Ch 30 - Fatal

498 66 5
                                    

Natsu Dragneel

Selama delapan belas tahun hidupku, terlalu banyak kenangan yang sudah aku lewati. Mulai dari yang indah dan aku harap untuk selalu tinggal didalam benak, hingga yang buruk dimana aku harap tidak akan mengalaminya untuk yang kedua kali.

Pertemuan dengan Nala Ergane bertahun-tahun yang lalu, yang aku sudah lupa kapan tepatnya, mungkin tidak bisa menjadi kenangan indah maupun buruk, maksudku biasa saja. Nala yang saat ini berstatus sebagai mantan kekasihku, dulunya adalah gadis yang paling aku percaya.

Mungkin pertemuan dengannya memang tidak masuk kategori kenangan indah dalam kamusku, namun kebersamaan yang aku lewati dengannya selama bertahun-tahun, sangat tidak pantas jika aku kategorikan sebagai kenangan buruk.

Nala merupakan salah satu memori terindah yang aku punya.

Dulunya aku berpikir, Nala adalah cinta pertamaku yang berjalan dengan lancar. Maksudku, memangnya kapan lagi ada cerita tentang cinta pertama yang berjalan sesuai keinginan layaknya aku dan Nala? Tapi, yah, itu dulu. Sebelum aku mengetahui fakta bahwa ada seorang gadis yang sudah lebih dulu mengenalku sebelum aku bertemu Nala.

Aku selalu berharap akhir yang bahagia untuk kami berdua, berpacaran sampai nanti kami menyelesaikan study di perguruan tinggi, mendapatkan pekerjaan, kemudian menikah dan hidup bahagia. Terdengar seperti remaja puber yang baru jatuh cinta? Biarkan saja, aku tidak peduli. Memalukan memang mengatakannya, namun itu adalah fakta. Dan semuanya justru berawal ketika hubungan kami berakhir, Nala menyimpan rahasia dariku, mempertaruhkan perasaanku yang kemudian menyakitiku tanpa ampun. Aku tahu dia menyesal, tapi bukankah penyesalan memang selalu datang diakhir.

Seharusnya, sejak awal tidak perlu ada ikatan saja, jika pada akhirnya aku terluka.

Bersahabat dengannya terasa lebih indah ketimbang saat aku memutuskan menjadikannya kekasih.

Sesungguhnya, bohong besar jika aku mengatakan aku hanya mencintai Nala satu-satunya. Ada satu gadis lagi yang akhir-akhir ini masuk kedalam kehidupanku, mengacaukan hariku yang damai. Dengan sikapnya yang malu-malu, yang sangat gampang tersipu hanya karena godaan kecil yang aku lancarkan. Gadis dengan rambut pirang dengan kebiasaannya menggigit bibir ketika gugup, yang bahkan hampir membuat pertahananku lenyap. Gadis dengan senyum manis dan selalu berhasil membuatku ingin terus menggodanya, gadis yang entah bagaimana terlihat sangat mempesona hanya karena setelan kasual. Gadis yang beberapa waktu lalu menangis dalam pelukanku karena seseorang menakutinya dengan boneka voodoo. Aku harus mengakui, jika aku lupa kapan tepatnya, perasaan ku pada Nala sudah lama terbagi dua. Yang bahkan Nala sudah mengetahuinya.

Lucy adalah sahabatku semasa kecil, sebelum aku bertemu dengan Nala dan Gray. Gadis yang sama dengan gadis yang menatapku marah ketika aku menanyakan nama belakangnya, yang kini aku sadari jika dia hanya takut aku akan membencinya saat tahu nama belakang keluarganya. Sesungguhnya tidak, ketika melihat banyak sisa kenanganku dari masa lalu bersamanya, bukannya membencinya aku justru merasa bersalah. Aku sudah membuatnya menderita, menjadi gadis yang kesepian.

Aku sudah akan menjadikannya sebagai gadis yang mungkin akan mengisi hari-hariku nantinya, sebelum aku mendengarkan fakta yang membuatku terkejut setengah mati. Rasanya seperti jatuh dari sepeda, mengalami luka memar dibagian kepala, lalu diobati. Ketika luka itu belum sembuh, aku justru mengalami kecelakaan lagi, membuat lukaku terbuka kembali dan parahnya lagi, obat yang sama tidak berguna untukku. Aku butuh pelampiasan, aku butuh seseorang yang harus disalahkan karena sudah membuatku berkali-kali terluka.

Gadis didepanku menatap dengan sorot yang tak mampu aku baca, entah dia bersalah, merasa sedih, atau apa? Aku tidak paham. Yang aku lakukan hanya mencengkram kedua bahunya dengan erat, memaksanya mengulangi fakta yang justru akan melukaiku, lagi.

"Juvia, katakan. Apa benar yang Lucy lakukan padaku karena sebuah taruhan?"

Juvia didepanku mulai terlihat takut, aku tidak bisa menahan emosi yang kini memberontak untuk dilampiaskan. Bagaimana aku menjelaskannya, sakit yang tidak terdefenisikan ini sungguh menyiksa. Menusuk hatiku tanpa ampun, menghancurkan kepercayaan dan perasaanku dengan perlahan dan menyiksa.

"Natsu-san," Dia memanggil namaku dengan sangat hati-hati. "Semuanya tidak seperti yang kau pikirkan. Katakan..." Air mata mengalir dari kedua sudut matanya yang memiliki warna seterang rambut panjangnya. "Siapa yang mengatakan omong kosong seperti ini?"

Aku mendesis marah, bagaimana mungkin omong kosong bisa membuatnya setakut ini? Ada sesuatu yang tajam seolah menghujam jantungku.

"Aku tidak peduli." Ucapku dengan tajam, kedua tanganku mencengkram bahunya semakin kuat, membuat Juvia mulai mengerang menahan sakit. "Sungguh, bagaimana bisa? Taruhan macam apa yang kalian sembunyikan? Dan... dan lagi, Lucy? Nala?"

Aku tidak menyangka jika sehina itu diriku sampai mereka mempertaruhkan perasaanku hanya untuk menutupi masa lalu suramku, yang tentu tidak terlalu aku pedulikan. Tapi tentang perasaanku yang dipertaruhkan? Aku mungkin brengsek, namun tidak seharusnya aku dijadikan seperti ini, kan?

Aku menghela napas dengan kasar, tidak mengerti dengan kemarahan yang kini semakin bertumpuk bersama rasa sedih yang datang bersamaan. Aku terluka. Cengkramanku di bahu juvia dilepas secara paksa, dan mendapati Gray yang menarik Juvia untuk berdiri dibelakangnya, kemudian menatapku tajam. Aku berdiri dan balik menatapnya tak kalah tajam.

"Kau boleh bertanya, tapi jangan berani menyakitinya." Aku tahu Gray tengah marah, dan aku tidak peduli. Aku memilih menatap Juvia kembali yang kini menangis tersedu dibelakang Gray, kedua tangan menutupi wajahnya, dia terlihat sangat sedih. Ck, kenapa justru aku yang seolah menjadi antagonis disini?

"Katakan semuanya Juvia." Gadis itu masih menangis, membuatku kehilangan kesabaran. "Katakan!"

Gray mendorongku sedikit mundur, membuatku mengeluarkan tawa sinis. Sungguh, aku sangat ingin menghajar seseorang saat ini.

"Ini yang terakhir," Ucapku pada akhirya, mencoba menyerah dengan kebisuan Juvia.

My WillTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang