Bandung, malam yang dingin, mau hujan ...
Alian berusaha menggeber motor jadulnya untuk mempersingkat waktu. Sesekali ia melihat langit yang tak berbintang. Ia berasumsi: kalo malam hari gak ada bintang, berarti langit mendung.
Sesampainya di lampu merah, ia memutuskan untuk melalui jalan pintas. Jalan yang menurut dia gak bakal macet.
Jangan hujan ... jangan hujan ...
Harapan yang terus diucap berulang malam ini di sepanjang perjalanan sambil menggas motornya yang kecepatannya hanya segitu-segitu saja.
Hingga untuk pertama kalinya, tetesan air hujan mengenai wajahnya. "Waduh, udah gerimis!"
Tetesan hujan itu berdatangan semakin banyak ... banyak ... dan banyak. Alian kehujanan. Di sepanjang jalan, ia tak menemukan tempat berteduh yang nyaman. Hingga sampai beberapa meter di depannya, ia menemukan sebuah halte ... dan ada seorang cewek berpakaian putih.
Tadinya, Alian sempat ragu untuk meneduh di halte itu karena dia takut melihat sosok cewek misterius yang duduk di pojokan. Seperti kuntilanak, pikirnya. Tapi, kalo ia tak segera berteduh, pakaiannya pasti akan basah.
Dengan perasaan takut dan ragu, Alian menepikan motornya di depan halte biru yang bertuliskan 'Bandung Juara'. Buru-buru ia berteduh ke dalam halte.
Cewek itu duduk di ujung kursi panjang, Alian duduk di ujung sisi yang lainnya. Mereka duduk berdua di kursi itu dengan jarak beberapa meter memimasahkan di antara mereka.
Alian membuka helm dan kacamatanya. Sesekali ia melirik cewek di sebelah kanannya. Menurut cerita, hantu itu kakinya melayang. Untuk membuktikan cewek itu hantu atau bukan, Alian melakukan riset.
Ia mengambil korek gas di kantong jaket, lalu menjatuhkanya. "Ups, jatuh. Ambil, ah."
Lalu ia merunduk untuk mengambil korek gas-nya. Dengan sedikit lirikan, ia memperhatikan kaki putih mulus yang di balut sepatu hitam itu. Dalam hati: Alhamdulillah, kakinya menyentuh tanah. Dia bukan hantu.
Untuk beberapa saat, hujan menjadi suara satu-satunya yang mengisi suasana dingin di halte itu. Mereka berdua hanya diam. Tapi, sebenarnya Alian tak diam, sesekali matanya mencuri pandang ke cewek itu.
Alian terus memperhatikannya. Ia mendapati cewek itu sedang menangis. Isakannya yang pelan membuat Alian hampir tak menyadarinya. Tangannya dilipat di badan, cewek itu kedinginan.
Dalam pikiran Alian langsung terlintas untuk meminjamkan jaketnya, tapi, dia berpikir lagi.
"Siapa gue? Pasti dia bakal nolak. Mending gue pake aja. N'tar kalo gue sakit lagi gara-gara kedinginan giamana?" Kata Alian, dalam hati.
Beberapa menit kembali bergulir, hujan tak menunjukan tanda-tanda akan berhenti. Alian kembali melirik cewek itu. Kali ini tubuh si cewek bergetar hebat. Ia sangat kedinginan. Hati Alian seperti terpanggil saat melihat orang lain kesusahan.
Dalam hati ia bicara lagi, "ah, mau gak mau gue harus ngasihin jaket. Lama-lama gak tega ngeliatnya."
Alian menaruh ransel, lalu ia membuka jaket. Ada sedikit ragu di hatinya. Matanya sesekali melirik untuk meyakinkan hatinya bahwa tindakannya itu benar.
Butuh waktu beberapa menit untuk ia yakin dan melakukan itu. Hingga sampai pada saat ia memutuskan untuk benar-benar melakukannya. Perlahan ia berjalan mendekati cewek itu, lalu berhenti tepat di depannya.
Hati Alian bergetar setelah dengan jelas melihat wajahnya; putih, manis. Sempurna. Tangan yang memegang jaket itu pun bergetar. Mulutnya susah berucap.
"Ada kuntilanak mirip bidadari," katanya dalam hati.
Aliam mendehem, lalu ia memberanikan diri untuk menyapa, "ha-hai. M-m ... pertama gue ngeliat lo, gue kira lo itu ... hantu. Tapi, pas gue liat kaki lo, kaki lo napak. Berarti lo bukan hantu ... lo manusia. Dan manusia kalo ujan gini pasti kedinginan."
Cewek itu memandang Alian, aneh.
Ada hening untuk beberapa detik.
Mereka beradu pandang. Alian gugup. Alian memperhatikan wajah manisnya, poninya yang acak-acakan, dan garis air mata di pipinya. "Oh, M-mm ...." Alian buru-buru menunjukan jaketnya. "Ini. Gue mau ... gue mau nawarin lo jaket. Tadi gue liat lo kedinginan."
Cewek itu melihat ke jaket, lalu kembali memandang Alian.
"Gue gak bermaksud apa-apa, kok," kata Alian. "Kalo lo gak mau juga, gak pa-pa. "
Cewek itu masih memandang Alian. Alian jadi salah tingkah. Jangan-jangan ini Alien yang nyamar. Atau begal motor modus baru.
"Ya-ya u-udah ... g-gue balik lagi ke pojok." Alian menunjuk ke pojok.
Cewek itu masih diam dengan tatapan yang tak lepas dari mata Alian.
Kok gue jadi merinding, ya?
Alian memutuskan untuk kembali ke tempatnya. Ia membalikan badan, tapi, tiba-tiba cewek tadi menarik kaosnya. Alian langsung mematung, ia kaget luar biasa. Benerkan, dia begal.
"A-ampun ...," ucap lirih Alian. "Ampun ...."
Alian membalikan badannya. Dengan cepat, cewek itu mengambil jaket di tangan kanan Alian lalu bergegas memakainya. Alian melongo melihat kejadian itu.
Cewek itu kembali melipat tangan sambil menunduk. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Hujan masih deras. Nampaknya Alian akan terjebak di halte itu untuk waktu yang cukup lama. Alian kembali ke tempat duduknya.
Di halte yang cahayanya redup itu, mereka duduk berdua dengan permasalahan yang berbeda-beda. Bagi Alian, hujan adalah sebuah memori sedih. Ia bisa mendadak galau kalau hujan. Cowok lemah.
Ia kembali teringat saat malam perpisahan setelah hujan itu. Itu saat tersedih dalam hidupnya. Ia harus pura-pura kuat di depan Ira, tapi, sebenarnya, saat ia pulang kerumah, air matanya tak mampu terbendung. Tak terasa ia menangis.
Untuk beberapa malam ia mengurung diri di kamar. Keluarganya sempat cemas. Ayah Alian yang bekerja di sebuah perusahaan swasta, meminta ibunya untuk memastikan keadaan anak pertamanya itu.
"Bu, coba liat Iyan. Ayah takut dia kenapa-napa. Udah dua malam selalu mengurung diri," kata Ayah.
Ibu yang sedang duduk pun menuruti perintah ayahnya. Ia pergi ke kamar Alian.
"Aa kenapa, Yah?" Tanya Fariska, adiknya Alian ke Ayah.
"Gak apa-apa, kok. Dia baik-baik aja," jawab ayah, menenangkan anak perempuannya itu.
Di dalam kamar, Alian melamun memikirkan hal-hal yang sebenarnya belum terjadi. Dia khawatir hubungannya dengan Ira akan berakhir. Dia cemas luar biasa.
"A, buka coba pintunya," suara ibu dari luar sana, "ibu mau masuk."
Dengan wajah yang mendung, Alian berjalan lemas membuka kunci, lalu ia kembali duduk di ujung kasur dengan wajah tertunduk.
"Kamu kenapa?" Tanya ibu. "Masih masalah yang kemaren?"
Alian mengangguk, lemas.
"Tenang aja, A. Jodoh gak bakal kemana. Jalan yang Aa pilih udah bener. Kuliah juga kan buat masa depan Aa." Sang ibu mengelus halus anaknya.
"Ayah, ibu, dan Iska juga ngedukung pilihan Aa. Jadi, aa harus bikin kita bangga. Masa cuma gara-gara perempuan Aa sedih. Kalo Aa sama Ira saling sayang, kenapa harus takut?" Ibunya dengan sabar mencerahkan otak Alian yang sedang mendung.
Alian hanya tertunduk sambil meyakinkan hatinya sendiri.
Setengah jam berlalu dari kejadian 'jaket' tadi, kini hujan mulai mereda. Tak terasa Alian yang larut dalam lamunan tentang Ira dan keluarganya, kini ia menggigil. Alian melipatkan tangannya untuk sekedar menghangatkan diri, walau itu tak cukup.
**DDSK**
Diterbitkan: 16 Agustus 2017
Oleh: C. Sahetapi

KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Dalam Secangkir Kopi
Romance[Cerita ini hanya dipublish di Wattpad oleh akun username-nya PENJAHITKATA, selain itu, COPAST dan PLAGIAT] ==Rank #11 dalam Kopi (241118)== **CERITA LENGKAP** Cerita dan Tokoh di dalam cerita ini adalah FIKTIF. Sinopsis: Sesuatu yang baru akan ter...