Cangkir #14 Makan, Yuk?

38 5 1
                                    

Neto memulai obrolan di malam itu, "Gue tuh rencananya mau bikin band sama temen-temen kuliah, tapi masih ada satu posisi yang kosong, jadi gue minta bantuan Dinan buat nyari orang ngisi posisi itu."

"Iya. Dinan udah cerita," kata Alian, sambil menyenderkan tubuhnya di kursi.

Di atas meja kayu itu sudah ada segelas Lemon Tea dan sepiring Kentang Goreng milik Neto. Sebatang rokok pun masih mengepul di atas asbak yang terbuat dari kayu.

Dinan mengeluarkan rokok miliknya. "Gak ada kopinya, nih?"

"Oh, iya gue sampai lupa." Neto menepuk keningnya. "Gue gak nawarin makan."

"Kalo urusan sama musik, lupa sama makan."

"Ha-ha." Lalu Neto melambaikan tangannya ke seorang pelayan yang sedang berdiri dengan sebuah buku di tangannya, "Teh, mau pesen!"

"Akrab banget," kata Dinan.

"Gue kan sering makan di sini, Nan."

"Oh, pantes."

Pelayan wanita berpaikan putih itu pun mendatangi meja mereka.

"Silahkan, pilih," kata Neto ke Alian, sambil memberikan daftar menu yang ia terima dari pelayan. Neto juga memberikan daftar menu ke Dinan.

Alian membaca dengan teliti setiap menu di buku itu, Dinan pun demikian.

"Di sini cemilan paling enaknya pisang goreng. Kalo mau, cobain, deh," saran Neto.

"M-m, boleh juga." Alian menyimpan daftar menu di meja. "Sama kopi hitam, ya, Teh."

"Lo apa, Nan?" Tanya Neto.

"Gue nasi goreng sama ice capuccino aja. Soalnya belum makan, euy."

"Perasaan tadi sebelum berangkat makan ketupat tahu," celetuk Alian, cepat. "Kok, sekarang makan lagi?"

Dinan menyimpan daftar menu. "Kalo belum masuk nasi ke perut, itu namanya belum makan. Ha-ha."

"Ha-ha," Neto ikut tertawa. "Iya, udah ... udah. Pesen aja."

"Tuh, bener kata si Neto."

Alian menanggapi Dinan dengan tersenyum.

Neto mengambil daftar menu itu, lalu memberikan ke pelayan. "Udah dicatat kan, Teh?"

"Udah. Tunggu, ya." Kemudian ia berlalu dari meja itu.

"Oh, iya. Jadi gimana konsep band-nya?" Alian mulai mengembalikan obrolan ke topik utama.

Neto menghisap rokoknya. "Gue udah ada tiga personil; Bayu, keyboard; Cecep, Bass; Gino, Vocal. Nah, gue sendiri megang Drum."

"Mereka semua temen sefakultas kita," tambah Dinan.

"Jadi, kita kurang posisi gitar. Kalo lo bersedia gabung, besok boleh lah datang ke rumah gue," ajak Neto.

Dalam hati Alian: Wah, ini kesempatan bagus!

"M-m, boleh juga dicoba, nih."

"Iya, dong. Lo harus coba," dukung Dinan, menepuk pundak Alian.

"Nantikan besok Dinan bisa ngaterin lo ke rumah gue. Sekalian main. Ya, kan, Nan?"

"Siap!"

"Ha-ha. Kok lo yang niat, sih, Nan?" Neto geleng-geleng kepala.

"Kasihan, nih—" Dinan nunjuk Alian. "—temen gue galau mulu."

"Dih, siapa yang galau?" protes Alian. "Cuma sedang mencari suasana baru aja."

"Ha-ha," Neto tertawa. "Tenang, Yan. Gue temenin. Gue juga lagi galau."

"Tuh." Alian menunjuk Neto. Lalu ia menoleh ke Dinan. "Gue punya temen. Lo mau apa?"

Dinan menunduk. "Haduh, gue kalah kalo mainnya keroyokan gini."

"Ha-ha."

Malam itu, mereka bertiga menghabiskan waktu hanya untuk mengobrolkan hal-hal yang sebenarnya di luar dari tujuan mereka bertemu. Entah kenapa, mereka lebih asik membahas tentang permasalahan asmara dibanding masalah rencana nge-band.

Misalnya, Neto yang tiba-tiba curhat tentang masalah asmara dengan tunangannya yang membuat ia sering melampiaskan ke hal-hal yang negatif bareng Dinan, atau cerita Alian yang sedang menjalani LDR, menjadi bahan perbincangan yang hangat malam itu.

Alian merasa mendapat 'tempat' yang pas untuk bertukar cerita dengan Neto malam itu. Pembawaan Neto yang ramah, membuat Alian merasa tidak canggung untuk melepaskan sebagian bebannya.

Mereka bersepakat, dengan cara bercerita seperti itu, suatu saat mereka berhasil membentuk band, mereka akan dengan mudah jika harus menciptakan lagu. Setidaknya itu yang Alian utarakan untuk membuat malam itu bermakna—dan tidak menjadi tempat menggosip saja.

**DDSK**

Otak Alian masih ngebul setelah dua jam diisi dengan materi-materi kuliah Metode Pembelajaran Bahasa dan Sastra, ditambah, cuaca bandung yang panas. Ia berjalan cepat keluar fakultas menuju parkiran motor. Di hatinya kini hanya satu: tidur siang.

Siang itu terasa panas karena matahari bersinar begitu teriknya. Sesekali ia menaikan tangan kanannya untuk menutupi wajahnya dari sengatan sinar matahari. Alian semakin mengencangkan langkahnya melewati deretan mobil yang terparkir untuk segera cepat sampai di tempat ia memarkir motor jadulnya.

Kini ia melihat motornya yang terparkir di bawah sebuah pohon besar. Tatapannya fokus ke motor sampai–sampai ia tak memperhatikan sebuah mobil yang baru keluar dari parkiran hampir saja ia tabrak—ia, Alian yang hampir menabrak mobil. Dengan segera ia menghentikan langkahnya sesaat sebelum tubuhnya menghantam mobil itu.

Tiiiiidddddd!

Orang dibalik setir itu membunyikan klakson.

Alian tak berani mengomel, ia hanya menatap mobil itu untuk melihat siapa orang yang ada di dalam, tapi, ia tak bisa melihat karena silau oleh sinar matahari.

Alian pindah posisi, kini ia menepi untuk memberi jalan, tapi, mobil itu malah berhenti tepat di depannya. Kaca mobil pelan-pelan diturunkan. Alian bisa melihat jelas ada seorang cewek berbaju krim dengan kacamata hitam di kepalanya. Seketika Alian langsung memasang senyuman.

"Ngelamun?" Tanya tiba-tiba si cewek di dalam mobil.

"Mikirin kamu."

"Mulai gombal. Gak mempan. Udah basi yang kayak gitu mah."

"Serius."

"Mau ikut, gak?" Tanya nya, lagi.

"Kemana? Kalo cuma bawain barang mah males."

"Ha-ha," cewek itu tertawa. "Makan siang, yuk?"

Alian langsung terdiam.

Si cewek mengernyit. "Kenapa diam?"

Alian menggaruk telinganya. "Anggika, apa aku gak salah denger?"

Anggika tertawa. "Enggak. Kenapa? Emang salah?"

Alian membungkukan tubuhnya. Kini ia berada persis di jendela mobil. "Coba ngomong sekali lagi."

Anggika pun mencondongkan badannya ke arah Alian, lalu berbisik dengan halus, "makan siang, yuk?"

Tubuh Alian terasa melayang mendengar suara halusnya. Ia tak menyangka Anggika akan mengajaknya makan siang. Tanpa perlu waktu lama, Alian membuka pintu mobil itu, lalu duduk manis di samping Anggika.

"Makan di mana?"

Anggika memakai kacamata hitamnya. "Udah duduk aja. Gak usah banyak tanya."

"Siap, Bos!"

Mobil Anggika mulai bergerak meninggalkan kampus di siang yang panas. Dan siang itu, Alian ikhlas mau dibawa kemana pun oleh Anggika. Kemana pun.

Terserah kamu, Gi. Bawa aku kemana pun kamu suka.

**DDSK** 

Diterbitkan: 17 Maret 2018
Oleh: C. Sahetapi

Dua Dalam Secangkir KopiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang