Jaemin tertidur pulas.
Rasa sakit itu sudah tidak begitu mempengaruhi dirinya lagi berkat obat maag yang diberikan oleh sang penjaga UKS. Ibu penjaga itu sudah kenal baik dengan Jaemin yang walau tidak sering keluar-masuk ruangan berbau obat itu, namun alasan bocah manis itu selalu sama---apa lagi jika bukan maag yang kambuh.
Sudah sekitar satu jam yang lalu sejak Jaemin mulai memejamkan matanya dan berlabuh di alam mimpi. Pasti bocah itu tidak sadar jika Bu Irene---nama penjaga UKS tersebut---telah keluar dari ruangan tersebut di waktu yang sama.
Saking pulasnya, tidur Jaemin juga tak dipengaruhi oleh bau obat yang tersebar di penjuru ruangan. Tubuh kerempeng Jaemin juga tertutupi dengan sehelai selimut sutra berwarna putih yang semakin membuatnya nyenyak.
Ah ya, tentu saja.
Jaemin juga tidak sadar akan eksistensi sesosok makhluk tampan yang saat itu menatapnya dalam tenang.
Makhluk bernama Lee Jeno itu tidak berniat untuk mengganggu Jaemin sedikitpun. Kedua tangannya bertengger di tepi tempat tidur. Matanya terfokus pada wajah kekanakan Jaemin yang memiliki kesan innocent di dalamnya---padahal nyatanya tidak. Hidungnya juga tak dapat berhenti mengendus wangi manis dalam darah Jaemin yang ia cicipi kemarin malam.
Ah, omong-omong tentang kejadian semalam, Jeno pikir ia sudah kecanduan dengan darah Jaemin sejak malam itu.
Ia ingin sekali mencicipinya sekali lagi entah kapan waktunya. Ia ingin sekali bisa merasakan hangatnya darah manis bocah itu lagi dan lagi. Ia ingin melihat wajah cemas Jaemin untuk kali kedua. Ia ingin melakukan semua hal tersebut har---
"J-jeno...?"
Lelaki yang namanya dipanggil tersebut membulatkan matanya kala Jaemin mulai mengusak cairan yang keluar dari mulutnya selama ia tidur. Tampaknya bocah manis itu sudah bangun. Oh, astaga! Apa yang Jeno telah lakukan sehingga Jaemin bisa terusik seperti ini?
"M-maaf, aku menggang---"
"Tunggu. Aku yang tidur, kenapa kau yang mengiler?"
Sepertinya Jaemin memiliki hobi baru, yaitu memotong kalimat seseorang.
Tapi hal itu tidak Jeno perdulikan sekarang. Lelaki itu spontan mengusap area mulutnya dengan punggung tangan saat Jaemin bertanya sinis beberapa saat yang lalu. Benar saja---kenapa seuntai air liur menggantung di mulutnya padahal Jeno tidak tertidur? Apakah ini akibat dari membayangkan yang tidak-tidak tentang darah Jaemin?
Astaga. Jeno tak bisa lagi menahan rasa malunya dan dengan cepat membersihkan sisa-sisa air liur di bawah bibirnya.
"Sudah bersih?" Tanya Jeno.
Sebagai jawaban, Jaemin pun mengangguk. "Sudah," jawabnya. "Lagi pula kenapa kau ada di sini? Sakit juga? Memangnya seorang vampire bisa sakit?"
Jujur saja, tak ada satupun pertanyaan dari Jaemin yang memiliki jawaban 'iya'.
Tapi, Jeno tak akan berani menjawab tidak sebagai balasan atas pertanyaan Jaemin. Lelaki itu hanya mengangguk mengiyakan.
"Kalau begitu, sakit apa?" Jaemin bertanya lagi. Duh, jika Jeno sedang lapar, maka ia akan menghabiskan darah Jaemin saat itu juga karena bocah manis di hadapannya berhasil melampaui titik kesabarannya.
"Hmm," Jeno berpikir sebentar. "Kepalaku sakit."
Jaemin ber-oh ria. Sepertinya bocah manis itu sudah melupakan kejadian semalam yang masih menyisakan bekas luka di bibir Jaemin. Atau bisa juga ia belum benar-benar melupakannya, namun berusaha melupakannya. Jeno sadar akan hal itu karena Jaemin bertindak seolah ia tak memiliki hubungan apapun dengan si ketua OSIS tadi malam.
"Kau... kenapa?" Jeno memberanikan diri untuk bertanya pada Jaemin yang masih memegangi perutnya.
"Maag, seperti biasa."
"Oh. Ku kira bibir mu sakit lagi," Jeno terkekeh ria saat mulutnya mengatakan kalimat itu. Namun sayang---
"Jangan pikir aku melupakan kejadian semalam, Lee Jeno."
---Jaemin menanggapinya terlalu serius.
"Kau seharusnya menyesali perbuatan mu semalam," Jaemin melanjutkan ucapannya, membuat Jeno terdiam. "Menjijikkan sekali tingkah mu itu."
"Hei," Jeno berujar sambil mendekatkan tubuhnya ke arah Jaemin yang masih terduduk di tempat tidur. Kemudian, lelaki itu melanjutkan kalimatnya tepat di sebelah telinga Jaemin.
"Kalau boleh jujur, aku sama sekali tidak menyesal."
Jaemin membulatkan matanya ketika Jeno berkata seperti itu. Ah, lagi-lagi mata lelaki itu berhasil menyihirnya. Tanpa Jaemin sadari, tangan Jeno kini sudah menangkup pipi kanan bocah manis itu. Bibir Jeno juga sekarang hanya berjarak lima senti dari milik Jaemin, membuat empunya tidak nyaman dan menggeliat aneh.
"M-menjauhh."
Jaemin meminta, namun Jeno tidak menurutinya.
Laki-laki bermata bulan sabit itu malah semakin mengikis jarak sialan di antara keduanya. Jaemin semakin tidak bisa mengontrol degupan jantungnya yang beradu histeris seperti pacuan kuda.
"Na Jaemin, darah mu itu..." bisik Jeno pelan di telinga Jaemin. "Sayangnya telah menjadi candu bagi ku."
Kemudian, Jeno menaikkan tubuhnya ke atas ranjang dan menaruh tangan kirinya di pundak Jaemin dengan lembut sementara tangan kanannya membelai pipi Jaemin yang memang mulus pada dasarnya.
"Jeno, jangan."
Sebuah kancing dibuka.
"Ng?"
"Lee Jeno, ku mohon-akh!"
Kini permintaan Jaemin tinggalah berupa sebuah harapan yang tak mungkin Jeno kabulkan. Lelaki itu tengah menusukkan taring tajamnya di ceruk perpotongan leher Jaemin. Entah sejak kapan, tetapi Jeno telah membuka kedua kancing teratas Jaemin dan membiarkan tulang selangka bocah manis itu terekspos dengan lancangnya.
"Ah, sial!"
Jaemin menggeram tertahan ketika Jeno menyesap seluruh darah yang mengucur dari lubang buatan Jeno. Sungguh sayang, kini leher mulus bocah itu harus ternodai akibat serangan seorang vampire mesum bernama Lee Jeno. Tapi bohong jika Jaemin bilang ia tak menikmatinya. Karena nyatanya? Tangan kiri Jaemin meremas seprei ranjang hingga mengerut sementara tangan kanannya memegangi tengkuk Jeno.
Sungguh sebuah kemajuan, batin Jeno sambil terkekeh kecil dengan taring yang masih menancap.
"Yak! Jangan tertawa saat---JENO!"
Jeno tak lagi memberi kesempatan bagi Jaemin untuk mengoceh ria sebab lelaki itu menancapkan taringnya lebih dalam sehingga darah yang mengucur keluar lebih deras dari sebelumnya.
Jaemin tak tahan untuk tidak mengeluarkan air matanya. Ia berani bersumpah jika rasanya sakit sekali. Luka di bibirnya masih belum sembuh dan kini? Ia harus merasakan sakit yang lebih buruk di ceruk perpotongan lehernya.
Ketika gendang telinganya menangkap suara isakan kecil Jaemin yang menahan sakit, Jeno berhenti menusukkan taringnya dan menjilat leher Jaemin untuk menghentikan pendarahan. Kemudian, Jeno memeluk tubuh Jaemin yang malah memegangi area ceruk lehernya. Sungguh, rasanya seperti taring Jeno masih menancap di dalam sana. Jaemin merasa jika lehernya mengalami kram---padahal tidak.
"Aku minta maaf, aku kelampiasan," Jeno berkata selagi kedua tangannya memeluk Jaemin.
"Tapi,"
"Kau menikmatinya bukan?" Bisik Jeno sambil mengeluarkan smirk-nya yang membuat jantung Jaemin semakin memberontak lagi. []
×××
Vomment cintaqu♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Your Blood • Nomin ✓
FanficIn which Jeno couldn't get enough of his secretary's blood. © Rayevanth, 2018