23

12.2K 1.7K 227
                                    

Kamar milik bocah itu hening.

Pasalnya, sang pemilik kamar tersebut sedang dilanda perasaan galau yang membuatnya terguncang.

Huang Renjun duduk diam di bangku dan menangkup pipinya sendiri dengan tangan di atas meja belajar berbahan kayu Jati yang seratus persen asli dan terjamin kualitasnya. Ia menatap pemandangan sore hari yang tersajikan lewat jendela di kamarnya.

Sungguh, ia tidak mengerti mengapa dunia ini tidak adil.

Untuk masalah perasaan, Renjun tentu sudah menaruh perasaan tersendiri bagi Lee Jeno sejak dulu. Sekedar informasi, ia benar-benar menyukai pemuda tersebut sampai-sampai tidurnya di malam hari selalu diwarnai oleh mimpi yang indah yang memusatkan Jeno sebagai pemeran utamanya---walau itu terdengar amat konyol di telinga segelintir orang.

Yang kedua, Renjun sudah benar-benar berbaik hati pada Jeno. Namun, apa? Ia sama sekali tidak memikat pemuda itu.

Sudah terlanjur---apa yang menjadi prioritas Jeno saat ini hanyalah Na Jaemin, Na Jaemin, dan Na Jaemin!

"Apa... menyerah saja ya?" Renjun bergumam sambil mendesah panjang. Jujur saja, ia masih ingin memperjuangkan perasaannya agar terbalas oleh lelaki yang ia puja selama ini. Tetap jika mengingat perihal Na Jaemin...

"Sialan," desis Renjun kasar sambil menendang tong sampahnya. "Bocah itu mengganggu saja, sialan!"

Sebenarnya, bocah Tiongkok itu ingin sekali menumpahkan segala desas-desusnya dan tangisan air matanya. Tetapi... dimana ia ingin menumpahkannya---ah, maksud ku, pada siapa?

Eomma-nya? Belum tentu beliau setuju jika anaknya tidak lagi straight. Na Jaemin? Untuk apa Renjun cerita padanya. Minhyung? Duh, Renjun harus menyingkirkan pendukung NoMin garis keras itu! Atau... Lucas?

"Omong kosong," Renjun berdecih sambil menjerit menggebu-gebu. "Mana mau si Kingkong lepas itu membantu!"

Lagi-lagi, kamar bocah bermarga Huang itu dilanda keheningan. Namun, kali ini yang terdengar hanyalah nafas Renjun seorang dan bunyi jarum jam yang berdetik. Kemudian, bocah itu menghela nafas berat.

"Why is love so complicated?" Renjun bertanya entah pada siapa. "What the hell is love, man?!"

Eomma, anakmu ini akhirnya tahu juga bagaimana rasanya galau, batin Renjun yang sejak dahulu dicap sebagai 'anak polos' oleh seluruh anggota keluarganya.

"Ah, sedari pada berkeluh kesah seperti ini terus, lebih baik aku mengerjakan PR fisika saja," katanya final.

Renjun pun membuka buku fisikanya yang hampir tak tersentuh di atas meja belajar. Ia sudah biasa melihat angka-angka yang rumit---baik desimal maupun pecahan. Fisika adalah bidang yang digemarinya. Bahkan, berkat pelajaran fisika di sekolahnya tersebut, ia bisa lebih mendekatkan diri kepada Lee Jeno yang ia kagumi...

SIALAN!

Renjun kembali menutup buku fisikanya dengan emosi yang tengah menguasai.

Kenapa otaknya selalu berpikir tentang Jeno, Jeno, dan Jeno melulu?! Bisakah untuk sehari saja, otaknya berhenti memikirkan pemuda bemrarga Lee tersebut? Oh, tidak. Renjun rasa hal itu tak akan pernah terwujud.

Tuh, 'kan. Ia seketika kembali teringat akan hari pertama mereka menjadi wakil dan ketua OSIS.

"Saat itu," ujar Renjun lirih sambil membanting kepalanya ke atas meja. "Jeno dahulu yang mengajak ku menjadi partner kerjanya."

Ya, hanya karena nilai ku yang sempurna setiap saat, batin Renjun sambil menendang tong sampahnya lagi. Entahlah, apa dosa sang tong sampah hingga membuat Renjun ingin menendangnya selalu.

Your Blood • Nomin ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang