Act 18

210 8 0
                                    

  ° ▪ ☆ ▪ ° ▪ ☆ ▪ ° ▪ ☆ ▪ ° ▪ ☆ ▪ ° ▪ ☆ ▪ °

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

  ° ▪ ☆ ▪ ° ▪ ☆ ▪ ° ▪ ☆ ▪ ° ▪ ☆ ▪ ° ▪ ☆ ▪ °

Paul, 17:00.

Claudia mendengar dentang jam besar favoritnya berbunyi lagi, kali ini entah untuk yang keberapa kali. Dia masih duduk disini, Plaza Senayan, masih bersama air mata yang mengalir. Masih bersama bibirnya yang dipenuhi luka dan darah segar rasa metalik.

Mata Claudia terpejam, kepalanya menunduk akan tetapi dia merasakan kehadiran seseorang. Kamu tau, ketika seseorang sedang memperhatikanmu meski tidak melihatnya.

Kala itu Claudia merasakannya, seseorang duduk di kursi seberang mejanya. Claudia terlalu sibuk menangis bahkan untuk menyadari kehadirannya sebelumnya.

Lalu dia membuka mata, perlahan cahaya masuk ke matanya yang mengerjap-ngerjap perih. Rambutnya menutupi wajahnya, pandangannya menjadi sedikit kabur, namun dia tau siapa yang ada di hadapannya saat ini.

Bara menatap perempuan di hadapannya. Seorang yang cantik, hatinya juga cantik. Sayang kini dia menangis, matanya merah, kantung di bawah matanya membiru, rambutnya acak-acakan dan bibirnya berdarah. Kebiasaan, Claudia.

"Bara"

"Claudia," Bara menatap perempuan yang hancur dihadapannya. Dia yang menghancurkannya. "Ini udah dua jam lebih dan kamu.. masih disini?"

Merah, itulah warna yang dia lihat setelah pengakuan dosa Claudia beberapa jam lalu.

Claudianya, yang tersayang dan dia percaya kembali menghubungi mantannya yang bajingan itu. Bukan hanya menghubungi duluan, melainkan mereka juga secara intim orgasme melalui sambungan telpon internasional.

Saat itu fikiran Bara sudah tidak lagi bisa dikendalikan. Dia kembali ke mobilnya, memacu kendaraan jauh lebih cepat dari batas wajar, diiringi resiko kematian dengan laju mobil secepat itu.

Bara sampai di rumahnya, berlatih tinju tanpa sarung tangan, memukul samsak dengan tangan kosong dan darah mengaliri punggung tangannya. Serabut ototnya serasa hancur dtarik-tarik karena kesetanan berolah raga. Bahkan kakinya membiru karena berulang kali terjatuh sangking dia tidak bisa mengendalikan emosi.

Setelah puas melukai tubuhnya, menghancurkan fisiknya supaya senada dengan hatinya saat ini, dia menangis. Menangis lagi, tubuhnya meringkuk di lantai yang basah karena keringat dan air matanya. Menangis lagi, lidahnya memanggil nama perempuan yang mencintainya tapi menghancurkan hatinya.

Setelah tubuhnya hancur, entah mengapa yang dia rindukan adalah Claudia. Fikirannya berlayar jauh mengarungi samudra waktu. Suatu hari nanti ketika usianya berada di tepian senja, dia ingin Claudia yang memeluknya ketika tubuhnya lemah. Ketika malam datang menjemput jiwanya, waktunya tak lagi banyak, satu-satunya yang ingin ia lakukan adalah memanggil nama cinta sejatinya.

Claudia.

Jadi dia berlari lagi, keluar rumah, memacu mobilnya seperti orang gila dan berharap dengan bodohnya perempuan yang dicintainya masih menunggu di mall yang sama, di restoran yang sama, di kursi yang sama. Sungguh bodoh, setelah dua-tiga jam?

Yours TrulyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang