21

12K 1.8K 114
                                    

Jeno tidak sadar waktu.

Ia tidak menyangka jika sekarang ini sudah waktunya pulang bagi murid-murid SMA sepertinya.

Tidak ada rapat OSIS, tidak ada kegiatan ekstrakurikuler. Yang ada hanyalah tempat tidur yang menanti untuk direbahi. Entahlah---Jeno merasa begitu lelah hari ini. Ia harus meminum banyak darah saat ia pulang nanti. Ku harap eomma akan menyisakan setidaknya segelas darah untuk ku, batinnya.

Tentu saja. Ia tidak meminum darah manusia. Konteks darah yang ia maksud di sini adalah darah hewan. Keluarganya selalu menyimpan stock di dalam lemari es.

Terkadang, eomma Jeno juga membawakan bekal dengan darah---namun wanita itu pandai mengelabui manusia dengan menyamarkan 'darah'-nya. Contoh saja, tteokbokki yang Jeno bawa tempo hari. Orang lain tak akan curiga bahwa kuah tteokbokki tersebut merupakan darah karena memang pada dasarnya, kuah makanan itu berwarna merah pekat.

Ah, aku jadi ingin makan itu, 'kan, batin Jeno sambil menjilat bibirnya. Tetapi mustahil---hari ini sang eomma pulang larut malam karena ada meeting bersama para boss.

Namun tetap saja.

Darah yang disamarkan sebagai kuah tteokbokki tersebut tidak sebanding dengan darah milik Na Jaemin yang baru saja ia cicipi siang hari tadi. Mengingatnya saja sudah membuat Jeno menyeringai sendiri.

Bocah itu, batinnya gemas. Selalu saja bersifat malu-malu tapi mau.

Pemuda bermarga Lee itu masih saja menyeringai saat kedua tangannya sibuk merapikan buku-buku dan memasukkan semuanya ke dalam tas. Tak butuh waktu yang lama bagi Jeno untuk membereskan semuanya.

Kemudian, ia pun keluar dari ruang kelas dengan senyum yang disamarkan.

Teman-teman sekelasnya sudah keluar dari kelas sejak tadi. Mengapa Jeno terlambat? Karena ia harus menunggu beberapa waktu dahulu, guna mencegah bertatap muka dengan anak-anak lain beserta wali kelas mereka. Apa kau lupa?---ia membolos pelajaran bersama Jaemin dengan memanfaatkan waktu berdua di dalam ruang UKS.

Sungguh waktu yang berharga, gumam Jeno lagi. Tetapi kemudian---

GREP.

---sebuah tangan kecil dengan agresif menarik Jeno menuju dirinya.

Hampir saja pemuda bermarga Lee itu terjatuh dengan tidak elitnya jika saja ia tidak bertumpu pada kaki kanan. "Yak! Berhati-hatilah, pabo!" Jeno pun menolehkan kepalanya menuju orang yang menariknya tersebut dan netranya segera menangkap sosok yang ia benci.

"Mwo? Kenapa kau ada di sini, pecundang?" Jeno berujar kasar, membuat Renjun sedikit berjengit.

"Bisakah kau tidak mengataiku, Jeno?" Suaranya bergetar, Jeno tahu itu. Renjun berusaha untuk menyembunyikan rasa takutnya dan itu kentara sekali. "Aku pun hanya ingin bertanya padamu baik-baik---that's it! Hanya itu saja!"

Jeno menghela nafas kasar. Ia tahu jika Renjun akan menanyainya seputar Jaemin. Bocah Tiongkok itu terlalu terobsesi padanya sehingga bertatap muka pun Jeno merasa malas.

"Kenapa kau membolos ke UKS tadi?"

Renjun bertanya dengan kepala yang mendongak. Tetapi pandangannya kabur entah kemana. Yang jelas, ia sedang tidak menatap Jeno saat itu. Ia benar-benar tidak ingin menatap kilat emosi di mata Jeno yang ditujukan padanya.

"Kenapa?" Jeno mengulang pertanyaan Renjun dengan nada sinis. "Ku rasa itu bukan urusanmu, wakil ketua."

"Oh, itu urusan ku karena aku suka padamu!" Renjun memperbesar volume suaranya sehingga bergema di seluruh penjuru koridor yang sepi. "Kenapa pula kau berduaan saja dengan Na Jaemin---bocah dungu dari kelas bawah itu?!"

Sadar telah salah berbicara, Renjun refleks menutup mulutnya dengan kedua tangan. Tidak seharusnya ia mengatakan kalau ia benar-benar melihat kejadian dimana Jeno dan Jaemin berduaan saja di UKS siang tadi.

"Kau," Jeno berkata dengan nada jijik. "Kau mengintip kami?"

Renjun tak tahu harus berkata apa. Jeno sedikit tidak tega saat melihatnya. Karena itu, ia menahan diri untuk tidak ambil urus dalam perihal mengintip---sebuah perbuatan tercela yang telah wakil ketuanya itu lakukan. Ia pun juga menahan diri untuk tidak meninggikan nada bicaranya.

"Haah, baiklah," Jeno menarik nafas kasar, lalu menghembuskannya pelan. "Aku tahu kau menyukaiku. Tapi aku juga tahu kalau itu hanyalah obsesimu belaka."

"Carilah yang sesuai denganmu, carilah pasanganmu sendiri. Kau tahu? Kau tidak memiliki kesempatan lagi. Aku ini lelaki yang payah dan mesum---Jaemin saja bilang begitu," Jeno pun memberikan jeda. "Lebih baik kau mencari orang selain aku yang bisa mengerti dirimu."

"Kau boleh memaki aku. Tetapi kau tidak boleh menghujat Jaemin-ku."

Jeno pun membalikkan badannya usai ia menekankan kalimat terakhir pada Renjun yang mematung di tempat. Tanpa berbasa-basi sedikit saja, Jeno pergi meninggalkan tempat itu. Sudah dibilang---ia muak dengan Huang Renjun.

Jika dia menyukai ku, seharusnya dia juga rela saat aku bahagia dengan orang lain, pikir Jeno sambil menghela nafas.

Sementara itu, di lain sisi, Renjun menatap kepergian sosok pujaan hatinya dan tertunduk lunglai.

Bocah Tiongkok itu tak kuasa lagi menahan tangisnya. Sebisa mungkin, Renjun mengecilkan volume suaranya. Ia tidak ingin orang lain tahu jika ia menangis. Karenanya, dia menangis dalan diam.

Bulir-bulir air mata membasahi matanya dan membuat pandangannya sedikit kabur. Baguslah---Renjun hafal jalan keluar dari sekolahnya. Tanpa melihat pun, Renjun tahu saat ini ia sudah berada dimana.

Tes.

Bersamaan dengan semakin sepinya lingkungan sekolah ini, hujan pun turun. Tetes demi tetes air jatuh membasahi rambut Renjun yang tidak terlindungi oleh sehelai kain pun. Bagus, pikirnya.

Jika hujan turun, maka orang-orang tak akan mengira jika aku menangis.

Semakin deras hujan yang turun, semakin deras pula air mata Renjun yang jatuh membasahi pipinya.

Bocah Tiongkok itu bahkan tidak sadar jika sebuah mobil mewah menghampiri dirinya. Mobil itu berwarna hitam legam dan sepenuhnya asing bagi Renjun. Sang pemilik pun membunyikan klakson-nya dan membuka kac---


Oh, sial.


"Yo, Huang Renjun! Kau kenapa?" Lucas bertanya dari dalam mobil yang ia buka jendelanya. "Butuh tumpangan, bro?"

Renjun menggeleng. "T-tidak, terima kasih."

Lucas pun berniat untuk turun dari mobilnya sambil meraih sebuah payung berwarna putih. Kemudian, ia berjalan menghampiri Renjun yang sudah sepenuhnya basah akibat derasnya hujan yang mengalir.

"Kau boleh menangis di dalam mobil ku," Lucas menunduk, mengusap air mata yang masih setia menggumpal di mata Renjun.

"Kajja, ayo pulang," Lucas meraih tangan Renjun yang segera menepisnya dengan sedikit kasar. "Wae? Memangnya siapa yang akan menjemputmu? Pangeran berkuda putih, huh?"

Renjun menggeleng lagi. "T-tapi, aku b-basahh," ucapnya dengan getaran seminimum mungkin.

Mendengar jawaban itu, Lucas pun tersenyum dan meraih tangan mungil milik Renjun lagi. "Aku punya sistem pengering otomatis di dalam mobil," ujarnya sambil menarik Renjun. "Jadi, kau memang harus pulang dengan ku."

Pemuda berdarah Hongkong itu membungkukkan badannya lagi dan berbisik pada Renjun. "Jangan menangis. Kalau kau tersenyum, kau jauh lebih manis."

Setelah itu, Lucas membukakan pintu penumpang dan menyuruh Renjun duduk di sana sementara ia berjalan kembali menuju bangku pengemudinya.

Sungguh hari yang tak terduga. []

.

.

.

—tbc.

Your Blood • Nomin ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang