Cangkir #16 Latihan

33 6 0
                                    

Alian kini sedang duduk dengan sebatang rokok di mulutnya. Kaos putihnya basah dipenuhi keringat. Ia baru selesai latihan pertama bersama band-nya Neto.

Di halaman rumah Neto, kini hanya tinggal bertiga—Alian, Neto dan Dinan. Sekitar sejam mereka berlatih, bermacam genre lagu pun dimainkan, mulai dari yang slow, sampai yang Rock.

Awal-awal latihan, Alian terlihat canggung, tapi, lama kelamaan ia mulai terbiasa dengan rekan-rekan yang lainnya.

Halaman rumah tidak terlalu besar, ada empat bangku kayu dan sebuah meja bulat di sana yang dinaungi oleh pohon jambu air yang mulai mengeluarkan bunga-bunga tanda akan segera berbuah.

"Eh, Yan. Itu lo ada uban-an, ya?" tanya Dinan, tiba-tiba. Matanya fokus memperhatikan rambut Alian.

Alian memegang rambutnya. "Ah, enggak. Gue masih muda."

Neto tertawa. "Tuh." Ia menunjuk ke atas.

Alian dan Dinan sontak melihat ke atas. "Oh," kata mereka berdua, bersamaan.

"Gimana tadi, Yan? Enak gak maen sama kita?" tanya Neto.

Alian mengeluarkan asap dari mulutnya. "Lumayan. Kalo gue sering latihan sih kayaknya bakalan lancer."

"Yah, kayaknya kita gak ada waktu latihan lagi."

"Lho, emang kenapa?" tanya Alian, penasaran.

"Gini." Neto menyalakan rokok. "Gue udah sepakat buat manggung di C Café malam minggu sekarang. Ini semacam kesepakatan secara lisan, sih."

"Waduh, langsung manggung, nih?"

Neto mengangguk.

"Mantep tuh, Yan," sambar Dinan yang sedang menyeruput kopi hitam. "Cepet-cepetlah kalian jadi artis. Ha-ha."

"Tapi, kayaknya gue gak pede, deh, kalo langsung manggung."

"Yah, lo pasti bisa, Yan." Neto mencoba menaikan tingkat 'pede'-nya Alian. "Soalnya malu juga kalo harus ngebatalin ke si Om."

"Iya, ayo, lah, Yan. Lo bisa," tambah Dinan.

"Tuh, Dinan aja semangat banget."

Alian menghisap lagi rokoknya. "Gimana, ya ...." Ia tersemnyum hambar.

Dinan menepuk pundak Alian. "Ini kan yang elo cari, masa harus nyerah sih. Kesempatan gak datang dua kali, Bro!"

"Gue kalo main monopoli dapet kesempatan lebih dari dua kali malah," balas Alian dengan tertawa.

"Ha-ha. Bener juga lo, Yan." Neto tersenyum begitu lepas. "Tapi, Dinan bener. Ini kesempatan bagus, Yan. Ayo lah."

Alian menatap ke langit hitam dengan serbuk kelap-kelip. Entah kenapa, tiba-tiba nyalinya ciut saat ia langsung dihadapkan dengan sesuatu yang bernama 'manggung. Sudah hampir setahun lebih Alian tak manggung. Ia merasa harus mengumpulkan kekuatan dulu untuk menghadapai panggung itu.

"Yan," panggil Neto. "Udah lo gak usah mikirin hal-hal yang lain. Biar semuanya gue yang urus. Lo cuma tau tinggal petik aja tuh gitar. Beres."

Waduh, bener-bener baik nih si Neto. Padahal baru kenal, tapi, udah bisa memperlakukan gue kayak gitu, kata Alian, dalam hati.

"Maaf, nih, bukannya gue sombong. Gue kalo mau ngelakuin sesuatu, gak pernah nanggung. Mending sekalian basah dari pada setengah-setengah."

"Tuh, Yan. Dimana lagi coba lo bisa nemuin orang sebaik ini."

Alian hanya tersenyum menanggapi Dinan.

"Biasa aja kali, Nan—" neto menepuk kaki Dinan. "—jangan lebay kayak gitu."

Dua Dalam Secangkir KopiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang