Teman Lama

3K 146 10
                                    

Entah setan apa yang merasuki pikiranku kali ini, dengan sengaja akupun mengirimkan lokasiku saat ini padanya, berharap dia menyadari apa yang dilakukan disini tanpa aku sudah menyakitkan.

Kring, kring...
"Ay, kamu di Jakarta? Serius?"
Ada keterkejutan dari suaranya yang dibuat setenang mungkin.
"Hmmm, iya"
"Kok gak bilang, ini lagi dimana? Kebetulan aku lagi di daerah ini, bisa ketemu kan, mas kangen"
"Hmmmmmm, maaf mas, aku lagi sama Ayah, sama teman-teman Ayah, lagi ngomongin kerjaan, besok aja ya ketemunya." Ada getar kecewa saat aku mengatakan itu, aku mencoba menahan tangisku, merelax kan sesak yang menghimpit dadaku.
"15 menit saja Ay, boleh kan? Mas kangen sama kamu. Tunggu mas ya, sejam lagi mas sampai kok, maklum lah macet."
"Iya aku tunggu disini."

Sakit, perih, 1 jam lagi sampai??? padahal jarak kami saat ini tidak lebih dari 300 meter, aku bisa melihatnya di lantai 1. Sejelas aku mendengar suara tawanya dengan wanita itu.

Akupun memutuskan menghampiri Ayah, dan kulihat ada satu sosok lagi yang bercakap-cakap akrab, namun aku tidak bisa melihat siapa dia, hanya punggung tegapnya yang nampak.

"Yah, masih lama kah?" Sapaku tiba-tiba, dan aku yakin Ayah maupun pakdhe Widodo kaget melihat raut muka sedihku.
"Eh ini Retha sudah datang, kenalkan nduk, ini aa Hendry, anak kedua pakdhe."
Akupun menoleh pada sosok yang ditunjukkan pakdhe Widodo.
"Bang hendry??"
"Etha??"
Kami berdua terkejut. Kemudian saling menjabat tangan.

"Lho sudah saling kenal ya? Ayah kira belum?"
"Iya Di, ternyata mereka sudah akrab gitu."

"Bang hendry ini teman dunia maya mbak Yah, kami dulu sering telpon bahkan chating sampai tengah malam, iya kan bang?
"Iya pah, om, Retha sm Hendry sudah lama juga tidak komunikasi, 2 tahun lebih kayaknya. Hendry kenal Retha dari sejak dia mahasiswa ya dek?"
"Iya bang"
"Gini Yah, dulu mbak kenal bang Hendry lewat sosial media, terus pas mbak ada kunjungan kerja ke Bandung, kita sempat ketemu, tapi cuma 30 menit ya bang? Karena abang harus kembali ke kantornya dan mbak juga harus kembali ke surabaya sama rombongan teman-teman Yah."
"Ohhhhh gitu...." Ayah dan Pakdhe Widodo kompak menjawab sambil tersenyum.

"Gini A' , papah mau kenalkan kamu ke Retha, siapa tau cocok, umur Aa udah tua, masa mau membujang terus. Gimana?"
"Mmmmmm maksudnya?" Jawab kami bersamaan
"Saling kenal dulu mbak, kalau cocok lanjut, kalau tidak ya bisa bersaudara kan?" Giliran Ayah yang angkat bicara

"Tapi kan Ayah tau kalau aku sudah di lamar Yah, meski..... oh iya bang Hendry juga udah punya cewek kok, cantik lagi, iya kan bang?"
"Hehehehe, kami sudah lama bubar dek, abang tidak bisa maksain diri sama dia terus."
"Oh...."

"Jadi gimana? Mau di coba dulu?" Kali ini pakdhe widodo yang angkat bicara.
"Bolehhhh..." jawab kami kompak lagi sambil tertawa...

Setidaknya aku bisa melupakan kesedihanku sebentar, melupakan pengkhianatannya. Bang Hendry baik, ramah, sholeh, dan ganteng banget. Tidak ada salahnya aku mencoba dekat lagi, toh Ayah dan pakdhe sudah seperti saudara. Setidaknya bang Hendry bisa jadi sahabat atau mungkin kakak buatku.

Kamipun larut dalam candaan, makan siang/sore sama-sama sambil bercerita. Tak lama kemudian.

"Ayo balik ke hotel mbak, Ayah mau nyiapkan bahan buat besok." Ajak Ayah kali ini.
"Iya yah sudah sore juga."
"Ya sudah, biar kami yang antar ya, sekalian jalan." Kata pakdhe Widodo.
"Pakai mobil Aa aja pah,"
"Iya tadi juga papah kesini pakai taxi, sengaja. Hahahaha"

Kamipun turun, Ayah dan pakdhe Widodo jalan bersama, sedang aku di belakang beriringan dengan bang Hendry.
"Cowokmu orang mana dek?"
"Makasar bang."
"LDR dong kalo gitu?"
"Iya sih bang, cuma dia kerja di Jakarta sini."
"Ohhhh...."

Dan tiba-tiba di depan kami.
"Permisi Yah, gimana kabar Ayah?" Dia pun menyapa Ayah, sambil melirikku tajam.
"Lho mas Maven, kabar Ayah baik, kok disini juga? Janjian ya?" Goda Ayahku.
"Iya tadi Etha telpon katanya minta di ajak jalan-jalan dan suruh jemput disini Yah."

Entah perasaan apa, aku melihat sorot mata emosi, benci dan marah, sama seperti kejadian beberapa bulan lalu saat dia mendapatiku di antar cowok lain pulang ke kontrakan.

"Eh iya mas, kenalkan ini bang Hendry, anak pakdhe Widodo"
"Ijin let"
Lho mereka sudah kenal? Oh iya aku lupa, bang Hendry ini kan satu korps sama mas Maven.
"Iya, kamu pacarnya Retha? Bukannya kamu sudah menikah ya?" Pertanyaan bang Hendry membuatnya terdiam sesaat.
"Ijin let, saya sudah pisah dengan mantan istri."
"Oh. Oke,"

Kemudian bang Hendry berbisik lirih di sampingku.
"Hati-hati dan jaga diri ya dek, kalau ada apa-apa kabari abang."
Akupun hanya mampu mengangguk.

Dan kali ini aku memisahkan diri dari rombongan, aku mengikutinya, yang menggenggam tanganku namun terkesan meremasnya.

"Jadi ke Jakarta mau janjian sama cowok lain ya? Makanya tidak kasih kabar."
"aku ada rapat besok, tadipun tidak sengaja kok, ternyata Papanya bang Hendry teman lama Ayah."
"Dijodohkan?"
"Ehh,, enggak.."
"Ingat Ay, kamu calon istriku, meski letnan Hendry atasanku, aku tidak akan melepaskanmu. Ingat itu!"

Akupun kembali membisu, tatapannya tajam mengancamku. Ya itulah sifatnya, egois, pemarah.
Dan kali ini aku hampir melupakan apa yang dia lakukan tadi dengan wanita lain di depan mataku.
Kembali sesak itu hadir, dan kemudian tiba-tiba tangan hangatnya mengusap air mata di pipiku.

"Aku cuma tidak mau kehilanganmu Ay, maaf jika aku terkesan memarahimu."
Aku hanya bisa mengangguk, sedang hati ini terlanjur sakit.

Ijinkan Aku Mencintai SuamimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang