Cangkir #31 Aep Kangen

35 7 0
                                    

Perut Alian sudah terasa kenyang saat ia melenggang meninggalkan kosan Salsa. Tapi, hatinya masih terasa lapar ... lapar akan rasa penasaran yang terus mengeroyoknya. Ia tak sabar ingin mengetahu kejadian sebenarnya.

Di perjalanan pulang, Alian masih menjumpai satu – dua orang yang masih melakukan olahraga. Tak pernah terpikir olehnya untuk melakukan olahraga—karena memang kurang suka olahraga.

Saat ia akan belok ke kosannya, ia berpapasan lagi dengan tukang balon tadi. Tiba-tiba di pikirinnya muncul perkataan si ibu yang bilang ke anaknya tentang 'menjaga balon'. Perkataan si ibu tadi seperti tamparan bagi Alian, "menjaga satu aja belum tantu bisa, apalagi punya dua, bisa-bisa terbang semua." ia menyimpulkan sendiri yang ia dengar dari si ibu.

"Bener juga, ya." Alian tersenyum melihat tukang balon itu. "Tapi, kayaknya balon gue udah terbang semua ...." Kemudian Alian melanjutkan perjalannya, masih dengan senyum yang sama ... senyum penyesalan.

**DDSK**

Gerimis sudah jatuh serentak, perlahan berubah menjadi hujan. Setiap menit hujan itu semakin membesar. Basah.

Alian masih menikmati batang kedua rokoknya. Sepulang dari kosan ia diam di kursi depan kamarnya. Di halaman, sudah sedari tadi terpakir mobil Dinan. Itu alasan Alian masih diam di luar, hingga ia sedikit basah oleh percikan hujan yang semakin deras.

Sesekali, Alian mengusapgelang anyaman pemberian Anggika di tangan kirinya. Gelang itu mengingatkanAlian ke kejadian malam itu, malam yang berkesan baginya. Dan kali ini iamerasakan kesedihan saat ia menyadari hubungannya dengan Anggika menjadiabu-abu. 

Di dalam lamunannya itu, Alian mendengar suara pintu kamar kosan terbuka, reflek, Alian langsung menengok. Keluar Dinan dengan hanya memakai kaos dalam putih, dan dua gelas kopi hitam kopi di kedua tangannya.

Alian menatapnya aneh.

"Ngopi belum?" tanya Dinan, mengangkat kedua gelas itu. "Gue perhatiin dari tadi di luar terus ujan-ujan."

Alian mencoba memasang senyuman. "Belum."

Dinan beranjak dari pintu kosan, duduk di sebelan Alian. Ia menaruh gelas-gelas itu di atas meja dekat asbak yang penuh punting rokok. "Yuk, ah, ngopi dulu dingin-dingin gini."

Alian merasa tak percaya dengan apa yang dilakukan Dinan. Hari ini ia berubah 360 derajat dari kejadian malam itu. "Rokok?" Alian menyodorkan rokok mild-nya.

"Ada." Dinan langsung mengeluarkan rokok miliknya. "Koreknya yang gak ada. Ha-ha."

"Kenapa, ya, dia?" tanya Alian, dalam hati. "Jadi beda gitu. Mungkin dia sadar kali."

Alian menyodorkan korek gas biru miliknya.

"Makasih." Dinan menyalakan batang pertama rokoknya. Menghisap dalam asap putih itu, lalu mengeluarkan perlahan.

Alian mengambil salah satu gelas kopi itu. "Makasih, ya." Kemudian meminumnya.

"Yan ... g-gue mau ... minta maaf," kata Dinan, terbata.

Alian menaruh gelas itu. "Buat?"

"G-gue minta maaf sikap gue malam tadi. Semalam gue—"

"—Oh," potong Alian. "Udah. Lupain aja. Salah gue juga, kok."

"Enggak, Yan. Gue yang salah."

"Nan—" Alian mencondongkan badannya. –Gue yang salah. Gue tiba-tiba minta keluar dari band-nya Neto, dan Neto mungkin merasa yang gue lakuin ini ... gak bener."

Dinan masih diam, menyimak penjelasan Alian.

"Ini semua adalah salah gue," tutup Alian.

"Tapi, gue minta maaf, Yan."

Dua Dalam Secangkir KopiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang