“Ada apa? Kenapa memanggilku ke sini?”
Joohyun berjalan mendekati Bogum yang tampak sedang memegang dua cone ice cream. Pemuda itu menoleh dan menyerahkan satu cone ice cream kepada Joohyun.
“Ini untukmu,” ucap Bogum kepada Joohyun.
Joohyun menaikkan satu alisnya. Ia tidak segera menerima cone ice cream pemberian Bogum. “Untuk apa kamu memberikannya kepada diriku? Maksudku, aku juga mampu membeli sendiri kok. Gajiku kan lebih besar dibanding gajimu.”
Bogum terkekeh pelan. Pemuda itu meraih jemari Joohyun dan membuat jemari Joohyun menggenggam cone ice cream pemberiannya.
“Kamu ini benar-benar tipikal wanita yang mandiri ya. Selalu saja menolak pemberian orang lain. Selalu saja mengatakan bahwa kamu mampu melakukannya sendirian. Padahal, kamu juga wanita yang pantas untuk diperhatikan,” tukas Bogum. Ia membukakan bungkus cone ice cream milik Joohyun untuk memudahkan gadis itu menyantap ice cream pemberian Bogum.
“Makan lah. Aku tahu bahwa kamu cukup lelah dengan tugasmu yang tidak juga berkurang. Aku tahu bahwa kamu membutuhkan sesuatu untuk menghilangkan stress yang melanda dirimu,” tawar Bogum kepada Joohyun.
“Tapi, aku tidak menghilangkan stress yang melanda diriku dengan memakan ice cream. Aku lebih senang jika—“
“Jangan menolak pemberianku. Itu tadi merupakan perintah bukannya penawaran,” potong Bogum. Pemuda itu mencubit pipi Joohyun dengan gemas, membuat Joohyun mendelik kepada dirinya.
“Hey, aku ini mentormu! Dasar tidak sopan!” gerutu Joohyun sembari menepis jemari Bogum dari pipinya.
Bogum memamerkan senyuman manisnya. “Kau tahu? Kamu begitu terkenal di kampusku. Seniorku selalu mewanti-wanti kami untuk menghindari dirimu. Katanya, kamu merupakan mentor yang sangat galak dan tidak segan-segan membentak anak didikmu jika anak didikmu melakukan kesalahan. Namun, kenyataan yang aku dapati justru sebaliknya.”
“Well, kamu memang galak sih. Kamu tidak pernah gentar untuk mengomeli kami. Tapi, itu semua kamu lakukan semata-mata karena kamu begitu menyayangi pasienmu dan kamu juga menginginkan yang terbaik untuk kami. Kamu ingin agar kami cepat mengerti dengan praktik di dunia kedokteran agar kami dapat merasa bangga pada diri kami sendiri dan merasa berguna di masyarakat.”
“Segala tindakanmu yang terkesan kejam dan menyebalkan….semua itu kamu lakukan demi kebaikan kami sendiri. Kau tahu? Aku benar-benar bersyukur karena kamu lah yang menjadi mentorku. Aku senang karena aku dapat mengetahui pribadimu yang sesungguhnya. Aku senang karena dibalik sifat galakmu, kamu hanya lah gadis biasa yang bisa tersipu, salah tingkah, dan juga merajuk.”
Joohyun memalingkan wajahnya, enggan membalas tatapan Bogum. Ia tidak tahu harus bereaksi bagaimana untuk menanggapi deretan kalimat yang baru saja dilontarkan oleh Bogum.
“Ja…jangan bicara seperti itu. Bukankah kalimatmu tidak pantas untuk diucapkan kepada diriku yang merupakan mentormu? Bukankah seharusnya kamu melontarkan kalimat tersebut kepada gadis-gadis yang seumuran denganmu? Jangan gombal seperti itu kepada mentormu sendiri,” tegur Joohyun.
Bogum mengerutkan keningnya. “Memangnya kenapa? Dokter Bae tahu perasaanku kepadamu kan? Bukankah aku sudah menjelaskannya ketika kita menonton kembang api bersama? Aku harus bagaimana lagi agar kamu dapat mengerti perasaanku? Apakah hal yang aku rasakan terhadap dirimu merupakan sebuah kesalahan? Apakah dokter Bae menyalahkan hatiku yang telah memilih untuk tertarik kepada dirimu?”
Joohyun menghela napas. “Entah lah. Rasanya aneh sekali membayangkan kamu memiliki perasaan khusus terhadap diriku. Pertama, usiaku jauh lebih tua dibanding dirimu. Kedua, aku merupakan mentormu. Ini sama halnya dengan murid yang menyukai gurunya. Bukankah itu terdengar sedikit aneh dan mengerikan?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Doctor Bae, Saranghae! (MinRene)
Short StoryWhen a genius meets a player. She's a professional doctor, he's her co-assistant.