah yang ia rasakan.

Alian tersadar dari lamunannya tentang Ira. Ia menyeruput kopinya lagi. Ada ketenangan saat kopi itu masuk ke mulutnya.

Di kejauhan, Alian melihat Muki sedang mengobrol dengan seorang cewek di bawah pohon. Muki terlihat mencium kening si cewek, lalu si cewek itu pergi menggunakan sepeda motor.

Kok, ceweknya si Muki ganti lagi? Perasaan dulu bukan yang itu, kata Alian, dalam hati.

Muki yang melihat keberadaan Alian, mendatanginya.

Alian kembali meminum kopinya. Lalu ia melambaikan tangan ke Muki. Dari arah yang berbeda, Aep juga mendatangi Alian.

Dalam perjalanan, Muki teriak kepada Aep, "lo kenapa ngikutin gue, Ep? Jangan dulu geer, gue gak bakalan ngasih lo rokok."

"Enggak, A," jawab Aep, "enggak minta rokok ke Aa. Mau minta rokoknya ke paketu. Ha-ha."

Alian ikut berteriak, "iya, buruan sini, Ep. Gue punya rokok. Tapi, lo sujud dulu di kaki gue. Ha-ha."

Dua Dalam Secangkir KopiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang