TERTIPU

3.2K 161 9
                                    

Kali ini kami hanya diam, hening dalam perjalanan kembali ke hotel tempat Ayah dan aku beristirahat. Mas Maven sengaja mengantar aku, bahkan dia bersedia menemaniku menyiapkan bahan presentasi untuk esok hari.

"Aku ke atas dulu ya mas, mas mau tunggu disini atau giman?"
"Mas ikut ke atas ya, mas mau nemenin adek nyiapin semua, boleh kan ayank? Mas masih kangen adek." Diapun mengeratkan pelukannya di pinggangku.
"Iya.."

Akhirnya sampailah aku di kamar, ya, mas Maven ikut masuk berdalih dia masih merindukanku, dan akan membantuku menyiapkan bahan presentasi besok. Akupun takut, kejadian 6 bulan lalu masih teringat, terekam jelas, bahkan aku lebih banyak menghindar. Karena aku tau, bagaimana kasarnya dia saat cemburu. Dan untuk keamanan, jelas aku memilih membuka lebar-lebar pintu penghubung kamarku dengan kamar Ayah.

"Assalamu'alaikum Yah, mana bahan untuk besok Yah?? Biar mbak siapkan semuanya." Akupun permisi masuk ke kamar Ayah, itu semua jelas untuk menghindari nya perlahan.
"Itu yang di samping laptop Ayah mbak, oiya masnya ikut kesini ya?"
"Iya Yah, gak apa-apa kan Yah? Biar pintu penghubungnya di buka saja Yah, takut kenapa-kenapa."
"Oh, iya buka aja mbak, sini biar Ayah ngajak masnya ngobrol ya?boleh gak mbak?"
"Hehehehe, boleh Ayah sayang."

"Mas, itu dicari Ayah, biar aku siapkan bahan presentasi dulu ya. Oiya jangan ajakin Ayah ngrokok ya, Ayah sudah libur rokok, takut paru-paru nya kambuh."
"Iya Ayang, mas ke tempat Ayah dulu ya.." pamitnya sambil memelukku sebentar dan mencium rambutku. Sempat dia berbisik lirih namun aku masih jelas mendengarnya "seandainya kamu tau dek, aku tak bisa menahan semua ini untuk segera memilikimu, tapi aku tidak tau kapan aku bisa mewujudkan semua, aku takut kehilanganmu."

Aku hanya mampu mematung memikirkan apapun yang sudah aku dengar tadi, tak terasa air mata ini menghangat di pipi. Seandainya kamu lebih bisa jujur dan setia, mungkin pertemuan kali ini menjadi indah, melepas rindu dengan yang tercinta, merencanakan masa depan bahagia, meminta restu semua pihak. Dan,,itu hanya akan menjadi mimpi saja, harapan yang entah sejak kapan namun semua seakan menguap bersama kesakitan hati yang berkali-kali melihatmu mendua dan berdusta.

Waktu sudah menunjukkan pukul 6.00 sore, adzan maghrib sudah berkumandang, Ayah mengajak mas Maven ke masjid istiqlal, dan akupun ingin ikut shalat berjamaah disana. Selepas shalat, kami sengaja menikmati makan malam di kaki lima dekat  masjid istiqlal. Banyak yang mungkin sudah Ayah bicarakan dengan mas Maven, melihat raut muka yang sedikit suram dan kecut, aku yakin Ayah tengah menanyakan banyak hal tentang kelanjutan hubungan kami.

"Mas, habis ini mau ikut kembali ke hotel apa pulang?"
"Emmmmm, mas mau lembur lagi ay, gak apa-apa kan kalau mas cuma bisa nganter aja. Besok sore sepulang dinas mas jemput lagi ya, mas mau ngajak kamu ketemu seseorang."
"Siapa mas??? Arya kah? Ihhh aku kangen banget sm jagoan ku."
Entah kenapa aku begitu gembira, bersemangat menyebut nama anak dari lelaki yang aku cintai ini.
"Iya, pasti seneng dia ketemu Mamahnya."

Dan kamipun berpisan di lobi hotel, dia mengecup kepalaku lama, hangat dan aku sangat menyukainya.

Sepeninggalan mas Maven, aku seperti mendengar seseorang memanggil namaku.
"Tha, retha."
Akupun menoleh dan mendapati 2 orang lelaki jangkung bertubuh tegap menghampiriku.
"Lho bang Hendry kok bisa sama Mas Nur kesini nya?"
Yang ditanya malah meringis.
"Tadi gak sengaja ketemu Bang Nur di parkiran dek, eh gak taunya sama-sama mau ketemu adek, hehehehe" celetuk Bang Hendry.
"Oh, oiya bang, kenalkan Mas Nur ini sepupu Retha, anak dari pakpuh Napsul kakak pertamanya Ayah."
"Oh, kebetulan dong, jadi sodara besar AU dong nanti dek, hehehehe."

