Yuhu~ update lagi guys~
Sebenernya udah update dari dua hari yang lalu tapi kayanya gak ada notif ke kalian jadi aku republish. Soalnya ada juga beberapa yang nanyain jadi aku simpulkan kemarin error.
Happy reading!^^
~°~°~
Aku menatap wajah tenang Jisoo Oppa dengan kedua bola mata yang menatapku seperti seorang anak menunggu permen jatuh dari saku kakaknya. Aku menunduk, memainkan jemari yang terasa dingin. "Oppa... Aku tidak mau."
"Aku tidak bisa." Aku segera meralat dan menatapnya. Ia merengut, terlihat kecewa.
"Kenapa?"
Pertanyaan itu menjadi sangat menakutkan. Padahal jawabannya sangat sederhana, lebih sederhana dari rumus parabola pada pelajaran fisika. Ya ampun, apa-apaan ini?!
Aku kembali menghela napas. Sekarang kepalaku pening. Bibirku terasa kaku untuk bergerak. Tapi, aku berusaha keras untuk mengatakannya. "Tidak mau... Tidak bisa... Yang jelas aku tidak akan melakukannya. Oppa... Mengertilah."
Tetapi, Jisoo Oppa justru memberiku tatapan sengit. "Kau bukan orang seperti itu, (y/n)."
Aku mendesah frustasi sebelum akhirnya menarik selimut dan menjatuhkan tubuhku, menyembunyikannya dari Jisoo Oppa. "Aku tidak mau! Telpon saja Jihoon Sunbaenim dan katakan bahwa aku sakit. Atau buatkan surat. Atau apalah!"
Bagian ranjang di sebelahku turun, menandakan bahwa Jisoo Oppa duduk di sana. Ia perlahan merebut ujung selimut dariku dan membukanya.
"Kau sudah bersiap. Kau hanya perlu mengambil ranselmu dan berangkat. Apa yang sulit?"
Aku mengerucutkan bibirku. "Yang sulit itu bertemu Soonyoung, Wonwoo apalagi!"
Jisoo Oppa menghela napas. Ia sepertinya telah kehabisan akal untuk membujukku pergi ke kantor karena ia sudah melakukannya selama setengah jam tanpa hasil. Aku juga tidak tahu kenapa, aku hanya tidak ingin pergi. Kakiku terasa berat untuk melangkah.
"Kau tidak biasanya menghindari masalah. Jangan seperti ini," ujarnya. Tangannya meraih tanganku dan menggenggamnya. "Meski kau menghindar sekarang, kau akan tetap menghadapinya di kemudian hari. Kau tidak bisa menghindar setiap hari, kau hanya akan menundanya."
"Tapi-"
Aku ingin protes. Aku ingin mendebatnya. Tapi aku tidak bisa. Sialnya, otakku menyadari bawa kalimatnya benar.
Aku menghela napas pasrah sebelum akhirnya bergerak duduk. "Tapi antarkan aku. Dan pastikan kau menjemputku tepat waktu sehingga aku tidak perlu bertemu Soonyoung atau ditawari tumpangan oleh Wonwoo."
"Aku berjanji," ujarnya. Tangan kanannya menyentuh dada, sementara tangan kirinya terangkat.
Aku tertawa pelan. Untuk kali ini, dia tidak hanya berhasil meyakinkan dan menenangkanku, tapi juga menghiburku. Sedikit.
Jisoo Oppa mengusak rambutku dan tersenyum. "Ambil ranselmu dan mari ke dapur. Aku sudah membuat sarapan."
Aku menghela napas, mendadak kembali murung. "Wanita macam apa aku ini? Harusnya aku yang merawatmu, memasak, atau membersihkan rumah. Tapi keadaan terbalik, kau yang memasak, kau yang merawatku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Brother in Law [Seventeen Imagine Series]
Short StoryHighest rank - #36 on Short Story 180818 #7 Imagine "Aku akan tetap tinggal. Aku tidak tega meninggalkan (y/n) sendirian di rumah. Abeoji, tolong biarkan aku menjaga (y/n) seperti apa yang Yoora inginkan." Kalimat itu merubah segalanya. Kalimat itu...