"Kalian ini ndak sopan kok, wong tuo di kacangi ngene, opo aku mulih ae, ganggu wong pacaran koyone iki." (Kalian ini tidak sopan, orang tua tapi tidak di anggap seperti ini, apa masmu ini pulang saja daripada menganggu orang pacaran seperti ini)

"Eh maaf kakang Mas ku, hehehehe..." akupun bergelayut manja di lengan kokohnya mas Nur ini.
"Siap bang, maaf" jawab bang Hendry tegas.
"Hehehehe, iyo ora opo-opo, tapi tak sawang-sawang cocok lho wong loro iki." (Iya tidak apa-apa, aku perhatikan kalian berdua sepertinya cocok)
"Siap bang, doanya biar Retha mau menerima perjodohan kami, tapi sepertinya hatinya masih sama yang itu bang."
"Jangan terlalu pesimis, Allah maha membolak balikkan hati, sopo ngerti adekku iki sadar sak marine krungu info penting iki."
(Siapa tau adik kesayanganku ini akhirnya tersadar setelah tahu informasi penting ini)
"Ke restaurant sana aja yuk Bang, Mas, biar enak ngobrolnya."
Dan kamipun menuju sisi kanan restaurant hotel, memesan kopi, memikmatinya dan bercengkrama lebih lama lagi.

"Bang, info penting apa sih?" Tanyaku
"Sabar, enteni kopi sik. Bener ora Hen?" (Sabar, tunggu kopinya datang dulu, betul tidak Hen?)
"Siap bang."
Hufttt, lelaki mah gitu, molor-molorin waktu biar makin penasaran.

"Dek, sudah lama kenal Maven?" Tanya bang Hendry tiba-tiba
"Setahun bang, itupun kan LDR, setau adek sih dia sudah duda sekarang."
"Uhuk uhuk..." tiba-tiba mas Nur tersedak kopi dan segera meminum air mineralnya.
"Pelan-pelan mas, kayak apa aja sampe tersedak gitu" akupun berusaha menepuk punggung kakak sepupuku ini pelan.
"Info teko sopo yen wis dudo nduk?" (Info dari siapa bila dia sudah resmi duda?)
Kali ini pertanyaan Mas Nur membuatku terdiam, kaget, bingung.
"Maksudnya mas?" Tanyaku terbata karena perasaan ini mulai tidak nyaman.
"Adek, adek dapat info dari siapa kalau Maven sudah duda? Sejauh apa adek tau tentang masalah dia dan keluarganya?" Terang bang Hendry.

Akupun menceritakan semua tentang aku dan mas Maven, dari awal kenal hingga sekarang, bahkan tak satupun kenyataan yang coba aku sembunyikan, terlebih soal istrinya yang menemuiku beberapa bulan lalu.

"Jadi dia yang bilang kalau sudah cerai?"
"Dadi wong wedok ojo gampang percoyo wong lanang nduk, pancen wis kodrate tentara iku berkharisma, iso gawe prawan-prawan klepek-klepek sampe ora sadar yen diapusi." (Jadilah wanita yang tidak mudah percaya pada lelaki, karena sudah kodratnya jika tentara itu berkharisma, bisa membuat gadis-gadis jatuh hati hingga tak sadar dia sedang dibohongi)

Aku semakin bingung dengan pertanyaan dan penjelasan yang tidak jelas dari Bang Hendry dan Mas Nur. Entah mengapa jantungku makin berdetak kencang, makin merasa wanita yang bodoh selama ini.

"Nduk, Maven iku durung cerai, emang wis sempat laporan perselingkuhan, tapi ora segampang iku cerai, hukum militer iku luwih ruwet, okeh tahapan e, opomaneh wong Intel, PM mesti golek info sedetail detail e. Maven iku lagi proses mediasi, terusss....." (adek kesayangannya mas, Maven itu belum bercerai, memang dia sudah sempat melaporkan kasus perselingkuhan istrinya, tetapi perceraian tidak segampang itu, hukum militer lebih rumit, banyak tahapan dan proses-prosesnya. Apalagi dalam militer, setiap kasus melibatkan Intel dan Polisi Militer untuk mencari informasi dan menyelidiki lebih detail. Dan satu lagi, mereka baru proses mediasi, jadi....)

Tak terasa air mata sudah membasahi pipiku, dadaku menghangat, hatiku perih tersakiti, merasa dibohongi setahun ini, merasa paling bodoh. Tiba-aku merasa sebuah tangan hangat mengusap kepalaku penuh sayang, dan satu tangan lagi meraih pundakku untuk menenangkan. Aku bersyukur memiliki saudara dan sahabat sebaik Mas Nur dan Bang Hendry. Mereka benar-benar menyayangiku.

"Adek sabarr, cinta itu memang anugrah Allah, tapi tergantung kita bagaimana kita menempatkannya, pada siapa kita memberinya. Besok atau lusa, abang bisa antar kamu melihat semua informasi dan kenyataannya. Abang cuma tidak mau adek tersakiti terus."

Dan aku hanya bisa terdiam, membisu, merutuki kebodohanku.

Ijinkan Aku Mencintai SuamimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang